Penyair, Pengelola Program Bentara Budaya di Bali, Mahasiswa Magister Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI). Juara Utama Lomba Penulisan Kritik Seni ISBI Bandung (2020), Emerging Writers UWRF 2021. Antologi Puisi Tunggal: Doa Ikan Kecil (2019), Gadis Minimarket dan Berita Hari Ini (2021).

Dari Aksi Kolektif ke Gerakan Sosial: Sebuah Gagasan Reflektif

Selasa, 20 Mei 2025 19:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
balikandarupa
Iklan

Sudah sepatutnya seni hadir tidak sekadar sebagai hiasan seremoni, tetapi sebagai suara yang turut menuntun arah zaman.

Di banyak tempat di Indonesia, ekosistem kesenian masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak mudah. Ruang apresiasi yang terbatas, absennya kebijakan yang berpihak, dan rapuhnya jalinan antara pelaku, lembaga, serta institusi pendidikan seni membuat banyak inisiatif kebudayaan berjalan di atas ketahanan individu—bukan pada sistem yang mendukungnya. Festival digelar tanpa keberlanjutan. Galeri swadaya berguguran. Seniman muda kehilangan orientasi karena panggung dan pengakuan hanya tersedia bagi segelintir.

Namun di tengah bentang persoalan itu, Bali menjadi salah satu contoh menarik yang patut dikaji lebih dalam—bukan karena ia bebas dari tantangan, melainkan karena dinamika sosial kultural yang menyertainya. Pulau ini, dengan segala keunikan dan dinamika kebudayaannya, menjadi ruang akselerasi di mana beragam ekspresi dan kebijakan seni mulai menemukan bentuknya. Salah satu tonggak pentingnya adalah lahirnya Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Produk hukum ini tentu tidak muncul begitu saja atau semata kebijakan politik, melainkan bukti perjuangan panjang masyarakat seni Bali; akumulasi peristiwa, suara-suara kolektif, dan kerja-kerja komunitas yang kadang sunyi namun konsisten.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pesta Kesenian Bali (PKB), misalnya, sejak 1979 menjadi panggung utama presentasi budaya Bali. Namun, alih-alih menjadi ruang ideal untuk semua cabang seni, ia kerap menuai kritik karena dianggap kurang inklusif terhadap seni rupa, lemah dalam kurasi, dan cenderung tersandera rutinitas tanpa pembaruan. Kritik ini tentu bukan untuk menyurutkan peran PKB sebagai ruang apresiasi seni di Bali, melainkan untuk mendorong terjadinya perbaikan, agar seni tidak dianggap sekadar menjadi dekorasi seremoni, melainkan ruang dialog, pencapaian estetik, serta artikulasi kebudayaan yang terus bertumbuh dan berkembang. 

Bila dirunut kembali ke belakang, dari Pita Maha di era 1930-an hingga gerakan mahasiswa tahun 2001, dari Bali Biennale pasca-Bom Bali hingga pembentukan Bali Art Society pada 2013, geliat seni rupa Bali mencatat banyak jejak aksi bersama yang mengemuka seiring munculnya kesadaran kolektif. Meskipun tidak semua berlangsung berkesinambungan, fragmen-fragmen itu membentuk jejaring praksis yang mengakar dan terus menyuarakan kebutuhan ruang yang lebih adil.

Dalam perjalanan seni rupa Bali, bentuk-bentuk aksi kolektif senantiasa hadir dalam pola yang khas. Tidak selalu melalui protes terbuka, tetapi juga lewat kerja-kerja senyap. Forum diskusi, komunitas lintas generasi, hingga jaringan informal antarperupa menjadi medium penyemaian gagasan. Di balik pameran, simposium, atau festival kecil yang tampak sederhana, sesungguhnya berlangsung perbincangan strategis tentang hak dan posisi seniman dalam tata kelola seni yang berkeadilan.

Beberapa peristiwa penting yang terjadi, seperti Bali Biennale dan kegiatan sejenisnya, sejatinya tumbuh sebagai respons spontan atas kemandekan ruang apresiasi seni rupa yang lebih resmi. Even-even ini tidak selalu lahir dari kesadaran untuk membentuk gerakan sosial secara strategis, melainkan lebih sebagai reaksi kolektif terhadap keterbatasan yang dirasakan bersama oleh pelaku seni. Dalam ketidakteraturan dan kadang tanpa perencanaan jangka panjang, peristiwa semacam itu tetap memainkan peran penting dalam memperluas diskursus, menghubungkan pelaku lokal dengan lingkar seni yang lebih luas, serta menjadi wadah belajar dan berjejaring bagi generasi baru.

Karena tidak selalu didesain sebagai bagian dari strategi advokasi, banyak dari peristiwa ini tidak berlanjut atau tidak terlembagakan. Namun justru di sanalah terletak keistimewaannya—karena hadir dari keresahan nyata, bukan sekadar program kultural berbasis institusi. Ia tumbuh dari bawah, tanpa sokongan negara, tetapi mengandung semangat otonom dan partisipatif yang khas. Jika dilihat dalam rentang waktu yang lebih panjang, peristiwa-peristiwa sporadis ini membentuk lapisan-lapisan praksis yang akhirnya turut menyumbang pada narasi perubahan.

Bila boleh menyebut satu contoh, yang paling mendekati wujud advokasi kebijakan seni secara sadar dan terstruktur adalah kehadiran organisasi Bali Art Society (BAS) pada tahun 2013. Berawal dari diskusi yang dihadiri oleh hampir lima puluh peserta—terdiri atas perupa, penulis, kurator, dan pemilik galeri—terbentuklah gagasan perlunya Bali memiliki Art Project yang bersifat multifaset dan mampu menjangkau seluruh kemungkinan ekspresi seni rupa. Diskusi ini kemudian melahirkan tim perumus untuk merealisasikan tiga agenda penting: pendirian Bali Art Society, penyusunan statuta organisasi, serta pengembangan art project bernama Bali Art Summit.

Berdasarkan informasi yang tercatat dalam situs resmi BAS, sekretariat organisasi ini berlokasi di Taman Budaya (Art Center) Bali—menandakan adanya dukungan atau sokongan dari pemerintah daerah. Meski tidak bertahan lama, BAS sempat rutin mengadakan berbagai kegiatan: diskusi publik, bedah buku, pemutaran film, hingga program pendidikan seni seperti workshop, lomba melukis untuk siswa, dan mural art project. Bahkan pada tahun 2013, mereka memprakarsai Bali Art Fair yang pertama dengan tajuk Bali on the Move, diselenggarakan di sejumlah galeri ternama di Bali.

Namun, seperti banyak inisiatif lainnya, BAS juga menghadapi tantangan berkelanjutan. Ketiadaan dukungan struktural dan kesinambungan kelembagaan menyebabkan inisiatif seperti ini mudah terhenti. Di luar BAS, masih banyak dinamika dan bentuk gerakan seni rupa lain di Bali—baik oleh individu maupun kolektif—yang turut menyumbang wacana dan energi bagi perubahan. Melalui esai, artikel media, hingga protes di ruang digital, suara-suara ini membentuk lanskap kritik dan refleksi yang tidak bisa diabaikan.

Cendekiawan yang juga diplomat, Soedjatmoko, pernah menyatakan bahwa gagasan memiliki kaki untuk bergerak. Ungkapan ini menjadi tepat ketika merefleksikan bagaimana advokasi seni di Bali tumbuh—bukan dari lembaga yang mapan atau koalisi besar seperti halnya Koalisi Seni di tingkat nasional—melainkan dari gagasan-gagasan yang bergulir lewat kerja-kerja komunitas, diskusi lintas pelaku, serta jejaring yang terbentuk secara organik. Di Bali, belum ada satu wadah khusus yang menyatukan gerakan advokasi kebudayaan secara formal. Yang ada adalah simpul-simpul aksi yang menyebar, bekerja melalui wacana, program, serta praktik yang berulang dan berkesinambungan.

Model advokasi seperti ini memang tidak selalu mudah dikenali atau diukur. Ia tak hadir dalam bentuk manifesto atau kampanye berskala nasional, tetapi mewujud dalam keberulangan gerakan yang konsisten di ruang-ruang lokal. Setiap diskusi publik, setiap katalog pameran, bahkan setiap opini di media, menjadi bagian dari aliran gagasan yang terus mencari ruang formal untuk dilembagakan. Ketika sejumlah tokoh yang berasal dari ruang praksis itu masuk ke dalam struktur kebijakan, maka saluran antara basis dan suprastruktur menjadi terbuka.

Momentum itulah yang menjadi salah satu pendorong yang memungkinkan lahirnya PERDA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Kebijakan ini adalah salah satu kanal dari gagasan yang telah lama hidup di tengah komunitas seni. Ia bukan hasil dari instruksi atas, melainkan dari tekanan bawah yang menemukan artikulasinya pada saat yang tepat. Inilah bentuk pergeseran dari wacana ke kebijakan, dari serpihan aksi ke struktur yang berpihak.

Momentum itulah yang menjadi salah satu pendorong yang memungkinkan lahirnya PERDA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Kebijakan ini adalah salah satu kanal dari gagasan yang telah lama hidup di tengah komunitas seni. Ia bukan hasil dari instruksi atas, melainkan dari tekanan bawah yang menemukan artikulasinya pada saat yang tepat. Inilah bentuk pergeseran dari wacana ke kebijakan, dari serpihan aksi ke struktur yang berpihak.

Pergeseran ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pertemuan antara suara basis dan kebijakan nasional yang mendukung. Penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menjadi landasan yuridis dan politis yang memperkuat arah advokasi seni di daerah. Pasca pengesahan undang-undang tersebut, berbagai provinsi mulai menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), termasuk Bali. Inilah yang kemudian membuka jalan menuju penyusunan naskah akademik dan Rancangan Perda, hingga akhirnya pada 9 Juli 2020 disahkan menjadi PERDA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali.

Namun pekerjaan belum selesai. Apa yang telah dirintis perlu terus dijaga, dikritisi, dan dikembangkan. Aksi kolektif yang selama ini berlangsung secara sporadis dan parsial, sudah saatnya diorganisir dan diarahkan menuju bentuk gerakan sosial yang lebih sistematis. Untuk itu dibutuhkan wadah bersama yang tidak hanya menyatukan suara, tetapi juga menjadi laboratorium gagasan dan ruang diplomasi kultural.

Tanpa organisasi dan momentum yang tepat, aksi kolektif hanya akan menjadi letupan-letupan tanpa kesinambungan. Sebaliknya, ketika strategi, kesadaran, dan kekuatan kolektif dipertemukan, advokasi seni tidak lagi sekadar respons terhadap kekosongan, tetapi menjadi kekuatan transformatif yang menyusun arah masa depan kebudayaan secara lebih adil dan berkelanjutan. Dalam lanskap kebudayaan nasional yang masih rapuh, inisiatif dari Bali menunjukkan bahwa transformasi kebijakan tak pernah lepas dari jejak sunyi para pelaku yang sabar menyemai gagasan.

Sudah sepatutnya seni hadir tidak sekadar sebagai hiasan seremoni, tetapi sebagai suara yang turut menuntun arah zaman.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ni Wayan Idayati

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua