Di Musim Corona, Hati-hati Jangan Sampai Menghina

Selasa, 14 April 2020 05:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content1
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika zaman hoax belum merajalela di era media sosial sekarang, pak haji Rhoma sudah mengingatkan kita sejak jauh-jauh hari: jangan menghina. Nasihat bijak ini masih relevan dan kontekstual. Bahkan, di saat invasi Corona seperti sekarang, mungkin perlu ditambah dengan jangan menghina pejabat.

Nasihat agar jangan menghina orang lain sebenarnya sudah sama tuanya dengan usia manusia. Ini tidak lain karena dalam diri manusia terdapat hawa nafsu yang bila tidak dikendalikan akan berubah menjadi sikap dan perilaku yang aneh-aneh, seperti mencela, menghina, mengutuk, menghujat--nah kata menghujat paling sering dipakai di zaman medsos sekarang ini.

Jangankan menghina orang tua, menghina anak muda seumuran pun disarankan untuk tidak dilakukan, sebab pelan-pelan bisa berubah jadi kebiasaan. "Belagu loe, dasar ....." Nah, kalau diksi 'dasar' sudah keluar, biasanya mah kata-kata yang cenderung mencela dan menghina akan menyusul. Itu lazimnya, bisa juga nggak.

Bahkan, bukan hanya sesama manusia yang dihina, tapi juga hewan, tanaman, bahkan hidangan yang tersedia di meja makan. "Makanan apaan sih ini, rasanya gak keruan, asin gak, manis gak. Males ah, gak jadi makan aja," ujar kita sambil beranjak dari bangku. Padahal, betapapun tidak enak sepiring makanan, itu rezeki yang tidak layak ditampik, apa lagi sudah siap santap di depan mata dan mulut. Nikmati saja barang sejenak, setelah lewat lidah perasa dan ditelan, makanan itu akan sama saja dengan makanan yang kita sebut sangat enak, betapapun awalnya beda rasa dan beda harga.

Barangkali karena prihatin dengan kebiasaan manusia yang gemar menghina orang lain, musisi Rhoma Irama pernah menulis lagu, kalau gak salah judulnya Lagu Buat Kawan. Liriknya di antaranya seperti ini: "Jangan suka mencela/ apa lagi menghina, wahai kawan/ Kesalahan berbicara bisa membawa celaka/; dilanjutkan dengan "Jangan menyebar fitnah, di antara sesama, wahai kawan/ Jujurlah dalam bicara, janganlah suka berdusta./ lalu, "Berdosa (oh ya ya)/ berdosa..."

Ketika zaman hoax belum merajalela di era media sosial sekarang ini, pak haji Rhoma sudah mengingatkan kita sejak jauh-jauh hari. Katanya: jangan menghina, jangan menyebar fitnah. Nasihat bijak ini masih relevan dan kontekstual. Tapi di saat invasi Corona seperti sekarang ini, mungkin perlu ditambah dengan jangan menghina pejabat. Lho? Lha iya to, ketimbang terpaksa berurusan...

Tapi bukankah sudah risiko bagi pejabat publik untuk dihina? Yah, namanya juga manusia, biarpun pejabat publik dengan kedudukan yang tinggi banget, kalau dihina ya gak suka juga. Hanya saja, mereka gak mau bilang-bilang, mungkin malu-malu untuk berterus terang, makanya dibuatkan aturan sedemikian rupa sehingga orang lain bisa melaporkan bahwa si anu telah menghina pejabat ani..

Repotnya, bisa saja mengritik keras pejabat lantas dianggap menghina. Mudah-mudahan sih nggak, hanya saja itulah yang dikhawatirkan banyak orang. Soalnya, kritik itu diperlukan agar setiap kebijakan yang dibuat pejabat publik tidak melenceng ke sana kemari. Kalau misalnya masyarakat menilai suatu kebijakan tidak benar dan tidak adil, wajarlah masyarakat mengritik. Janganlah kemudian kritik dianggap sebagai penghinaan. Dua istilah itu sama sekali tidak sama dan sebangun, walaupun bisa dipaksa untuk disama-samain. Dan ini yang dikhawatirkan banyak pihak.

Lagi pula, perlu diingat lho, pejabat pun bisa menghina masyarakat. Mungkin tidak selalu harfiah, misalnya "Kamu itu.... " (walau dulu ada juga sih pejabat yang suka berbicara begitu), tapi penghinaan itu dilakukan melalui kebijakan yang dibuat, jadi tidak begitu kelihatan atau samar-samar. Pejabat sering mengemukakan alasan-alasan yang ngasal mengapa kebijakan tertentu dibuat. Kelirukah jika masyarakat beranggapan bahwa alasan yang ngasal dan sekenanya itu merupakan sejenis penghinaan terhadap akal sehat masyarakat?

Sayangnya, tidak ada aturan yang mengikat pejabat publik, jika menghina rakyat apa sanksinya. Saya lantas ingat Slank, yang kalau tidak keliru juga pernah menulis lirik tentang penghinaan, antara lain seperti ini: "Memang... kantongku memang kering/ Jangan menghina/ yang penting bukannya maling.../ Memang... jaketku memang kotor../ Jangan menghina ../yang penting bukan koruptor../" Wah, Slank membanding-bandingkan jaket kotor dengan koruptor, padahal koruptor itu kan kebanyakan ..... Ah, nggak usah diterusin nanti dikira menghina. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bila Jatuh, Melentinglah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Pilihan Editor

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua