Langkah Bersama Atasi Dampak Putus Sekolah Akibat Pandemi
Selasa, 30 November 2021 23:26 WIBPANDEMI virus Corona (Covid-19) yang hingga saat ini terus berkelanjutkan menimbulkan dampak cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Sebagai contohnya, pada September hingga Desember 2020 sebanyak 1% anak usia 7-18 tahun mengalami putus sekolah selama pandemi Covid-19. Survei dilakukan terhadap 122.235 anak dan menemukan 1.243 anak berhenti sekolah.
Angka tersebut didapatkan dari sensus terbatas mengenai anak putus sekolah yang dilakukan Unicef bersama Direktorat Pembangunan Masyarakat Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi terhadap keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa (BLT-DD) yang mempunyai anak usia 4-18 tahun.
Suhaeni Kudus selaku spesialis pendidikan dari Unicef, mengatakan, dari 112.000 keluarga, dan 150.000 anak berusia 4 hingga 18 tahun dari 1.151 desa di 354 kabupaten, 33 provinsi yang disurvei, mayoritas anak yang putus sekolah disebabkan karena kekurangan biaya pendidikan. "Sebanyak 70% anak dilaporkan putus sekolah karena alasan ekonomi," ujarnya dalam diskusi daring bertema Siswa Rentan di Masa Covid-19, Selasa, 14 September 2021.
Dampak pandemi terhadap aspek pendidikan ini juga disebabkan karena penutupan sekolah. Pendidikan terpaksa dilakukan secara daring guna menghindari pola pendidikan tatap muka (luring). Sayangnya, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap pendidikan secara langsung di sekolah berimbas pada kemampuan belajar siswa hingga terjadi learning loss.
Learning loss sendiri menurut The Education and Development Forum (2020) adalah situasi dimana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan berkepanjangan atau ketidakberlangsungan proses pendidikan.
Survei Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terhadap para pelajar bahkan telah memastikan pelajar Indonesia mengalami learning loss akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19. Hal ini diungkap oleh Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Ristek, Sri Wahyuningsih.
"Ditemukan data dan temuan kami, bahwa terjadi penurunan 0,44 sampai 0,47 persen terhadap standar deviasi (penyimpangan). Atau senilai 5 sampai 6 bulan pembelajaran per tahun," tutur Sri saat konferensi pers Indonesia Hygiene Forum ke-8.
Melihat dampak dari pandemi yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan dunia pendidikan ini, pemerintah melalui Kemendikbud Ristek melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) mengambil langkah antara lain dengan meluncurkan program Ayo Kursus.
Program ini diperuntukkan bagi anak di bawah 25 tahun yang tidak bersekolah dengan target 24.000 pelajar. Masyarakat yang memenuhi syarat nantinya akan meningkatkan kompetensinya dengan kursus dan pelatihan dari berbagai pilihan jenis keterampilan sesuai minat dan bakat mereka.
Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), menganggap program ini dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu masyarakat agar tetap meningkatkan kualitas dirinya meski kondisi pandemi yang kurang menguntungkan.
“Upaya untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak usia sekolah atau putus sekolah, untuk kembali mendapatkan pendidikan, mereka harus kembali ke sekolah. Salah satunya melalui program kursus dan pelatihan,” kata Nadiem Rabu (22/9)
Sependapat dengan itu, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto, juga mengatakan kesempatan ini sangat relevan bagi mereka agar tidak menyerah dalam kondisi saat ini. Program Ayo Kursus sendiri diintegrasikan dengan program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK) dan Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) yang tengah berjalan tahun 2021. Kegiatan ini memiliki anggaran sebesar Rp100 miliar untuk LKP di seluruh Indonesia.
“Baik program PKK maupun PKW merupakan program bantuan pemerintah untuk mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya bagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah untuk mendapatkan pendidikan keahlian dengan bantuan pemerintah dengan sertifikasi dan standar berbasis industri,” jelas Wartanto selaku Direktur Kursus dan Pelatihan.
Program Ayo Kursus ini diharapkan dapat memberikan layanan tepat sasaran kepada mereka yang memang benar-benar membutuhkan.
Untuk terus meningkatkan mutu pendidikan di masa pandemi saat ini, selain menggalakan keterlibatan sekolah formal, jangan dilupakan juga peran pendidikan non formal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sanggar Kegiatan belajar (SKB). Kedua lembaga ini juga banyak menawarkan keterampilan kerja.
Sebagai contoh, PKBM Pioneer, Karanganyar, Jawa Tengah, yang didirikan oleh W.W Prayitno sukses dalam mengembangkan anak didik dari berbagai multikultur. Mereka adalah anak tidak mampu, gelandangan, pengamen jalanan, hingga para pengemis yang hidup di jalan.
Meskipun memiliki anak didik yang beragam nyatanya tempat ini benar benar memfasilitasi anak didiknya untuk terus berkembang dalam bidang keterampilan, khususnya multimedia secara serius.
Bagi peserta didik di PKBM Pioneer, pembayaran tidak menjadi masalah. "Kita tidak mencari keuntungan, tapi benar-benar membantu anak didik yang terlantar di luar," ujar Yasa Griya Sejati, salah seorang instruktur PKBM Pioneer, kepada penulis.
Ia mengatakan, PKBM Pioneer mengembangkan berbagai keterampilan khususnya di bidang multimedia, seperti video, shooting, dan sejenisnya.
Sementara di Kepahiang, Bengkulu, PKBM Az-Zahra juga dapat menjadi contoh dalam upayanya meningkatkan kualitas di masa pandemi. PKBM Az-Zahra membuat berbagai macam program bagi anak didiknya yang mayoritas merupakan para pelajar yang putus sekolah.
Wahyudi contohnya, pelajar 18 tahun awalnya melanjutkan ke SMP 3 Kepahiang. Namun ia putus sekolah karena menderita penyakit epilepsi sehingga sering pingsan tanpa sebab di sekolah yang membuatnya sering dihina.
“Alhamdulillah…aku ikut Paket B, temanku banyak dan baik-baik. Gurunya juga ramah dan baik hati. Aku senang sekolah di PKBM Az-Zahra Kepahiang. Sekarang aku sudah kelas X Paket C, “ kata Wahyudi yang pernah Juara Lomba Baca Puisi Tingkat Nasional ini.
Peserta didik lain, Junita Wati yang merupakan pelajar kelas 10 mengungkapkan rasa senangnya dalam mengemban ilmu di PKBM Az-Zahra ini.
"Bapakku bekerja sebagai tukang becak. Saat di SD aku tidak mampu membeli seragam sekolah sehingga sering dibully teman-teman. Keluarga menyarankan untuk sekolah di PKBM Az-Zahra Kepahiang setelah mendapat informasi bahwa belajarnya gratis," ujarnya.
Siswa berusia 20 tahun ini bahkan sudah mahir dalam menggunakan komputer. Menurutnya kenyamanan yang dihasilkan oleh para tutor dan kawan-kawan di sini membuatnya tidak takut dalam mempelajari ilmu komputer yang sebelumnya ia khawatirkan.
Seperti halnya PKBM, SKB juga terus digalakkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan. SKB Kota Batam, Kepulauan Riau rajin mendatangi pelosok-pelosok untuk mengidentifikasi warga yang belum pernah sekolah atau putus sekolah. "Masyarakat ini kami diajak untuk mengikuti pembelajaran Kesetaraan Paket , Paket B, dan Paket C," kata Drs Suryadi selaku Kepala SKB Batam kepada penulis.
Seluruh program yang dilaksanakan pemerintah dengan mengikutsertakan baik sekolah formal juga non formal ini diharapkan mampu meningkatkan kembali mutu pendidikan yang ada di Indonesia meskipun di tengah pandemi COVID-19. Pada prinsipnya tidak ada kata menyerah dalam menghadapi tantangan apapun yang menghadang.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Di Era Digital, Masyarakat Bisa Memperjuangkan Keadilan Melalui Musik
Rabu, 22 Desember 2021 04:57 WIBDian Rossana Anggaraini, Ajak Masyarakat Lestarikan Flora di Pulau Bangka Belitung
Rabu, 15 Desember 2021 07:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler