Hati yang Jingga

Rabu, 5 Januari 2022 11:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah perempuan yang tegar dengan kesendiriannya di usia yang tak lagi muda, namun masih mengharapkan takdir yang terbaik dari Tuhan.

Oleh: Meiga Kartika

Di sisi jendela Asih menikmati sore senja. Suasana syahdu menjelang lebaran yang tinggal sehari tak dapat menghibur kesedihannya. Justru, momen lebaran semakin menambah kemelut luka yang selama ini tersimpan rapat di sudut hatinya. Wanita itu hanya mampu mendesah panjang untuk meringankan beban dihatinya.

Takbir telah menggema dengan semarak. Menggugah hati setiap umat muslim yang telah menjalankan  puasa selama satu bulan lamanya untuk menikmati kemenangan di hari besar nan fitri. Dalam hati, Asih hanya mampu mengucap syukur karena Tuhan telah memberinya kesempataan beribadah dalam usianya yang kini mencapai 42 tahun.

“Ya Tuhan, sudah sepuluh tahun berlalu,” lirihnya dengan pilu.

Ya, sepuluh tahun telah berlalu tepat sejak hari pernikahan adik satu-satunya kembali terbayang dalam ingatan Asih. Ningsih, adik yang sangat dikasihinya itu tiba-tiba meminta izin padanya untuk menikah. Ditatapnya wajah adiknya itu dengan penuh kasih. Asih tetap berusaha tersenyum. Namun, air mata yang menetes di pipinya tak dapat menutupi kegundahan yang tersimpan dihatinya.

”Maafkan aku mbak.” bisik Ningsih sambil menggenggam tangan Asih. Lalu, wanita itu menggeleng seraya tersenyum.

“Tak ada yang perlu dimaafkan adikku,” jawab Asih masih mengulas senyum.

“Maukah mbak Asih merestuiku?” tanya Ningsih dengan menundukkan kepala.

“Restuku selalu bersamamu,” kata Asih seraya mengelus rambut adiknya.

“Terima kasih, Mbak,” jawab Ningsih penuh haru.

Asih hanya mampu menggangguk. Dan air mata ternyata tak mampu ditahannya, entah tanda sedih ataukah bahagia.

Kini, adik kesayangannya Ningsih telah memiliki dua orang putra. Dua orang cucu yang dapat membesarkan hati  mbok Marni, sang nenek yang memang telah lama mendambakan cucu untuk meramaikan rumahnya yang sederhana. Sementara dirinya, hingga diumurnya yang telah mencapai kepala empat belum sanggup memenuhi desakan ibunya untuk segera memiliki seorang pendamping.

Tidak banyak jawaban yang dapat diberikan  ketika para kerabat menanyakan kapan dirinya akan segera mempunyai pendamping. Dan Asih hanya menjawab, ”Tuhan belum memberi saya jodoh.”

Bukan tak pernah Asih menjalin cinta dengan seorang pria. Bukan pula karena patah hati yang menyebabkan dirinya terus sendiri. tapi sepertinya kesendirianlah yang ingin terus menemani wanita itu. Pernah suatu kali Asih menerima kabar pinangan dari seorang pria. Karena desakan dan sebab lainnya, diterima jualah pinangan itu. Seluruh pihak keluarga turut senang. Tapi rupanya hati wanita itu tak dapat berdusta. Dengan penuh harga diri, diturutkannya perasaan untuk membatalkan petunangan yang terlanjur terjalin. Sebabnya, Asih tak ingin terlanjur menikah tanpa di dasari cinta. Alasan yang sangat klasik tapi menurutnya sangat prinsip.  

Zaman bisa saja dianggap semakin modern. Tapi pikiran manusia belum tentu mengikuti zaman, apalagi untuk urusan jodoh. Asih menyadari akan adanya anggapan bila wanita cukup umur tak kunjung menikah. Perawan tua, itulah yang akan dikatakan orang. Dan ikhlas adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa tegar. Tak putus-putusnya wanita itu menghampar sajadah di sepertiga malam, bersujud dan meminta belas kasih kepada yang Maha Pengasih. Memohon untuk segera mempertemukannya dengan jodoh yang sudah digariskan Tuhan.

“Sudah tak ada lagi air mataku, ya Tuhan. Kupasrahkan segalanya padaMu.” Kesendirian kembali merajah wanita itu setiap kali suara takbir berkumandang. Dan hanya kepasrahanlah yang mampu membesarkan hatinya.

Nanar matanya menatap keluar jendela kamar. Di perhatikannya tingkah polah keponakan-keponakannya tersayang yang sedang bermain di samping halaman rumah. Digigit bibirnya perlahan.

“Anak-anak itu..,” desahnya.

Dibalasnya lambaian dua keponakan yang sedang di arahkan kepadanya. Disunggingkan pula senyumnya untuk kedua bocah itu.

“Mereka seperti malaikat kecil,” batinnya. “Kapan malaikat-malaikat kecil itu akan benar-benar kumiliki?” Tanyanya wanita itu pada dirinya sendiri.

“Mbah Asih, banyak tamu yang datang tuh.” Tiba-tiba Ningsih masuk kamar dan mengingatkan wanita itu.

“Sebentar lagi aku akan menyusul,” Jawab ASih seraya mengalihkan perhatiannya kembali kepada kedua keponakannya.

 

Seharian penuh telah cukup membuat Asih terbius jiwanya terhadap keadaan yang seakan dipermainkan oleh nasib. Hal ini, selalu terjadi setiap momen lebaran datang. Namun, tak ada seorang pun yang mampu menyelami perasaan wanita itu. Sebab dia yakin, tak seorang pun yang perlu tahu pilu hatinya. Hanya kepada Tuhan dia berani bercerita, segalanya.

Kini satu-persatu para tamu beranjak pulang. Kedua malaikat kecil juga telah berhenti bermain-main. Dan hari pun telah senja. Langit juga tampak begitu jingga. Sejingga hati wanita itu.

Kembali wanita itu bertafakur. Merangkai doa dengan bertahtakan nama sang pemilik jagad raya. Tak akan pernah putus hingga Tuhan berkehendak.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Meiga Kartika

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Hati yang Jingga

Rabu, 5 Januari 2022 11:20 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua