Berpengalaman sebagai administrator, writing specialist, penulisan ilmiah dan teknis, riset, feature, konten storytelling, jurnalistik, dan Designer Web dengan Elementor
Pendidikan Katolik sebagai Arena Memoria Passionis
Selasa, 20 Mei 2025 14:06 WIB
Pendidikan Katolik menghadapi panggilan mentransmisikan penderitaan manusia sebagai bentuk solidaritas anamnesis
Penderitaan Sebagai Pembebasan yang Terlupakan
Emansipasi sering datang sebagai sejarah kebebasan yang total dan tanpa kompromi. Emansipasi yang demikian ditemukan dalam formulasi Karl Marx. Baginya, emansipasi merupakan proses pembebasan kelompok dan kelas sosial, dan berfokus pada pembebasan diri karenanya ia menolak segala bentuk pemberian kebebasan dari luar. Sejarah emansipasinya merujuk pada subjek konkret dan pasti dari pembebasan diri yakni proletariat. Disana kebebasan didikotomikan menjadi tindakan historis yang berhasil dan mengandung mekanisme pembenaran dan pembebasan yang sempurna bagi homo emancipator. Karena itu, emansipasi Marx merupakan sejarah murni tentang kesuksesan, kemenangan, dan kejayaan. (Johann Baptist Metz, 1980).
Namun, emansipasi semacam itu menyimpan lubang yang tak dapat ditambal hanya dengan optimisme sejarah. Bagi sang teolog politik, Johann Baptist Metz, emansipasi tanpa suatu soteriologi menjadi terperangkap dalam dorongan untuk pembenaran diri dan pembebasan dari kemelaratan yang dimanifestasikan dalam kebutuhan untuk membingkai hubungan-hubungan manusia dalam konteks permusuhan. Karena itu, Ia pun mengembangkan pemahamannya tentang praksis sosial Kristiani yang terkait dengan emansipasi dalam dialog kritisnya dengan pemikiran seperti Kant dan Marx. Menurut Metz, Praksis sosial mesti dibimbing oleh pemahaman yang mempertimbangkan struktur patis atau struktur penderitaan dari praksis. Sebab sejarah bukan sekadar rangkaian tindakan penundukan dan pengendalian alam, melainkan juga patahan-patahan diam yang diselimuti penderitaan. (Johann Baptist Metz, 1980).
Struktur patis atau penderitaan dapat membebaskan praksis dari model antropologis yang melihat manusia hanya sebagai subjek yang mengendalikan alam, mengendalikan sejarah kemajuan seperti diformulasikan Hegel, dan mengendalikan sejarah kemenangan. Dalam model-model antropologi tersebut, penderitaan, rasa sakit, perkabungan, kegembiraan, dan permainan hanya memiliki validitas fungsional atau turunan dan kurang dihargai makna kognitif dan kritisnya. Dengan demikian, struktur penderitaan menentang upaya untuk mendefinisikan subjek hanya berdasarkan tindakannya dan bukan berdasarkan penderitaannya. (Johann Baptist Metz, 1980).
Struktur penderitaan terhubung erat dengan memoria passionis yakni ingatan akan penderitaan. Memoria passionis bukan sebagai nostalgia, melainkan sebagai interupsi terhadap sejarah yang ingin tampil rapi yang sangat khas dengan sejarah para pemenang. Dan sejarah para pemenang jarang mengingat siapa yang telah disingkirkan. Namun Metz menolak lupa itu. Ia menempatkan memoria passionis sebagai pusat teologi politiknya. (Johann Baptist Metz, 1980).
Di sini, memoria passionis bukanlah aksesori dalam museum kesalehan. Memoria passionis mengambil kisah-kisah berbahaya (memoria pericolosa) yang mempertanyakan kondisi sosial sekaligus membebaskan. Ia berbahaya karena mengandung ingatan akan penderitaan Yesus Kristus dan penderitaan seluruh umat manusia yang menuntut agar kita tak berpura-pura lupa akan konflik yang tak selesai dan juga pada harapan-harapan yang belum terwujud. Kisah-kisah berbahaya mempertahankan jejak-jejak masa lalu sebagai kontras terhadap pandangan yang berlaku sekarang sehingga membuat masa kini terasa tak nyaman dan terusik. Dalam pengertian seperti ini, sejarah penderitaan menjadi sebuah tradisi yang berbahaya. Tradisi yang tak bisa dihapus dan tak bisa dijinakkan dengan sikap pasrah yang hanya menerima masa lalu sebagai sesuatu yang sudah lewat. Tetapi tradisi yang menuntut pembebasan bagi Yang terlupakan. (Johann Baptist Metz, 1980).
Memoria passionis diteruskan lewat kisah-kisah yang berbahaya dengan niat untuk memahami sejarah tidak hanya dari perspektif pemenang, tapi juga memberi tempat pada kemungkinan-kemungkinan yang kalah dan hancur. Ia menjadi bentuk anti sejarah terhadap dominasi sejenis Darwinisme dalam prinsip seleksi lewat semboyan: Vae victis yang berarti celakalah yang kalah di mana Yang kalah sering kali dipinggirkan, dihapus, atau dilupakan. Memoria Passionis menginterupsi kemajuan lanskap sistem sosial yang tidak memberi tempat pada penderitaan karena penderitaan digambarkan sebagai sesuatu yang tidak penting, buruk rupa, dan sebaiknya disembunyikan dari pandangan. (Johann Baptist Metz, 1980). Penderitaan ditutup dengan kosmetik data statistik. Lalu mereka yang terluka, yang kalah, dan yang menderita dipinggirkan dalam bahasa yang sopan: “terdampak”, “kurang beruntung”,atu “perlu diberdayakan”. Seolah dengan memilih kata yang lebih halus, kita bisa mensterilkan rasa sakit.
Pemahaman kita tentang sejarah kerap dibentuk secara sepihak oleh keberhasilan, kemenangan, dan dominasi. Kita terbiasa memaknai sejarah sebagai kisah tentang mereka yang unggul, tentang para penakluk, tokoh besar, atau institusi yang berhasil bertahan dan mendominasi. Dalam kerangka ini, penderitaan hampir selalu dipinggirkan, bahkan dilupakan. Yang dikenang adalah keberhasilan, bukan luka-luka yang ditinggalkan dalam proses mencapainya. Sejarah seperti ini menyisakan kekosongan moral dan spiritual. Ia mengabaikan kenyataan bahwa di balik setiap keberhasilan sering tersembunyi kisah-kisah mereka yang gagal, tertindas, atau dikorbankan. Jika sejarah hanya ditulis oleh para pemenang, maka makna sejarah menjadi timpang karena tidak menyuarakan mereka yang menderita. Padahal justru di sanalah letak potensi paling dalam dari kemanusiaan kita yakni dalam luka, dalam tangis, dan dalam perjuangan yang tak selalu berhasil. (Johann Baptist Metz, 1980).
Dalam terang iman Kristiani, makna sejarah tidak boleh dimonopoli oleh para penyintas atau mereka yang “berhasil mencapai tujuan.” Makna tidak dapat diklaim hanya oleh para pemenang. Sebaliknya, iman menuntut kita untuk memberi tempat kepada mereka yang kalah, yang ditindas, dan yang tidak sempat bersuara. Dan di titik itu, iman akan kebangkitan pun bicara. Tapi bukan iman yang menjanjikan surga sehabis sekarat. Iman akan kebangkitan itu dinyatakan sejauh ia bertindak secara kontra-faktual dengan membebaskan kita untuk mengingat penderitaan dan harapan masa lalu serta tantangan dari mereka yang telah meninggal. (Johann Baptist Metz, 1980). Iman ini memungkinkan tidak hanya sebuah revolusi yang akan mengubah hal-hal di hari esok bagi generasi mendatang, tetapi juga sebuah revolusi yang akan menetapkan kembali makna dan harapan-harapan mereka yang telah dikalahkan dan dilupakan.
Inilah yang disebut ex memoria passionis atau politik yang berakar pada memori penderitaan. Sebuah memori yang bukan untuk ditangisi, tapi untuk mengganggu. Memori penderitaan tidak sekadar menjadi pengulangan peristiwa-peristiwa lampau secara statis dan nostalgia. Ia bukanlah bentuk penggalian arkeologis yang hanya menoleh ke belakang sebagaimana yang dipahami dalam konsep anamnesis Plato yang dijelaskan oleh Kierkegaard. Sebaliknya, dalam orientasi eskatologisnya, memori penderitaan bersifat dinamis dan proyektif yakni suatu ingatan yang terus menerus diperbarui dan diarahkan ke masa depan. Ini adalah bentuk memori yang hidup, yang berfungsi bukan hanya sebagai pengingat penderitaan masa lalu, melainkan sebagai pendorong harapan akan transformasi masa depan. (Johann Baptist Metz, 1980).
Dari Memoria Passionis Menuju Solidaritas Anamnesis
Memori penderitaan (memoria passionis) menempati posisi yang sangat fundamental. Ia menjadi titik tolak bagi suatu pemahaman teologi dan Gereja yang tidak hanya berbicara tentang keselamatan secara abstrak, tetapi secara nyata hadir dalam sejarah penderitaan umat manusia. Teologi semacam ini tidak berjarak dari kenyataan manusiawi, tidak mengabaikan luka-luka identitas mereka yang tertindas dan menderita. Sebaliknya, ia berakar dalam pengalaman nyata manusia dan berusaha mengungkapkan daya pembebasan serta penebusan yang bersumber dari iman akan Kristus. (Johann Baptist Metz, 1980).
Meskipun umat Kristiani percaya bahwa penderitaan akibat dosa dan kematian telah dikalahkan melalui karya penyelamatan Kristus, kepercayaan ini tidak serta-merta membebaskan kita dari tanggung jawab moral dan spiritual untuk terlibat dalam perjuangan melawan bentuk-bentuk penderitaan yang nyata seperti penindasan, ketidakadilan, dan pelanggaran martabat manusia. Iman Kristiani menuntut adanya solidaritas aktif terhadap mereka yang menderita, bukan sebagai pilihan tambahan, tetapi sebagai konsekuensi langsung dari iman itu sendiri. (Johann Baptist Metz, 1980).
Disitu, iman diekspresikan sebagai memoria passionis, mortis et resurrectionis Jesu Christi—yakni ingatan yang hidup akan sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Di jantung iman ini terletak suatu memoria passionis yang sangat khas yakni ingatan akan penderitaan Kristus yang menjadi dasar pengharapan akan kebebasan sejati bagi seluruh umat manusia. Melalui peringatan akan penderitaan-Nya, umat Kristiani diarahkan untuk menantikan masa depan yang penuh pembebasan. Hal Ini merupakan pernyataan yang bersifat eskatologis yang menunjuk pada akhir segala zaman yang tidak dapat disederhanakan atau dijustifikasi dengan cara-cara rasional semata, dan tidak dapat pula dibuktikan melalui standar-standar objektif. (Johann Baptist Metz, 1980).
Memoria passionis tidak hanya mengenang sengsara Yesus sebagai peristiwa individual, melainkan sebagai representasi ilahi dari penderitaan umat manusia secara universal. Dalam penderitaan Kristus, Allah sendiri hadir sebagai subjek dan makna dari keseluruhan sejarah. Namun, pengakuan ini bukan berarti bahwa Gereja atau kelompok tertentu boleh mengklaim dirinya sebagai satu-satunya perwujudan dari subjek penderitaan tersebut. Sebab bagi memoria tidak ada subjek sejarah universal yang dapat diidentifikasi secara politis. Hal Ini kontras dengan penunjukan proletariat sebagai subjek politik dalam Marxisme klasik. (Johann Baptist Metz, 1980).
Ketika partai politik, kelompok etnis, ras, bangsa, bahkan Gereja sendiri mencoba memonopoli atau mengklaim peran sebagai satu-satunya representasi sah dari penderitaan Kristus seperti yang digambarkan secara tajam melalui sosok Inkuisitor Agung dalam karya Dostoyevsky, maka di sanalah memoria Kristiani harus tampil sebagai kritik yang tajam. Iman Kristiani harus menolak dan membongkar segala bentuk klaim eksklusif semacam itu, yang pada dasarnya adalah bentuk penyembahan berhala dalam wujud politik. Ini adalah bentuk ideologisasi iman yang mengarah pada totalitarianisme dan kehilangan jiwa pembebasannya. Dalam konteks ini, praksis iman Kristiani tidak melulu berfokus pada moralitas individu seperti dalam pemahaman Kant, tetapi juga mencakup struktur sosial. (Johann Baptist Metz, 1980).
Maka dari itu, memoria Kristiani berfungsi sebagai benteng etis dan spiritual terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Ia menjadi kekuatan yang menyanggah setiap usaha untuk menjadikan penderitaan suci sebagai alat legitimasi kekuasaan manusia. Memori iman yang sejati selalu berpihak kepada mereka yang tertindas, namun tidak pernah menjadikan penderitaan sebagai alat ideologis. Justru sebaliknya, ia mengingatkan bahwa Allah hadir dalam penderitaan, bukan untuk mengukuhkan kekuasaan, tetapi untuk menebus dan membebaskan. (Johann Baptist Metz, 1980).
Memori akan penderitaan Yesus dan penderitaan manusia sepanjang sejarah tidak hanya menjadi pengingat pasif, melainkan sumber hidup bagi bentuk solidaritas yang unik. Solidaritas ini tidak berpihak pada kekuatan, tidak mengagungkan kemenangan, tetapi mengakar pada pengalaman mereka yang lemah, yang kalah, yang dilupakan, bahkan yang telah mati. Solidaritas ini dapat dipahami sebagai solidaritas anamnesis yakni solidaritas yang tumbuh dari ingatan bersama dengan mereka yang telah dikorbankan oleh sejarah dan mereka yang tidak mendapatkan tempat dalam narasi besar peradaban. Solidaritas anamnesis mematahkan cengkeraman sejarah sebagai cerita tentang penaklukan dan kemajuan dialektis seperti diformulasikan Hegel, serta menantang anggapan bahwa evolusi sosial selalu berarti kemajuan yang adil. (Johann Baptist Metz, 1980).
Solidaritas anamnesis memanggil kita untuk setia pada kemanusiaan yang tertindas, bukan sebagai objek belas kasih, tetapi sebagai subjek yang memiliki martabat dan suara. Dalam pengertian ini, solidaritas merupakan bentuk komitmen yang radikal. Komitmen untuk menjaga agar manusia tetap menjadi subjek dan bukan korban pasif dari sejarah. Dengan demikian, solidaritas Kristiani menjadi tindakan kenabian yang menggugat struktur yang tidak adil, merawat memori mereka yang dilupakan, dan membuka ruang bagi masa depan yang lebih manusiawi. (Johann Baptist Metz, 1980).
Alternatif Pendidikan Katolik Sebagai Arena Memoria Passionis
Memoria passionis yang dikembangkan oleh Jean babtist Metz memiliki signifikansi teologis dan politis yang sangat mendalam bagi Gereja. Gereja dipanggil untuk menjadi kendaraan publik yang mentransmisikan memori penderitaan dan bukan sekadar pelayan narasi kemenangan. Transmisi memori penderitaan dari Gereja dapat diarahkan kepada semua sektor kehidupan termasuk pendidikan. Karena itu Gereja tak bisa lepas dari ruang kelas sebagaimana ia juga tak bisa lepas dari pasar, dari lapangan, dan dari jeritan penderitaan.
Dalam konteks ini, pendidikan Katolik bukanlah gedung yang dipagari aturan ataupun proyek indoktrinasi, melainkan ruang bagi murid untuk menggumamkan "Tuhan, tolong tambahkanlah imanku”. Pendidikan Katolik menjadi salah satu upaya Gereja untuk tidak hanya membaptis dengan air, tapi juga dengan makna. Karena itu, Jika Gereja, dalam perspektif Metz, dipanggil untuk menjadi kendaraan publik yang mentransmisikan memori penderitaan dan bukan sekadar pelayan narasi kemenangan, maka sistem pendidikan Katolik pun menghadapi panggilan serupa untuk merawat, mentransmisikan, dan memperjuangkan memori bahaya yakni memori akan penderitaan Yesus dan penderitaan seluruh umat manusia bukan sebagai nostalgia masa lalu, tetapi sebagai daya kritis terhadap struktur yang menindas.
Pendidikan Katolik, jika ia masih setia pada panggilannya, harus berdiri bukan sebagai menara gading, tetapi sebagai ruang iman yang memberi tempat kepada mereka yang kalah, yang ditindas, dan yang tidak sempat bersuara. Tempat di mana guru tak hanya menyampaikan rumus dan fakta, tetapi ikut menundukkan kepala ketika menyebut kata kemiskinan, penindasan, atau penderitan. Sebab jika iman hanya tinggal dalam teks-teks agama dan rutinitas doa harian, maka mudah baginya menjadi semacam estetika rohani. Tapi ketika iman menyentuh kisah-kisah berbahaya (memoria periculosa) yakni ingatan akan penderitaan Yesus dan penderitaan seluruh manusia, ia berubah menjadi pembebasan. Pendidikan Katolik yang terlalu menekankan pada sains dan teknologi tanpa refleksi etis dan historis berisiko menyingkirkan dimensi kemanusiaan yang mendalam. Sebaliknya, pendidikan Katolik yang berakar pada memori penderitaan dapat menjadi alat pembebasan, kritik, dan interupsi bagi kemajuan lanskap sistem sosial yang tidak memberi tempat pada mereka yang terluka, yang kalah, dan yang menderita.
Pendidikan Katolik mesti mampu membantu individu dan komunitas sekolah mengenali bagaimana simbol, narasi, dan memori dapat dieksploitasi oleh kekuasaan untuk kepentingan tertentu sehingga mereka dapat membongkar eksploitasi dan ketidakadilan. Pendidikan seperti ini ia memberi daya kepada individu dan komunitas sekolah untuk menjadi subjek sejarah mereka sendiri. Di situ individu dan komunitas sekolah bukan sekadar objek dari sistem sosial atau produk dari struktur pengetahuan dominan, melainkan agen aktif perubahan sosial. Dalam pengertian ini, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan, tetapi juga untuk membebaskan. Pendidikan yang membebaskan memungkinkan individu dan komunitas sekolah untuk memahami realitas dari perspektif mereka yang disingkirkan sejarah dan untuk mengimajinasikan masa depan yang lebih adil. Dengan begitu, pendidikan Katolik mewujudkan tindakan solidaritas anamnesis yang menghidupkan kembali ingatan akan penderitaan untuk membentuk harapan baru.
PUSTAKA
Metz, Johann Baptist. Faith in History and Society: Toward a Practical Fundamental Theology. Diterjemahkan oleh David Smith. New York: The Seabury Press, 1980. (Judul asli: Glaube in Geschichte und Gesellschaft, 1977).

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pendidikan Katolik sebagai Arena Memoria Passionis
Selasa, 20 Mei 2025 14:06 WIB
Memastikan Kapabilitas untuk Masyarakat Palestina
Rabu, 14 Mei 2025 21:41 WIBArtikel Terpopuler