Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Cerpen - Amara Duka
Kamis, 13 Maret 2025 13:29 WIB
***
"Dunia ini penuh dengan dualitas yang menari dalam harmoni ketidakpastian," ucap Profesor Narasih, mengamati wajah kebingungan mahasiswanya. Sinar matahari sore menembus kaca-kaca tinggi perpustakaan kampus, menciptakan kotak-kotak cahaya keemasan di lantai kayu yang tua.
Nara, mahasiswa tahun ketiga jurusan Filsafat Sosial, mengernyitkan dahi. Di hadapannya terbentang sebuah kertas dengan diagram rumit—lingkaran-lingkaran yang saling berpotongan, garis-garis putus, simbol-simbol alphanumerik yang tercecer seperti kode rahasia.
"Saya masih belum mengerti, Prof," aku Nara jujur. "Bagaimana konflik-konflik horizontal dalam masyarakat kita bisa dipetakan secara matematis seperti ini?"
Profesor Narasih tersenyum. Wanita paruh baya itu menyentuh kacamatanya yang melorot. Rambutnya yang mulai beruban diikat rapi ke belakang, mencerminkan keteraturan pikirannya.
"Izinkan saya bercerita, Nara," katanya, menyandarkan tubuh pada kursi kayu tua. "Tentang sebuah tempat bernama Landasan C."
Di sebuah kota bernama Landasan C, hidup dua keluarga besar yang telah lama menetap. Di sisi timur kota, Keluarga A—dikenal sebagai Keluarga Right—memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan. Mereka hidup dengan aturan yang ketat, dalam rumah berdinding biru yang kokoh dan tegas. Segala sesuatu di kediaman mereka tersusun rapi dan terukur.
Di sisi barat kota, Keluarga B—yang dijuluki Keluarga Care—menjalani hidup dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Rumah mereka berwarna oranye hangat, selalu terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Mereka percaya bahwa kepedulian adalah kunci utama dalam menjalani kehidupan.
"Tunggu, Prof," sela Nara. "Apakah ini sebuah alegori tentang paham konservatif dan liberal?"
Profesor Narasih mengangkat alisnya. "Apa menurutmu begitu? Lanjutkan mendengarkan, dan kita lihat apa yang kau temukan."
Antara kedua keluarga ini terbentang jalan setapak yang disebut Koridor c. Jalan ini tidak lebar, namun memiliki batas-batas yang jelas—seperti garis putus-putus yang menandai wilayah masing-masing. Penduduk kota sering menggunakan jalan ini untuk berpindah antara wilayah keluarga A dan keluarga B.
"Kehidupan harus dijalani dengan aturan yang jelas!" seru Tuan A suatu pagi, saat berbicara dengan penduduk kota di alun-alun. "Tanpa kebenaran dan keadilan, masyarakat akan hancur."
Pada saat yang sama, di ujung kota lainnya, Nyonya B sedang membagikan makanan hangat. "Yang terpenting adalah kita saling menjaga," ujarnya lembut. "Kepedulian adalah fondasi dari masyarakat yang harmonis."
Profesor Narasih berhenti sejenak. Matanya menatap langit-langit perpustakaan, seolah mencari kata-kata yang tepat.
"Ketika aku masih muda, sepertimu," lanjutnya, "aku juga berpikir dunia ini bisa dibagi dengan jelas—benar dan salah, hitam dan putih. Tapi kemudian aku bertemu dengan X."
Di tengah kota, tepat di persimpangan Koridor c, tinggal seorang pemuda bernama X. Ia tumbuh sebagai anak yatim piatu, dibesarkan oleh kedua keluarga secara bergantian. Dari Keluarga A, ia belajar tentang kebenaran dan keadilan. Dari Keluarga B, ia memahami pentingnya kasih sayang dan kepedulian.
X memiliki rumah kecil berwarna hijau di pusat kota. Ia sering menjadi tempat penduduk kota mencari solusi ketika terjadi perselisihan. Kebijaksanaannya terbentuk dari pemahaman mendalam akan nilai-nilai kedua keluarga besar itu.
"X adalah paradigma konsensus," jelas Profesor Narasih, menunjuk pada lingkaran hijau di tengah diagram Nara. "Ia lahir dari sintesis antara tesis dan antitesis—antara kebenaran dan kepedulian."
Nara mengangguk perlahan, mulai memahami.
Namun kehidupan di Landasan C tidaklah selalu damai. Ada kekuatan misterius bernama D yang seringkali mengubah jarak antara kedua keluarga. Terkadang, D membuat rumah kedua keluarga terasa sangat dekat, hingga nilai-nilai mereka seolah bercampur. Di lain waktu, D mendorong mereka menjauh, menciptakan jurang pemisah yang dalam.
"Itulah sifat dinamis kehidupan," kata seorang tetua kota. "D selalu mengubah perspektif dan jarak, membuat yang besar menjadi kecil, dan yang kecil menjadi besar."
"D adalah faktor dinamis dalam teori konflik," bisik Profesor Narasih, matanya berkilat penuh semangat. "Ia adalah konteks sejarah, keadaan ekonomi, situasi politik, atau bahkan bencana alam yang mengubah hubungan antarkelompok dalam masyarakat."
Kesulitan lain datang dari seorang pemuda bernama Y, sepupu jauh X, yang selalu menciptakan kekacauan. Y suka memicu perdebatan dan kontroversi, membuat penduduk kota terpecah dalam berbagai pendapat. Ia bergerak seperti angin, tak terprediksi, kadang muncul di rumah Keluarga A, kadang di Keluarga B.
"Y hanyalah bentuk dari pergerakan kontra-produktif," bisik X pada seorang penduduk yang frustrasi. "Ia adalah simbol dari perbedaan pandangan yang tak terhindarkan."
"Apakah Y itu kemarahan?" tanya Nara. "Atau mungkin prasangka?"
Profesor Narasih menggeleng. "Y adalah proses alamiah dari perdebatan itu sendiri. Ia adalah gesekan yang tak terhindarkan ketika dua sistem nilai bertemu. Tanpa Y, tidak akan ada evolusi pemikiran."
Di tengah kota, tersebar titik-titik pertemuan yang dihubungkan oleh jalur-jalur tipis. Para penduduk menyebutnya "Pemetaan Simbolis"—tempat di mana konflik dan kepentingan bertemu, berinteraksi, kadang berkonfrontasi, namun tetap harus hidup berdampingan.
Suatu hari, pertentangan besar terjadi di alun-alun kota. Keluarga A bersikeras bahwa penduduk harus mengikuti protokol ketat dan aturan yang mereka tetapkan, sementara Keluarga B menginginkan pendekatan yang lebih fleksibel dan penuh pengertian.
Perdebatan semakin memanas ketika Y berkeliling dan membisikkan provokasi ke telinga penduduk. "Lihat bagaimana mereka memaksakan kehendak!" bisiknya pada pendukung B. "Perhatikan betapa mereka mengabaikan aturan!" hasutnya pada pendukung A.
Lantas, seperti yang sering terjadi dalam situasi genting, semua mata tertuju pada X.
Profesor Narasih berhenti bercerita. Ia mengambil pensil dan menggambar awan hujan kecil di sudut diagram Nara.
"Inilah yang kulalui selama empat puluh tahun penelitianku tentang konflik sosial," ucapnya pelan. "Amara Duka—dualitas yang pedih namun indah."
X berdiri di tengah alun-alun, di bawah langit kuning yang dihiasi garis-garis putus seperti peta tak kasat mata. Ia mengambil nafas dalam.
"Kita hidup dalam sistem yang kompleks," ujarnya dengan tenang. "Di setiap persimpangan, ada variabel kecil 'y' yang merupakan bentuk dari pernyataan perspektif. Mereka konstan, namun berbeda-beda."
Ia menunjuk ke arah Koridor c, lalu melanjutkan: "Tapi di atas semua itu, ada 'x' kecil—supra-konstan—yang menjadi inti dari keberadaan kita bersama. Itulah keseimbangan antara kebenaran dan kepedulian."
Perlahan, ketegangan di alun-alun mereda. Keluarga A dan Keluarga B mulai memahami bahwa perbedaan mereka bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi. D, kekuatan dinamis itu, kembali menggeser posisi mereka—kali ini mendekatkan keduanya dalam harmoni yang baru.
"Begitulah Amara Duka," tutup Profesor Narasih. "Pedih dalam pencarian, indah dalam penemuan."
Cahaya sore di perpustakaan telah berubah menjadi jingga kemerahan. Bayangan-bayangan memanjang di lantai kayu, seperti jari-jari raksasa yang ingin menceritakan kisahnya sendiri.
Nara menatap diagram di hadapannya dengan pemahaman baru. "Jadi semua ini—Landasan C, Keluarga A dan B, X, Y, D—hanyalah model matematis untuk memahami konflik sosial?"
Profesor Narasih tersenyum misterius. "Atau mungkin konflik sosial hanyalah cerminan dari pola matematis yang lebih besar? Aku tidak tahu pasti, Nara. Itulah sebabnya namanya Amara Duka—ketidaktahuan yang pedih namun juga membebaskan."
Profesor tua itu bangkit, mengumpulkan buku-bukunya. "Tugasmu minggu ini adalah menemukan X dalam hidupmu sendiri—titik keseimbangan di antara nilai-nilai yang saling bertentangan."
Saat Profesor Narasih berjalan keluar perpustakaan, ia berhenti sejenak dan berbalik. "Dan ingat, Nara—Y bukanlah musuh. Ia adalah bagian penting dari proses. Tanpa gesekan, tidak akan ada cahaya."
Nara duduk sendiri, memandang diagram itu lama sekali. Di baliknya, ia menuliskan sebuah judul kecil: "Amara Duka: Matematika Konflik dalam Dunia yang Terpecah."
Di luar jendela, langit senja berwarna kuning keemasan, dengan garis-garis awan yang terputus-putus, seperti peta rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang cukup bijak untuk memahami dualitas.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler