Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi
Penjurusan dan Arah Pendidikan Kita: Masih Nyari Jati Diri
Sabtu, 19 April 2025 20:12 WIB
Pendidikan bukan soal kurikulum, tapi soal manusia. Dan setiap manusia punya jalan belajar yang tak sama.
***
Dulu, waktu saya masih SMA—sekitar tahun ketika ringtone polifonik masih dianggap keren—penjurusan itu seperti pintu gerbang yang menentukan masa depan. Begitu kelas 10 selesai, guru BK datang membawa setumpuk kertas psikotes dan hasil rapor, lalu berkata, “Kamu cocoknya masuk IPA ya. Kamu IPS aja, lebih cocok.” Dan begitu saja, masa depan kita seperti diarahkan oleh selembar kertas dan hasil rapat guru.
Tapi kemudian, sekitar tahun 2022, pemerintah menghapus sistem penjurusan. Alasannya cukup mulia: memberikan kebebasan siswa untuk mengeksplorasi berbagai bidang ilmu, tanpa terkungkung dalam kotak-kotak bernama IPA, IPS, atau Bahasa. Modelnya mirip seperti di perguruan tinggi, di mana siswa bisa memilih mata pelajaran sesuai minat. Katanya, ini lebih sesuai dengan semangat Merdeka Belajar.
Namun seperti kisah cinta yang rumit, penjurusan itu tampaknya belum benar-benar bisa move on. Tahun 2024, muncul lagi wacana: penjurusan akan diberlakukan kembali. Sontak banyak guru dan siswa bertanya-tanya, “Lho, ini kita ke mana sih arahnya?” Dan begitulah, penjurusan yang sempat ‘dimatikan’, kini dihidupkan kembali seperti karakter sinetron yang ternyata belum mati dalam episode selanjutnya.
Kenapa Dulu Dihapus?
Kebijakan menghapus penjurusan waktu itu dilandasi semangat agar siswa bisa belajar lintas disiplin, sesuai minat dan potensi. Seorang siswa yang suka biologi, tapi juga hobi ekonomi, bisa ambil keduanya tanpa harus ‘menyerah’ pada salah satunya hanya karena terlanjur masuk IPA atau IPS. Sistem ini dianggap lebih fleksibel dan memberi ruang eksplorasi lebih luas.
Tapi, pelaksanaannya di lapangan? Yah, seperti biasa, tak semudah teori di atas kertas. Banyak sekolah, terutama yang fasilitasnya terbatas, kewalahan. Guru pun bingung menyusun jadwal. Ada siswa yang ambil kombinasi aneh: fisika, sejarah, ekonomi, biologi—jadwal bentrok, kelas minim, dan guru yang harus terbang dari satu ruang ke ruang lain. Sekolah-sekolah yang belum siap dengan kurikulum fleksibel ini akhirnya memaksakan kembali pembagian kelas ala penjurusan, meski secara resmi tidak disebut begitu.
Akhirnya, siswa yang niatnya ingin “merdeka” justru bingung. Mereka memilih berdasarkan teman, bukan minat. Ada juga yang ambil semua mata pelajaran penting karena takut salah langkah. Akibatnya? Waktu belajar jadi penuh, tapi fokus jadi buyar. Kebebasan malah jadi beban.
Kenapa Sekarang Mau Diaktifkan Lagi?
Pemerintah berdalih, penjurusan yang akan diberlakukan lagi ini bukan berarti kembali ke sistem lama. Ini akan lebih “adaptif dan fleksibel.” Tujuannya untuk menyiapkan siswa menghadapi perguruan tinggi atau dunia kerja yang lebih spesifik.
Namun, bagi sebagian orang, ini tetap terasa seperti langkah mundur. Mereka khawatir, sistem lama yang kaku akan kembali, dan siswa dikotak-kotakkan terlalu dini. Bayangkan anak umur 15 tahun harus memilih jalan hidupnya hanya berdasarkan nilai matematika dan IPA kelas 10. Padahal, banyak dari kita baru tahu passion setelah lulus SMA. Atau bahkan setelah ganti jurusan kuliah tiga kali.
Mungkin yang Salah Bukan Penjurusannya
Sejatinya, masalah bukan pada ada atau tidaknya penjurusan, melainkan bagaimana kita memaknai dan mengelolanya. Penjurusan yang baik bukan tentang memaksa anak memilih satu kotak, tapi tentang membantu mereka mengenali potensinya dan memberi panduan untuk bertumbuh.
Bayangkan kalau penjurusan itu fleksibel: siswa punya jalur utama (misal IPA), tapi tetap bisa ambil mata pelajaran dari IPS atau Bahasa. Sistem semacam ini memungkinkan spesialisasi tanpa kehilangan kesempatan eksplorasi. Artinya, penjurusan tetap ada sebagai arah, tapi bukan penjara. Ada struktur, tapi juga ruang gerak.
Dan tentu, guru BK dan wali kelas memegang peran kunci. Mereka bukan hanya pemberi saran berdasarkan angka, tapi juga pembimbing dalam proses pencarian jati diri siswa. Ini butuh pelatihan, empati, dan waktu yang cukup untuk benar-benar mengenal siswa.
Kembali ke Tujuan Pendidikan
Pendidikan idealnya bukan soal mencetak robot dengan spesialisasi sempit, tapi manusia utuh yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan terus belajar. Penjurusan seharusnya tidak mematikan semangat itu. Justru harus jadi alat untuk memperkuatnya.
Kalau memang harus ada penjurusan, maka ia harus lentur. Ia harus bisa menyesuaikan dengan minat dan bakat siswa, serta perkembangan zaman. Jangan sampai kita terjebak nostalgia masa lalu dan lupa menyesuaikan dengan tantangan masa depan.
Akhirnya…
Nasib penjurusan di SMA memang seperti kisah drama yang penuh liku. Dulu dibuang, sekarang dipungut lagi. Tapi mungkin, daripada kita sibuk bertanya, “Kenapa balik lagi?” lebih baik kita tanya, “Bagaimana agar penjurusan ini benar-benar membantu siswa tumbuh sesuai potensinya?”
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal kurikulum, tapi soal manusia. Dan setiap manusia punya jalan belajar yang tak sama.
Kalau begitu, mungkin yang harus kita juruskan adalah arah berpikir kita: dari sekadar menyusun sistem, menjadi menyusun masa depan.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Menjadi Budi Utomo Baru, Membayangkan dr Soetomo Aktif di Instagram
Rabu, 21 Mei 2025 13:20 WIB
Wacana Revisi UU Ormas: Menjaga Kebebasan, Menata Keteraturan
Rabu, 14 Mei 2025 10:31 WIBArtikel Terpopuler