Mengawal Transisi Energi Bangsa Indonesia Melalui Solusi Nyata, demi Kepentingan Bersama Bukan Hanya Kepentingan Oligarki
Kamis, 25 Mei 2023 14:05 WIBDalam artikel ini, penulis menerangkan dampak dari penguasaan salah logika terhadap transisi energi yang berakibat transisi energi dapat kembali di eksploitasi oleh oligarki.
Mengawal Transisi Energi Bangsa Indonesia Melalui Solusi Nyata,
Demi Kepentingan Bersama Bukan Hanya Kepentingan Oligarki
Obsesi bangsa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2045, bukan hal yang mustahil. Perjalanan bangsa Indonesia dalam merajut sejarah akan mencapai usia 100 tahun. Ditambah sebuah bonus demografi, yang membuat bangsa Indonesia pada tahun 2045 memiliki penduduk usia produktif yang mencapai 64 persen dari 297 juta penduduk. Banyak target yang ingin dicapai oleh pemerintah salah satunya adalah percepatan transisi energi yang memerlukan perjalanan panjang untuk mencapainya.
Dalam mendukung percepatan transisi energi di dalam negeri, Pemerintah Indonesia meningkatkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang berisi target penurunan emisi dan menghasilkan lebih banyak oksigen. Tidak hanya itu pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan energi terbarukan. Melalui banyaknya program Pemerintah ini diharapkan terkait net zero emissions pada tahun 2060 dapat tercapai.
Urusan 10 tahun ke depan atau bahkan 20 tahun ke depan dengan target yang besar harus mulai dilakukan dari sekarang secara bertahap. Proyek transisi energi ini seyogyanya tidak menimbulkan sebuah kerugian baik di masa depan atau masa sekarang. Gembor-gembor terkait transisi energi jangan sampai menjadi sebuah boomerang yang justru kebalikan dari harapan misalnya transisi energi didalamnya masih menghasilkan polusi, mencemari air, merusak ruang hidup, tidak mensejahterakan rakyat, dan bahkan menimbulkan kemiskinan.
Menilik ke belakang, dalam perkembangan penggunaan energi fosil terjadi carut marut yang dilakukan oleh pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan bahkan mengeksploitasi energi fosil tersebut tanpa memikirkan dampak berkepanjangan dengan menimbulkan efek buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Jejak kolonialisme industri ekstarktif yang dilakukan oleh penjajah berpindah ke tangan-tangan serakah yang bernama oligarki. Jangan sampai oligarki atau siapapun kembali mengeksploitasi target transisi energi terbarukan dengan menjadikan milik mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan masyarakat.
Transisi energi perlu perencanaan matang, jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam transisi energi. Masih teringat jelas tragedi yang menimpa wilayah Sidoarjo akibat keserakahan oligarki Indonesia yaitu Lapindo dan beberapa kompleks PLTU yang optimalisasinya berdampak negatif untuk lingkungan sekitar. Sekarang juga sama mengenai kebijakan kendaraan listrik. Pembukaan pertambangan untuk bahan nikel perlu dipikirkan matang-matang sehingga tidak kembali mencemari lingkungan. Bisa dikatakan jika transisi energi kembali ke arah eksploitasi maka transisi energi tersebut mengalami salah logika. Perlu adanya pemikiran kritis dan upaya-upaya agar percepatan transisi energi bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Melalui perubahan model pembangunan proyek transisi energi yang dulu eksploitasi energi fosil dilakukan oleh pihak serakah atau oligarki. Kini pemerintah dalam mewujudkan transisi energi harus lebih transparan sehingga terhindar dari solusi-solusi palsu seperti co-firing batubara atau gasifikasi batubara. Bahkan pembukaan wilayah pertambangan yang menggerus wilayah hutan yang merupakan salah satu faktor krisis iklim dunia, benar-benar harus dihentikan. Perubahan iklim ini merupakan dampak dari perizinan proyek yang terus dilakukan utamanya pembangunan PLTU di wilayah Kalimantan. Meskipun ada pihak yang ingin mengembalikan kelestarian lingkugan. Namun, di satu sisi lain ada pihak serakah yang hanya mengambil keuntungan untuk dirinya. Sayangnya pihak yang mengambil keuntungan tidak bisa mengembalikan apa yang sudah diambil dan dibiarkan saja. Tidak hanya itu solusi-solusi salah atau palsu akan berdampak fatal bagi kelestarian lingkungan.
Secara keseluruhan, transisi energi tidak dapat dihindari untuk mencapai net zero pada tahun 2060. Selain tantangan aspek lingkungan pada transisi energi , pemerintah juga harus memikiran aspek ekonomi dan sosial dalam tahap transisi energi ini. Masyarakat yang lebih kaya, memiliki pengetahuan dan teknologi, lebih mampu bertahan terhadap bencana iklim daripada masyarakat yang miskin, tidak berpendidikan, dan kurang paham dengan teknologi. Alih-alih hanya berfokus pada mitigasi bencana iklim melalui transisi energi, sama pentingnya untuk menekankan pentingnya penguatan kapasitas adaptif. Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan, pengetahuan dan kepemilikan teknologi. Itu sebabnya negara, sektor swasta dan organisasi non-pemerintah juga harus fokus pada peningkatan kapasitas adaptif mereka dalam memerangi bencana iklim.
Selain aspek sosial kesenjangan masyarakat, Indonesia juga perlu memikirkan kondisi peran aktif laki-laki ataupun perempuan dalam penggunaan energi hijau utamanya perempuan. tetapi tidak dengan perempuan. Peran perempuan di Indonesia masih sangat terikat dengan peran domestiknya, dan meskipun perempuan mampu menjalankan kekuasaan yang menentukan, mereka juga lebih rentan terhadap perilaku konsumsi energinya di dalam keluarga dan rumah. Yang penting, perempuan memainkan peran kunci dalam upaya efisiensi energi dan pengurangan emisi di rumah. Menghemat listrik dan air, serta mengurangi limbah rumah tangga. Di sisi lain, bagaimanapun, perempuan lebih rentan terhadap efek positif dan negatif dari konsumsi energi. Pemerintah Indonesia dapat memberikan peluang kepada perempuan untuk berperan lebih besar dalam efisiensi dan efektivitas energi melalui keterlibatan perempuan dalam transisi energi, akan semakin banyak perempuan lain yang terbantu dan akhirnya ikut mendukung transisi energi lebih cepat hingga ke tingkat lebih lanjut. Ditambah pemerintah Indonesia juga harus berpikir keras tentang pembiayaan yang murah untuk teknologi energi hijau berkaitan dengan dapur rumah yaitu kompor listrik.
Memikirkan kepentingan masyarakat yang terkena dampak kolonialisme industri ekstraktif dari masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan sampai ke masyarakat kecil. Memungkinkan masyarakat mendapat jawaban baik dari strategi transisi energi dan bersama mendapatkan dampak yang bermanfaat dari energi terbarukan sehingga membawa bangsa Indonesia mencapai negara maju dengan masyarakat yang sejahtera. Meski banyak tantangan yang harus dihadapi tetapi masih ada harapan bahwa transisi energi dapat diselesaikan dengan sukses. Penting bagi masyarakat untuk memahami manfaat dan peluang energi terbarukan untuk mendukung transisi energi serta dapat mengkritisi transisi energi jika kehilangan arah dalam perjalanannya. Bersolidaritas bersama, bisa mengingatkan atau mengoreksi bersama agar tidak terjebak dengan solusi palsu transisi energi yang dilakukan oleh oligarki.
Dapat disimpulkan bahwa kolonialisme ekstraktif dan solusi palsu transisi energi adalah dua hal yang berdampak serius bagi manusia dan lingkungan. Cukup sudah kolonialisme terjadi pada energi fosil. Sekarang waktunya Indonesia memegang kendali sendiri energi terbarukan untuk kepentingan kemajuan bangsa dan kelestarian lingkungan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak boleh kembali terlalu bergantung terhadap bangsa kolonial.
Di zaman bahan bakar fosil, ketergantungan tercipta antara negara pemasok dan pemasok. Namun, di era energi hijau, setiap negara memiliki kemungkinan untuk mengembangkan sumber energinya sesuai dengan kapasitas dan potensi energi terbarukan. Kemampuan transisi energi sangat bergantung pada pendanaan, sumber daya manusia dan teknologi. Karena kapasitas yang tidak seimbang dan sistem keuangan yang tidak jelas, transisi energi dapat menciptakan ketergantungan baru, karena negara berkembang tertinggal dari negara maju. Karena negara maju mencapai tujuannya lebih cepat, mereka memiliki kekuatan untuk mendominasi negara berkembang dengan bantuan keuangan, pasokan energi, dll. Ketergantungan baru ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diwaspadai oleh Indonesia dan negara berkembang dalam proses transisi energi.
Singkatnya, transisi energi harus memastikan pasokan energi dapat diakses dan terjangkau oleh masyarakat umum. Jika tidak, proses transisi dapat menyebabkan kelangkaan energi atau harga yang lebih tinggi. Kekurangan energi mengganggu hampir semua bidang kehidupan dan menyebabkan krisis di mana-mana. Selain itu, transisi energi juga harus menjamin aspek kelestarian lingkungan dan keadilan sosial bagi seluruh manusia di muka bumi. Terakhir, transisi energi harus dibiayai secara adil. Negara dan perusahaan yang memproduksi lebih banyak batu bara harus lebih banyak berkontribusi pada transisi energi global dan berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat di negara miskin dan berkembang dalam transisi energi di masa depan. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus berkaca dengan kejadian masa silam. Jika kesalahan logika kembali terjadi dalam transisi energi, akan berdampak berkelanjutan untuk pembangunan bangsa. Jangan terulang kembali yang satu menikmati namun yang lain menderita. Diam hari ini, masa depan bangsa Indonesia akan terancam di bawah kendali bangsa kolonial maupun musuh dalam selimut yaitu pihak serakah yang mementingkan kepentingan dirinya.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler