Dari Masa ke Masa: Bayang-bayang Kekuasaan dan Warisan Ketakutan
Kamis, 29 Mei 2025 07:33 WIB
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menjadi tua dan menyadari bahwa kita sendiri adalah tembok yang dulu ingin kita robohkan
***
Hubungan antargenerasi sering dipenuhi oleh prasangka. Orang tua menganggap generasi muda tak cukup dewasa. Generasi muda menilai orang tua terlalu menggurui. Ketegangan ini bukan hanya urusan usia, tapi tentang siapa yang merasa pantas menentukan arah hidup bangsa. Cerpen Dari Masa ke Masa karya A.A. Navis menggambarkan konflik ini dengan tajam, melalui narasi pengalaman seorang tokoh yang pernah muda, lalu menjadi tua, dan akhirnya menertawakan warisan kesalahannya sendiri.
Dalam cerpen itu, tokoh utama menceritakan masa mudanya yang penuh semangat. Ia dan teman-temannya ingin berbuat sesuatu, tetapi harus melalui ritual restu dari orang tua-tua. Mereka harus menemui tokoh-tokoh tua, meminta nasihat, menunggu berjam-jam, mendengar ceramah panjang, bahkan digigit kepinding. Semua ini tak selalu memberi makna, selain beban tradisi yang mengekang.
Kritik muncul dari kenyataan bahwa generasi muda sering dianggap belum pantas. Padahal, mereka telah membuktikan banyak hal. Dalam cerita, tokoh muda merasa jengkel karena hanya kegiatan seni dan sosial yang perlu restu, bukan yang angkat senjata. Perang direstui oleh negara, seni harus disetujui orang tua. Ini menggambarkan betapa kekuasaan lebih suka yang bisa dikendalikan, dan takut pada kreativitas bebas yang tak bisa ditebak.
Di sisi lain, setelah dewasa dan menjadi tua, tokoh ini menyadari bahwa ia mengulangi pola yang sama. Ketika anak muda datang padanya, ia merasa senang dihormati. Ia merasakan kenikmatan menjadi tempat bergantung. Bahkan menikmati statusnya sebagai rujukan mutlak. Ia lupa pada janjinya sendiri: untuk tidak menjadi tua yang sok kuasa. Tapi akhirnya ia tertawa karena sadar bahwa yang ia perbaiki hari ini adalah akibat kesalahan masa lalunya.
Banyak orang tua atau pemegang kekuasaan saat ini baik di politik, pendidikan, maupun budaya tidak menyadari bahwa mereka sedang menghalangi regenerasi. Mereka masih ingin mengontrol narasi, mendikte langkah, bahkan menentukan siapa yang boleh bersinar. Sama seperti dalam cerita, orang tua ingin mengklaim keberhasilan generasi muda sebagai hasil bimbingannya.
Cerita ini memperlihatkan konflik antara kehendak bebas dan determinasi sosial. Orang muda ingin merdeka menentukan arah hidupnya, namun sistem menuntut agar mereka patuh pada otoritas. Restu menjadi simbol kontrol. Sementara dalam psikologi sosial, ini mencerminkan bias superioritas kelompok lama yang takut kehilangan posisi. Semakin muda generasi itu bersinar, semakin besar rasa cemas dari generasi sebelumnya.
Kenyataan ini juga terlihat di dunia kerja dan politik hari ini. Banyak anak muda dengan ide segar sulit mendapatkan ruang. Ketika mereka berhasil, sering diminta tampil sebagai kader atau simbol keberhasilan institusi lama. Bahkan di media sosial, influencer muda yang naik daun langsung di-endorse tokoh-tokoh senior agar menjadi semacam “anak asuh” simbolik. Padahal prestasi mereka lahir dari kerja keras pribadi, bukan warisan atau koneksi lama.
Cerpen ini juga menyentuh sisi sosiologis dalam struktur kekuasaan. Ketika tokoh cerita menyadari bahwa setiap keberhasilan anak muda justru jadi alasan munculnya perpecahan, kita diajak merenung. Betapa sistem sosial sering tidak siap menerima keberhasilan yang lahir dari semangat kolektif. Justru setelah sukses, organisasi pecah karena masing-masing pihak ingin mengklaim pengaruh. Ini seperti yang terjadi pada gerakan-gerakan sosial, yang hancur karena perebutan peran dan ego sektoral.
Kritik tajam lainnya ada pada watak birokrasi yang kaku dan manipulatif. Dalam cerita, orang tua-tua hanya ramah jika punya afiliasi partai. Mereka yang pejabat justru mempermainkan waktu dan martabat anak muda yang datang. Fenomena ini mencerminkan sistem sosial yang hanya menghargai siapa yang dekat kekuasaan, bukan siapa yang punya niat baik. Hari ini, hal itu tetap nyata—izin, dukungan, atau restu kerap diberikan hanya jika seseorang punya hubungan dengan elite.
Satu sisi menarik adalah soal waktu dan makna kedewasaan. Tokoh cerita mengaku dulu pada usia dua puluhan sudah jadi guru, komandan, pemimpin. Kini anak muda usia serupa masih sekolah dan dianggap belum dewasa. Ini bukan semata karena kualitas personal, tapi karena sistem membatasi. Jalan menuju peran penting kini lebih sempit, persyaratan lebih rumit, dan rasa percaya dari sistem terhadap generasi muda makin menipis. Ironisnya, semua ini diciptakan oleh mereka yang dulu muda, dan pernah memimpin lebih awal.
Namun, pada akhir cerita, sang tokoh tidak mengutuk anak muda masa kini. Ia justru menyadari bahwa zaman telah berubah. Anak muda kini tidak mencari restu, mereka menuntut pengakuan. Mereka tidak tunduk pada nasihat panjang yang kosong, tapi meminta pembuktian. Mereka tidak gampang dipuja karena mereka tahu, yang mereka butuhkan adalah ruang, bukan tepuk tangan. Ini menggambarkan kesadaran baru bahwa relasi antar generasi harus lebih setara.
Cerpen ini seolah mengajarkan bahwa kritik yang jujur bukan datang dari benci, tapi dari refleksi. Ketika tokoh cerita tertawa karena sadar bahwa ia memperbaiki kesalahan masa muda, kita juga diajak tertawa. Tapi tawa yang getir. Karena kadang, yang tampak sebagai kekurangan generasi muda hari ini adalah cermin dari kegagalan sistem pendidikan, politik, dan budaya yang dibangun generasi sebelumnya.
Cerita Dari Masa ke Masa mengajak kita berhenti mengulang pola yang salah. Jangan lagi anak muda harus tunduk demi restu yang semu. Jangan biarkan mereka sukses hanya untuk dicaplok. Jangan biasakan membanggakan masa lalu tanpa memberi ruang pada masa depan. Dan jangan jadikan bayang-bayang kekuasaan masa lalu sebagai penghalang lahirnya pemimpin baru yang otentik.

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: satya_rabani
5 Pengikut

Dari Masa ke Masa: Bayang-bayang Kekuasaan dan Warisan Ketakutan
Kamis, 29 Mei 2025 07:33 WIB
Tuhan yang Dimatikan
Sabtu, 17 Mei 2025 19:44 WIBArtikel Terpopuler