Terusan Suez dan Haji di Jawa
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBIslam reformis di Jawa
Eksploitasi kolonial dalam sebuah sistem cultuurstelsel dibawah komando van den Bosch pasca Perang Jawa 1830, yang sangat menguras kas pemerintah kolonial, memmberikan dampak mendalam bagi kalangan pribumi. Nusantara menjadi lumbung pemasok komoditas ekspor yang terintegrasi dengan dunia internasional. Apalagi, dibukanya Terusan Suez pada 1869, tak hanya membawa nusantara ke masa liberalisme ekonomi yang ditandai dengan masifnya modal asing yang masuk, akan tetapi berdampak terhadap kehidupan siosial-keagamaan pribumi (terutama Jawa).
Terusan Suez menjadi lokasi sentral yang mampu memperpendek jarak mobilisasi ekspor barang-barang dari nusantara, menggeser jalur pelayaran nusantara-Eropa melalui tanah Arab. Perbaikan sistem perkapalan semakin mendukung keadaan ini. Konsekuensinya, disamping ekonomis, semakin banyak pribumi yang meninggalkan nusantara untuk berhaji. Tercatat, pada 1889 jumlah jemaah haji melebihi 5.300 orang, jauh melampaui tahun 1850 yang hanya berjumlah kurang dari 50 orang. Kehidupan Islam di Jawa (Islam Kejawen) yang berkembang akhir abad XVIII, dengan ciri keislaman yang kuat, ketaatan lima rukun Islam, dan penerimaan atas kekuatan supernatural Jawa mendapatkan tantangan dari gerakan reformis Islam yang dibawa oleh para haji yang telah bersinggungan dan memperoleh pendidikan Arab.
Gerakan reformis yang berusaha kembali kepada ortodoksi Islam, meski berjalan lambat, mulai nampak di Jawa pada awal 1850an. Pendirian pesantren, surau, dan jumlah pemimpin agama semakin menggeliat. Pada 1862 jumlah santri di Jawa mencapai angka 94.000, bahkan tumbuh pesat melampaui 162.000 sedekade setelahnya. Revivalisme Islam semakin mendapatkan angin segar tatkala berkecamuknya Perang Krim/Perang Rusia (1854-1856). Turki dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kekuatan Kristen Eropa. Setiap kemenangan di pihak Turki dirayakan dengan doa dan persembahan yang mampu menumbuhkan semangat Pan-Islamisme, solidaritas sesama muslim, dan tumbuhnya perasaan anti Barat. Memang, tak semua pesantren meninggalkan Islam mistis yang memadukan Al-Qur’an, seni bela diri, serta sihir, tetapi pesantren di pantai utara Jawa menekanakan reformasi Islam yang puritan lewat pemahaman bahasa Arab dan ketaatan pada syariat.
Kemunculan kelompok sufi dalam tarekat mampu membingkai semangat reformasi Islam, bahkan menjadi sebuah ekstremisme politik. Tarekat Shattariyah, Naqsyabandiyyah, maupun Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah menjadi ujung tombak revivalisme Islam ortodoks. Para haji seakan menjadi agen bagi perkembangan Islam yang sedang menggeliat di Mekah guna kembali kepada prinsip konservatisme dan fundamentalisme Islam. Tarekat mampu menarik banyak pengikut serta membangkitkan gerakan antikolonial, seperti pemberontakan petani Banten 1888. Guna meredam pergerakan Islam reformis, pemerintah kolonial, lewat Snouck Hurgronje, mengubah sikapnya terhadap Islam. Snouck menekankan pentingnya adat dan mempermudah proses westernisasi melalui pendidikan Barat dan sistem administrasi kolonial. Apa yang dilakukan Snouck sukses meredam reformasi Islam dan kembali menyemai kolonialisasi di nusantara.
Di kalangan orang Jawa kemunculan reformasi Islam tak sepenuhnya mendapatkan tanggapan positif. Sekitar awal abad XIX, sebagian besar orang Jawa malah meninggalkan ajaran lima rukun Islam. Terjadi polarisasi ketika mayoritas penduduk Jawa yang kurang taat yang biasa disebut abangan lebih mendominasi wajah Jawa, sementara putihan atau santri yang taat menjadi minoritas. Identitas keagamaan tak mampu lagi menyatukan masyarakat Jawa. Pun dengan elite priyayi Jawa yang lebih tertarik pada kemajuan ala Barat, seperti fotografi, surat kabar, maupun pesta bergaya Eropa. Bahkan, muncul beberapa anggapan di kalangan elite priyayi bahwa Islam yang dianut oleh orang Jawa merupakan kesalahan peradaban. Jawa diramalkan akan kembali kepada masa ketika buda dan budi berpadu. Bukti nyata ialah kemunculan Suluk Gatholoco dan Serat Dermagandhul, 1870-an, yang menyatakan bahwa kemunduran Majapahit adalah akibat kelicikan para pemimpin Islam dan disampaikan lewat ejekan cabul. Awal abad XX, Jawa berada dalam suatu masa peralihan dari masa lama ke zaman baru yang belum jelas bentuknya.
Reformasi Islam, di satu sisi, mampu menumbuhkan perasaan anti-kolonial yang mewujud dalam perlawanan di pedesaan Jawa. Di sisi lain, disintegrasi timbul karena perbedaan pandangan di kalangan penganut Islam Jawa dan mewujudkan sebuah polarisasi ketika masyarakat Jawa terbagi kedalam abangan dan santri. Islam bukan lagi menjadi alat yang mampu menyatukan kalangan masyarakat Jawa. Terusan Suez telah menjadi katalisator akar-akar pertentangan Islam tradisionalis dengan Islam reformis.
PRIMA DWIANTO
Alumni Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UGM
(Sumber gambar: old.uniknya.com)
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Romantisme Sukarno-Hatta dan Wajah Semu Demokrasi Kini
Minggu, 1 September 2019 13:23 WIBMitos dan Kuasa Pasar: Dewi Sri sebagai Penguat Subsistensi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler