Quo Vadis Lahan Warnasari Kota Cilegon?
Sabtu, 2 Desember 2023 07:35 WIBDi Lahan Warnasari milik Pemerintah Kota Cilegon yang peruntukannya untuk pelabuhan, berlangsung berbagai keiiatan yang tak ada hubungannya dengan hal itu. Mulai dari reklamasi hingga dumping.
Quo Vadis berasal dari bahasa latin, artinya “kemana engkau pergi”. Jadi Quo Vadis Lahan Warnasari artinya kemana engkau pergi lahan Warnasari. Dalam konteks tulisan ini sebetulnya ingin mempertanyakan mau dibawa kemana lahan Warnasari, aset pemerintah kota Cilegon.
Lahan Warnasari luasnya mencapai 45 h. peruntukannya diatur dalam peraturan daerah. Menurut Perda no 6 tahun 2007, diperbaharui dengan Perda no 4 tahun 2011 serta Perda no 1 tahun 2017 tentang perubahan kedua Perda no 6 tahun 2007, lahan Warnasari diperuntukan pembangunan pelabuhan,
Masyarakat Cilegon sudah mulai bangga dengan langkah langkah yang dilakukan PT PCM sebagai BUMD yang ditugaskan untuk membangun pelabuhan. Ada harapan pelabuhan yang lama dicita citakan masyarakat akan terwujud. Hal ini dilandasi adanya aktifitas di lahan Warnasari sejak ahir tahun 2021
Namun harapan itu pupus setelah diketahui bahwa aktifitas itu bukan untuk kegiatan pembangunan pelabuhan, lahan Warnasari hanya dijadikan sebagai tempat pembuangan pasir atau dumping dari projek PT Lotte Chemical Indonesia (PT LCI)
Setelah ditelusuri, ternyata kegiatan dumping ini, bermula dari adanya permohonan dari PT LCI kepada Pemerintah Kota Cilegon mengenai rencana lokasi dumping material pasir di lahan PT. PCM, saat itu PT LCI perlu menentukan lokasi dumping material pasir hasil kegiatan kerja keruk.
Permohonan diajukan PT LCI pada Agustus 2021, tanpa menunggu lama, hanya berselang lima hari, Pemkot Cilegon mengadakan rapat pembahasan mengenai permohonan PT LCI. Atas dasar itu, Walikota Cilegon menjawab surat permohonan PT LCI pada November 2021 yang pada prinsip menyetujui penggunaan seluruh lahan Warnasari sebagai lokasi dumping pasir hasil dregding yang dilakukan PT LCI.
Atas dasar persetujuan itu, PT LCI melalui PT Lotte E&C-Hans Engg Jo sebagai kontaktor PT LCI dan pelaksana kegiatan pemindahan material pasir, memberitahukan tentang rencana pemindahan pasir dan minta kepada Walikota Cilegon untuk diberikan ijin.
Ijinpun dikeluarkan, satu kejanggalan muncul, permintaan ijin ditujukan ke Walikota Cilegon, tapi yang mengeluarkan justru PT PCM. PT PCM pun nampaknya melakukan kekeliruan dalam hal dasar pertimbangannya. Disebutkan bahwa dasar pertimbangan ijin adalah surat yang dikeluarkan PT. LCI, padahal surat pengajuan bukan dikeluarkan oleh LCI melainkan oleh PT Lotte E&C-Hans Engg JO sebagai pelaksana dari kegiatan itu.
Dari sisi regulasi, patut dipertanyakan apa landasan hukumnya pembuangan pasir ijinnya hanya dikeluarkan oleh pemilik lahan (PT PCM). Ijin yang dikeluarkan PT PCM hanyalah sebatas hubungan hukum antara pemilik lahan dengan pihak yang akan membuang pasir, sedangkan yang berkaitan dengan regulasi pemerintahan, harusnya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang lepas apakah lahan itu milik perorangan atau badan hukum (perusahaan).
Kegiatan dumping pasir itu merupakan kegiatan yang melibatkan dua pihak, yakni pemilik lahan (PT.PCM) dan pihak PT. LCI, selayaknya diterbitkan surat perjanjian yang isinya memuat tentang hak dan kewajiban masing masing pihak.
Rasanya sangat janggal jika kegiatan tersebut tidak ada surat perjanjiannya. Jika memang sudah ada, selayaknya publik tahu sebab ada keterkaitan dengan apa yang didapat dari kegiatan dumping pasir itu. Sangat mustahil pihak pemohon tidak memberikan konpensasi atas pembuangan itu, buang sampah ke TPA saja harus bayar, apalagi dumping pasir yang jumlahnya ratusan ribu kubik, tentu harus ada konpensasinya berupa dana.
Masyarakat tidak bertanya kemana larinya konpensasi itu (jika pihak PT LCI memberikan konpensasi), tetapi berapa banyak dana konpensasi yang dikeluarkan PT. LCI. Sebaliknya jika PT.LCI tidak memberikan konpensasi, maka pihak legislatif sebagai lembaga kontrol patut memanggil kedua belah pihak mempertanyakan komitemen atas adanya dumping pasir tersebut agar terang-benderang atau kalau perlu patut untuk digugat secara bersama sama lantaran telah melakuk perbuatan yang semena mena terhadap asset pemerintah.
Lahan Warnasari saat ini memang dijadikan sebagai objek pencarian dana dengan dalih pendapatan daerah. Hal ini bisa dilihat dari pemberitaan salah satu media online pada 2022 lalu yang memberitakan bahwa Walikota Cilegon sebagai kuasa pemegang saham BUMD Cilegon menawarkan kerjasama sewa lahan Warnasari seluas 10 hektar untuk kepentingan tempat sementara barang.
Hanya saja, Walikota tidak menyebutkan berapa rencana angka sewanya. Belakangan terdengar kabar bahwa PT PCM menawarkan sewa lahan 10 ha kepada KINE dengan harga Rp.10 milyar lebih. Namun demikian, rencana sewa itu tidak terlaksana, entah apa sebabnya.
Gagal dengan kerjasama sewa lahan yang dimaksud, tiba tiba ada kegiatan pengurugan, perataan dan pengerasan lahan Warnasari yang berdekatan dengan pantai. Luasnya mencapai 10 ha.
Masyarakat mengira kegiatan itu merupakan proses awal dibangunnya pelabuhan, namun lagi-lagi masyarat kecele lantaran kegiatan tersebut dilakukan kontraktor PT LCI yakni Kine WP 7 yang sedang melakukan kegiatan pematangan lahan, infonya , untuk kepentingan fabrikasi dan penurunan pipa dari laut. Pematangan lahan ini telah membabat habis hutan mangrove, selain itu, ternyata juga telah mereklamasi pantai.
Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Lintas Komisi di DPRD Kota Cilegon antara masyarakat Gerem dengan pihak PT.PCM, Kine WP 7 dan dihadiri oleh beberapa OPD Pemkot Cilegon pada 16 November 2023 lalu. Diakui oleh PT PCM, bahwa lahan Warnasari yang dimaksud telah disewa oleh KINE WP 7 selama 3 bulan, Agustus-November 2023 dengan harga sewa Rp.495 juta, tetapi sewa itu bisa diperpanjang.
Jika merujuk pada ketentuan Perda yang saya sebut diatas, sewa menyewa lahan ini sebetulnya tidak sesuai dengan peruntukan lahan Warnasari, tak satu pasalpun dalam Perda itu yang menyebutkan tentang dibolehkannya lahan itu disewakan. Tegas dalam perda itu, lahan warnasari hanya untuk pelabuhan.
Adapun PT PCM sebagai BUMD yang punya kewenangan untuk membangun Pelabuhan, telah melampaui kewenangan dengan melakukakan kerjasama yang tidak ada hubungannya dengan pembangunan Pelabuhan. PT PCM juga telah menyalahi ketentuan Perusahaan yakni BUMD yang bergerak dalam bisnis kepelabuhanan berubah menjadi Perusahaan Sewa Menyewa Lahan yang tidak ada hubungan dengan bisnis Kepelabuhanan atau dalam bahasa yang lain telah keluar dari coor bisnis yang diemabannya. Tapi, ya sudahlah.
Dalam RDP tersebut, penyewa lahan mengakui bukan hanya telah melakukan kegiatan pengurugan dan perataan lahan warnasari, tetapi telah melakukan pengurugan pantai/pesisir atau dalam bahasa undang undangnya disebut Reklamasi. Pertanyaannya, atas dasar apa pihak penyewa melakukan reklamasi. Siapa yang mengajukan pemohonan reklamasi, apakah pengajuan ijin reklamasi sudah ditempuh sesuai dengan regulasi yang ada.
Intinya, apakah reklamasi pantai itu sudah ada ijinnya?.
Ijin Reklamasi adalah kewenangan Kementrian Kelautan dan Perikanan. Untuk mengajukan ijin Reklamasi memerlukan beberapa persyaratan. Menurut Penetapan Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang Laut Kementrian Kelautan dan Perikanan Nomor 61/DJPRl.4/XII/2021, terdapat 13 item persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah Persetujuan Lingkungan, Dokumen Rencana Induk Reklamasi, Dokumen studi Kelayakan dan Melakukan Pembayar PNBP ( Pemasukan Negara Bukan Pajak).
Dalam RDP, pihak Penyewa maupun PT.PCM bersikukuh bahwa pengurugan pantai/pesisir, bukan reklamasi, tetapi hanya sebagai teknis pekerjaan. Dalih ini tidak masuk akal atau mungkin bidang hukum perusahaan tidak mengerti arti Reklamasi menurut Undang Undang, Dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Melalui perdebatan panjang, ahirnya pihak PT.PCM maupun pihak KINE WP 7 mengakui bahwa kegiatan pengurugan pantai atau pesisir lahan itu memang tidak ada ijinnya.
Apapun dalih yang dikemukakan, secara hukum, KINE WP 7 telah melakukan kegiatan Reklamasi tanpa ijin. Oleh karena Reklamasi ini tanpa ijin, maka semua ketentuan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Penetapan Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang Laut Kementrian Kelautan dan Perikanan Nomor 61/DJPRl.4/XII/2021, telah diabaikan. Padahal jika melaksanakan Reklamasi tanpa ada ijin lingkungan, termasuk dalam tindak pidana, demikian halnya dengan Pembayar PNBP, jika tidak dilakukan, ada potensi kerugian negara.
Kesimpulannya, patut diduga bahwa KINE WP 7, telah melakukan perbuatan melawan hukum baik secara adminstratif maupun pidana yang bertentangan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan pelaksanaannya. Adapun perbuatannya melakukan Reklamasi tanpa ijin lingkungan, kerusakan lingkungan yakni perubahan bentuk dan sepadan pantai, perusakan hutan mangrove dan dugaan kerugian negara akibat tidak bayar Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Terkait dengan pertanyaan yang terkandung dalam judul tulisan ini, dengan melihat fakta fakta diatas, maka jawabannya adalah, “Entah mau dibawa kemana lahan warnasari ini”. Bagaimana mungkin akan segera dibangun Pelabuhan jika lahannya sudah disewakan dengan waktu yang tak menentu. Tapi ya sudahlah, kita tunggu apa yang tidak akan terjadi.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Quo Vadis Lahan Warnasari Kota Cilegon?
Sabtu, 2 Desember 2023 07:35 WIBMudik, Silaturrahmi dan Ayam Bekakak
Rabu, 12 Mei 2021 20:58 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler