Belajar Revolusi Sosial di Berbagai Negara

Jumat, 11 April 2025 23:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Revolusi Iran 1979. [Foto: Alain Dejean/Sygma/Getty Images]
Iklan

Revolusi sosial terjadi ketika rezim berlaku anti-demokratik dan negara tidak memiliki kanal untuk mengartikulasikan tuntutan politik.

***

Revolusi sejatinya kata tidak begitu asing di telinga bangsa Indonesia. Ketika masa perjuangan kemerdekaan kata revolusi mengisi hampir semua ruang publik melalui grafiti, bersanding dengan slogan “Merdeka Atau Mati”, dituliskan para pejuang kemerdekaan untuk membangkitkan semangat melawan penjajah Belanda (Wild & Carey, 2024). Begitu juga ketika pemerintahan Presiden Soekarno, terutama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), kita mengenal beberapa istilah menggunakan kata revolusi seperti “Revolusi Belum Selesai”, “Kontra Revolusi”, dan lain-lain (Mortimer, 2011)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlebih di dalam buku-buku pelajaran anak sekolah tingkat pertama sampai menengah pada mata pelajaran sejarah, kita mengenal istilah Revolusi Industri di Inggris (1760-1840), Revolusi Kemerdekaan Amerika Serikat (1775–1783), dan Revolusi Prancis (1789-1799). Istilah pertama menjelaskan perubahan produksi barang dari tenaga manusia ke mesin uap pada bidang industri, istilah kedua merujuk pada konteks berdirinya Amerika Serikat sebagai national state melepaskan diri dari kolonialisme Kerajaan Inggris, dan Revolusi Prancis menandakan berakhirnya sistem monarki absolut berganti ke bentuk negara republik.

Pada artikel ini penulis membatasi tulisan revolusi sosial pada skala perubahan sosial-politik terjadi pada beberapa negara. Revolusi sosial sendiri menurut salah satu bapak pendiri bangsa (founding fathers), Tan Malaka, menjelaskan sebagai peristiwa penghancuran tatanan kekuasaan lama, digantikan oleh struktur bangunan sosial baru yang berbeda dari sebelumnya, tatanan sosial lama dihancurkan karena di nilai sebagai struktur kerap menindas dan menghisap mayoritas massa rakyat, penindasan dilakukan untuk memusatkan kekayaan pada kelas sosial tertentu (Ihsanudin, 2010).

Faktor Pemicu

Faktor menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu. Di dalam konteks revolusi sosial tentu harus terjadi syarat-syarat terjadinya gerakan perlawanan dalam skala masif, ketika menggulingkan kekuasaan yang di nilai oleh massa rakyat telah menciderai kemanusiaan dan keadilan.

Pertama, ketimpangan sosial-ekonomi yang parah, banyak orang merasakan terjadi kesenjangan ekonomi sangat lebar antara elit dan rakyat. Kebanyakan orang akhirnya tersadarkan ada ketimpangan antara kepemilikan yang mereka miliki saat ini, dengan kepemilikan seharusnya bisa mereka dapatkan, ternyata realitanya tidak berbanding lurus justru terbalik, terjadi proses pemiskinan secara struktural (Prasetyo, 2004). Kedua, terdapat tekanan politik dan kekerasan ekstrem dari penguasa kepada rakyat, hal ini berdampak pada ketidakpuasan, kemarahan, dan frustrasi. Akhirnya menjadi pemicu utama keterlibatan massa rakyat ikut berpartisipan di dalam gerakan revolusi (Kusumandaru, 2003).

Ketiga, tumbuhnya ideologi atau pemikiran baru, muncul gugatan dari rakyat pada sistem politik yang tengah berjalan, dikatakan oleh kelompok revolusioner sistem itu sebagai sistem politik memiliki nilai menyimpang dan mendatangkan penderitaan. Kemudian muncul wacana alternatif berupa narasi ideologi atau pemikiran yang berbeda, sebagai tawaran membentuk sistem politik yang baru sebagai antitesis dari kebobrokan sistem lama (Malik, 2003). Keempat, terdapat organisasi penggerak perlawanan, organisasi dapat mempersatukan berbagai kelompok sosial di tengah-tengah rakyat di dalam memandu jalannya revolusi (Suseno, 1999). Faktor keempat ini bisa kita pertanyakan kembali, kalau kita melihat peristiwa Arab Spring di Kawasan Timur Tengah, proses penggulingan penguasa-penguasa otoriter di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman tidak di organisir insitusi bersifat formal, tetapi di gerakan oleh kekuatan media sosial.

Revolusi Sosial

Di dalam sejarah pergerakan politik global terdapat beberapa peristiwa penggulingan kekuasaan oleh massa rakyat melalui aksi revolusioner untuk mendongkel penguasa dari singgasana kekuasaan.

Pertama, Revolusi Oktober 1917 icon legendaris Revolusi Sosial dari kelompok kiri yang berhasil mentransformasi sistem politik dari feodalisme ke sistem sosialis-komunis, gerakan perlawanan dipimpin Lenin ini melahirkan negara baru bernama Uni Soviet, sebuah negara dibentuk berdasarkan pijakan ideologi Marxisme.

Rusia sebelum terjadinya Revolusi Oktober 1917, di bawah kekuasaan Dinasti Romanov, menerapkan sistem monarki, tidak ada demokrasi di dalamnya, meskipun di masa kekuasaan Nicholas II (1868 –1918) terdapat institusi parlemen, tetapi peran lembaga legislatif ini kecil. Kondisi ekonomi kaum buruh dan petani sangat memprihatinkan, mereka tidak mendapatkan upah layak, sehingga terperosok pada jurang kemiskinan akut. Pada sisi lain kehidupan sangat mewah dan megah nampak pada keluarga Nicholas II yang tinggal di Istana, akhirnya ketidakpuasan rakyat ini memuncak dalam aksi perlawanan revolusioner.

Pasca Revolusi Oktober 1917 negara Uni Soviet menerapkan konsep diktator proletariat, yaitu bentuk pemerintahan bersifat sementara setelah kelas buruh (proletar) mengambil alih kekuasaan dari kelas kapitalis lewat revolusi, untuk membangun masyarakat tanpa kelas (komunisme) (Suseno, 2003). Di dalam pelaksanaannya konsep  diktator proletariat ini, Uni Soviet  menggunakan penerapan sistem otoriter-totaliter guna mencapai tujuan masyarakat tanpa kelas itu. Diktator proletariat akhirnya digunakan penguasa komunis untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya, mereka digambarkan sebagai musuh negara, kontra revolusioner, kelompok reaksioner, dan sisa kelas borjuis (kapitalis).  

Kemudian dampak dari Revolusi Oktober 1917 di Rusia, menjadikan Marxisme dibakukan menjadi ideologi negara, akibatnya berbagai pemikiran di luar Marxisme diharamkan hidup di Uni Soviet, kebijakan ini menyebabkan tidak ada ruang publik bagi warga negara di dalam mengkritik pemerintah, apalagi mengkritik narasi kebenaran tunggal dari ideologi Marxisme.

Hal ini menyebabkan para intelektual Marxis yang hidup di luar Rusia melakukan kritik pada sistem komunisme yang dipraktikkan Uni Soviet, kemudian hari melahirkan Teori Kritis (mazhab frankfurt), mengambil ide pemikiran dari Karl Marx di usia muda atau dikenal istilah Marx Muda, yang dianggap memiliki pemikiran lebih humanis dan emansipatoris  (Wardaya, 2003).

Kedua, Revolusi Edsa 1986, peristiwa people power hari Sabtu, 22 Februari 1986 menggemparkan publik dunia, ketika itu ratusan ribu rakyat Filipina turun ke jalan-jalan menggulingkan Ferdinand Marcos dari kursi kekuasaan. Peristiwa kolosal tersebut oleh dunia dikenal dengan Revolusi Edsa. Keunikan Revolusi Edsa kentalnya simbol-simbol keagamaan yang bertebaran di ruang publik ketika aksi perlawanan terjadi dari Ekaristi, Salib, dan Patung Bunda Maria.

Kehadiran simbol keagamaan dalam Revolusi Edsa bisa dipahami, sebab keterlibatan aktif Gereja Katolik, salah satu tokohnya Kardinal Sin dalam pergerakan pro demokrasi. Sebelum revolusi meletus Kardinal Sin melalui siaran Radio Veritas memanggil umat kristiani bersama-sama turun aksi ke jalan menuntut demokratisasi, keterlibatan Gereja dalam aktivitas revolusi, menandakan terjadi perpaduan antara keimanan dengan solidaritas sosial. Agama Katolik di Filipina terbukti tidak saja berfungsi sebagai kepercayaan transendental, tetapi panggilan iman yang menggerakan pemeluknya melakukan perubahan (Soetomo, 1998).

Filipina sebelum revolusi di bawah pemerintahan Ferdinand Marcos yang berkuasa dari 1965 sampai 1986, di masa pemerintahannya rakyat dibawah bayang-bayang ketakutan dan kecemasan, Marcos tidak segan menghilangkan nyawa para penentangnya, banyak para tokoh oposisi dihilangkan atau dibunuh, selain itu media yang kritis pada pemerintah mengalami penutupan, sedangkan kondisi ekonomi ditandai kesenjangan parah, rakyat semakin miskin dan menderita, dari beberapa faktor itu mematik gerakan revolusioner di Filipina.

Ketiga, Revolusi Iran 1979 peristiwa besar yang membuat iri kaum Marxis, menurut Prof. Amien Rais dalam buku pengantar karya Ali Syar’iati berjudul Tugas Cendekiawan Muslim. Peristiwa besar itu adalah Revolusi Iran 1979. Membuat iri kaum Marxis karena model revolusi Iran yang melibatkan jutaan rakyat turun ke jalan tidak terjadi di negara-negara mereka (komunis), pada umumnya model revolusi komunis hanya letupan kecil, terkadang hanya melibatkan elit partai, jadi bukan ledakan massa rakyat dijalanan (Shariati, 1996)

Revolusi Iran tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang penanaman ideologisasi teologi syiah yang disosialisasikan kalangan ulama (mullah) secara terus menerus. Indoktrinasi ideologis ini akhirnya memetik hasil dengan tumbangnya rezim Shah Reza Pahlevi, kemudian berdirinya Republik Islam Iran dengan menerapkan sistem Vilayat I Faqih. Pemerintahan Vilayat I Faqih merupakan bentuk pemerintahan dengan konsep kepemimpinan diserahkan kepada seseorang dianggap menguasai bidang agama dan hukum Islam (Satori, 2022).

Pemerintahan Iran sebelum Revolusi 1979 menganut sistem kerajaan di bawah pimpinan Shah Reza Pahlevi, dengan menerapkan sistem nepotisme, keluarga kerajaan dan orang-orang dekatnya menduduki jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan, di dalam mengamankan kekuasaan Reza Pahlevi memiliki dinas rahasia bernama SAVAK, alat kekuasaan untuk melenyapkan kelompok oposisi, salah satu tokoh oposisi dari kalangan intelektual Iran, Dr. Ali Syariati, dikabarkan tewas melalui operasi intelijen yang dilakukan SAVAK (Tamara, 2021).

Dari beberapa peristiwa revolusi sosial telah dipaparkan di atas kita bisa menarik suatu kesimpulan, bahwa perlawanan revolusioner terjadi di negara-negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi, tidak memiliki kanal untuk mengartikulasikan tuntutan dan aspirasi politiknya, sehingga revolusi dipilih oleh massa rakyat sebagai model perjuangan mewujudkan sistem politik lebih terbuka.

Referensi Artikel

  1. Ihsanudin (2010). Tan Malaka dan Revolusi Proletar. Resist Book.
  2. Kusumandaru, K. B. (2003). Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme. Pustaka Pelajar.
  3. Malik, A. (2003). Pemikiran Pemikiran Revolusioner : Karl Marx, Antonio Gramsci, Anthony Giddens, Paulo Freire, Asgar Ali Engineer, Erich Fromm. Pustaka Pelajar.
  4. Mortimer, R. (2011). Indonesian Communism Under Sukarno : Ideologi Dan Politik 1959-1965. Pustaka Pelajar.
  5. Prasetyo, E. (2004). Islam Kiri Jalan Menuru Revolusi Sosial. Pustakan Pelajar.
  6. Satori, A. (2022). Sistem Pemerintahan Iran Modern. Rausyan Fikr.
  7. Shariati, A. (1996). Tugas Cendekiawan Muslim. PT. Raja Grafindo Persada.
  8. Soetomo, G. (1998). Revolusi Damai Belajar Dari Filipina. Pustaka Kanisius.
  9. Suseno, F. M. (1999). Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama.
  10. Suseno, F. M. (2003). Dalam Bayangan Lenin : Enam Pemikir Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka. Gramedia Pustaka Utama.
  11. Tamara, N. (2021). Revolusi Iran. Kepustakaan Populer Gramedia.
  12. Wardaya, B. T. (2003). Marx Muda Marxisme Berwajah Manusiawi. Penerbit Buku Baik dan Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma.
  13. Wild, C., & Carey, P. (2024). Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi Sejarah. Kompas.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Gili Argenti

Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PD Muhammadiyah Karawang.

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua