Cut Nyak Din dan Pahlawan Lain dalam Perang Aceh
Selasa, 27 Agustus 2024 10:41 WIB
Pahlawan perempuan asal Aceh di mata sastrawan Belanda
Judul: Cut Nyak Din
Judul Asli: Degeschieldenis van een Atjehse vorstin
Penulis: M. H. Szekely Lulofs
Penterjemah: Azhari
Tahun Terbit: 2007
Penerbit: Komunitas Bambu
Tebal: xiii + 373
ISBN: 978-979-3731-17-9
Pemilihan judul ”Cut Nyak Din” oleh Azhari untuk versi Bahasa Indonesia dari buku ”Degeschieldenis van een Atjehse vorstin” karya M. H. Szekely Lulufs sepertinya kurang tepat. Sebab buku ini memang tidak secara khusus mengisahkan kehidupan Pahlawan Perempuan asal Aceh tersebut. Dalam buku ini memang dicatat kelahiran, pernikahan dan peran Cut Nyak Din dalam Perang Aceh. Namun sesungguhnya buku ini mengisahkan Perang Aceh secara lebih luas daripada hanya mengisahkan tokoh Cut Nyak Din saja.
Banyak tokoh lain yang mendapat uraian lebih banyak dalam buku ini. Tokoh-tokoh Teuku Nanta Setia, Panglima Polim, Teuku Thjik Di Tiro, Teuku Ibrahim dan Teuku Umar mendapat liputan yang sangat besar. Bahkan tokoh Teuku Umar mendapat porsi lebih dari 70 halaman dari total 351 halaman. Untuk menggambarkan siapa Teuku Umar, Lulofs bahkan menulis 5 bab khusus yang dijuduli Sandiwara Umar 1, 2, 3, 4 dan 5.
Meski kurang tepat, pemilihan judul ”Cut Nyak Din” tidak sepenuhnya salah. Sebab di bagian akhir novel ini memang banyak mengungkap tentang istri Teuku Ibrahim asal Lamgna. Kisah heroik yang ditampilkan oleh Szekely Lulofs tentang penangkapan Cut Nyak Din di akhir novel memang membuat peran istrsi Teuku Umar ini layak disematkan sebagai judul novel. Cut Nyak Din memang menikah dua kali. Pertama Cut Nyak Din menikah dengan Teuku Ibrahim, seorang pahlawan asal Lamgna dan kemudian menikah dengan Teuku Umar saat Teuku Ibrahim gugur dalam perang.
Szekely Lulofs juga memberikan latar belakang nenek moyang Cut Nyak Din dalam buku ini. Di bab 1, Szekely Lulofs menulis kisah tentang seorang perantau asal Minang yang berhasil membangun kehidupan di Aceh. Machudun Sati adalah nenek moyang Cut Nyak Din. Machudun Sati adalah seorang yang sakti yang menurunkan Teuku Nantia Setia, seorang pahlawan yang mendapat liputan yang sangat besar dalam buku ini. Teuku Nanta Setia adalah ayah dari Cut Nyak Din.
Seperti telah saya singgung di atas, buku ini tidak hanya berkisah tentang kepahlawanan Cut Nyak Din. Szekely Lulofs menulis tentang Perang Aceh. Ia menggambarkan bagaimana Aceh dalam konstelasi global yang menjadi rebutan antara Belanda, Inggris dan Amerika. Lulofs juga menjelaskan suasana Aceh yang tidak stabil karena masing-masing daerah diperintah oleh tokoh yang independen. Peran Sultan sudah sedemikian merosot saat Belanda memerangi Aceh.
Lulofs menyampaikan bahwa dua hal utama yang membuat Aceh tak terkalahkan. Pertama adalah rasa bangga sebagai bangsa yang merdeka. Orang Aceh sangat bangga sebagai bangsa yang merdeka. Mereka tidak mau tunduk kepada bangsa lain. Faktor kedua yang membuat Aceh tak terkalahkan adalah agama (Islam). Penghargaan orang Aceh terhadap Islam membuat mereka bersatu mempertahankan Agama Allah ini dari serangan orang kaphe (kafir).
Meski tokoh-tokoh pejuang Aceh digambarkan secara heroik di buku ini, namun ada juga tokoh-tokoh yang pragmatis dan lebih mementingkan kedamaian daripada perang. Tokoh Teuku Neh dan Imam Kadli, misalnya. Kedua tokoh ini memihak Belanda karena alasan untuk melindungi wilayahnya dari perang yang menyengsarakan rakyat.
Ada satu lagi tokoh kontroversial yang ditulis dalam buku ini. Tokoh tersebut adalah El Said Abdul Rahman El Zahir alias Habib Abdurrahman. Habib Abdurrahman adalah seorang Arab yang diutus oleh Sultan Turki untuk mendampingi rakyat Aceh berjuang melawan kaphe. Tokoh ini begitu dipuja oleh orang Aceh karena dianggap sebagai pemimpin agama yang bisa mempersatukan orang Aceh melawan Belanda. Namun kepergiannya ke Arab dan kemudian menetap di Penang, tidak kembali ke Aceh membuat beberapa tokoh Aceh meragukan kesetiaannya kepada orang Aceh. Apalagi akhirnya Habib Abdurrahman menyerah kepada Belanda dan mendapatkan jatah hidup dari Belanda.
Meski mengalami berbagai kekalahan dalam peperangan, namun rakyat Aceh tidak pernah merasa benar-benar menyerah kepada Belanda. Perasaan tidak pernah menyerah itu didorong oleh kebanggaan mereka sebagai orang merdeka. Perasaan tidak pernah menyerah inilah yang membuat orang Aceh begitu kuat berperang dalam waktu yang lama. Termasuk perang dengan militer Indonesia yang sangat panjang.
Dalam Pengantar Azhari menyoroti posisi Lulofs dalam menulis novel ini. Azhari melihat perubahan posisi Lulofs dalam melihat kolonialisme. Azhari menulis: ”... Lulofs menentang kolonialisme seperti yang ia tunjukkan dalam buku yang lain ... Lulofs justru berbalik mendukung ajaran bangsanya. Azhari tidak mencela perubahan pandangan Lulofs tentang praktik kolonialisme. Sebab pandangan tersebut tidak untuk dinilai untuk ukuran kebenaran zaman sekarang.
Dalam novel ini di sana-sini Lulofs menggambarkan bagaimana perang Aceh digambarkan sebagai perang dua bangsa yang sejajar posisinya. Belanda memberikan pernyataan perang sebelum menyerang. Bahkan Belanda memberikan kesempatan untuk mengungsikan anak-anak dan perempuan dari Kutaraja, sebelum menyerbu Ibukota Kesultanan Aceh tersebut.
Lulofs juga memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap kepahlawanan Cut Nyak Din. Lulofs menggambarkan ketegaran Cut Nyak Din saat ditangkap. Meski tubuhnya telah renta, matanya telah buta, tetapi Cut Nyak Din tak pernah menyerah kepada Belanda. 861

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Misteri Naga Putih
Minggu, 8 Juni 2025 09:16 WIB
Gajah Dalam Ingatan - Cerpen Berbasis Journal Pribadi
Selasa, 3 Juni 2025 12:37 WIBArtikel Terpopuler