Pseudo Otonomi Desa: Demokrasi dan Kesejahteraan Lokal yang Digantungkan

Kamis, 12 Desember 2024 07:54 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
padat karya
Iklan

Otonomi desa diberikan untuk memperluas desentralisasi dan mempercepat pembangunan. Namun implementasi di lapangan sering kali tidak efektif.

***

Dalam perkembangan negara Indonesia sebelum memasuki era Reformasi, dimana pintu demokrasi dibuka lebar. Pemerintah desa merupakan institusi terbawah dan menjadi bagian dari pemerintah daerah yang menjalankan agenda pembangunan pemerintah pusat ditingkat paling bawah. Pada saat era Orde Baru kekuasaan tersentralistik di Jakarta, dan dalam perkembanganya ada upaya pemerintah untuk mendesentralisasikan kekuasaan pada daerah-daerah dibawahnya (Halim, 2018).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selanjutnya, pengaturan desa diatas dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, terutama tentang kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan yang menimbulkan ketegangan masyarakat. Berangkat dari sinilah diperlukanya pengaturan tersendiri mengenai desa. Oleh karena itu, kehadiran UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi landasan tersendiri untuk memberikan kewenangan desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

Dengan adanya regulasi ini diharapkan desa dapat otonom dan mandiri sesuai dengan prakarsa masyarakatnya, karena didalam undang-undang tersebut diharapkan adanya partisipasi dari warga secara langsung pada pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Kedudukan desa dalam regulasi baru tersebut menjadi suatu pemerintahan masyarakat yang memiliki kewenangan campuran antara self governing community dan local self government. Dalam konteks ini, desa bukan lagi menjadi bagian dari pemerintah kabupaten, artinya desa adalah institusi yang otonom (April, Alkadafi, Wahyudi, 2021).

Otonomi desa ini, sudah ada sebelum negara Indonesia hadir dan telah mengakar kuat dalam adat istiadat. Oleh karena itu, otonomi desa bukan merupakan pemberian kewenangan ataupun desentralisasi, melainkan otonomi asli yang dimiliki desa (Saragi, 2004). Perwujuduan otonomi desa sendiri adalah adanya peningkatan partisipasi masyarakat desa menuju kehidupan desa yang diatur dan digerakan oleh masyarakat desa, yang berarti otonomi desa merupakan demokrasi (Saragi, 2004).

Dengan demikian, jelas bahwa berdasarkan UU desa yang baru tesebut, desa menjadi institusi terpisah dari pemerintah supra desa (kabupaten) dengan dua asas penting yang menjadi acuan dalam pengaturanya, yaitu asas rekognisi (pengakuan) dan asas subsidiaritas (kewenangan). Asas rekognisi sendiri memiliki kemampuan untuk membuat penilaian atas tuntutan hukum yang sah.

Negara mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak tradisionalnya, wujud dari asas rekognisi pada hak asal-usul sendiri antara lain, pengakuan eksistensi diberikan satu persatu, mengakui bahwa hukum adat berlaku dalam hidup masyarakat tertentu (lebensraum), memberikan pengakuan dan penghormatan sesuai ukuran kelayakan berdasarkan perkembangan peradaban bangsa (Barniat, 2019).

Sebaliknya, asas subsidiaritas adalah pelaksanaan kewenangan skala lokal dan penetapan keputusan skala lokal untuk kepentingan rakyat setempat. Asas subsidiaritas ini berarti bahwa desa memiliki kewenanganya sendiri secara lokal dari asal-usulnya yang sumbernya dari sistem sosial-budaya, sistem politik-hukum dengan institusinya yang komunitarian dan memiliki pengaturan mengenai agraria sendiri sebagai basis material susunan asli (Kosasih, 2018).

Dari kedua asas inilah yang membedakan pengaturan desa pada masa Orde Baru yang lebih tersentralistis dengan pasca Reformasi, dimana pada UU desa yang baru ini menempakan pemerintah desa sebagai sistem pemerintah otonom dan terpisah dari pemerintah kabupaten.

Otonomi Desa dalam Perspektif Desentralisasi yang Gagal

Otonomi desa diberikan dalam rangka memperluas desentralisasi di Indonesia dengan tujuan untuk memberikan otonomi lebih besar kepada desa agar dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, implementasi otonomi desa sering kali menunjukkan ketidakefektifan, yang mencerminkan kegagalan konsep desentralisasi dalam konteks pemerintahan desa.

Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah ketimpangan antar desa dalam hal kapasitas dan sumber daya. Banyak desa, terutama di daerah terpencil dan kurang berkembang, tidak memiliki kemampuan administratif atau sumber daya manusia yang cukup untuk memanfaatkan kewenangan yang diberikan. Desentralisasi seharusnya mengurangi ketergantungan pada pusat, namun pada kenyataannya, banyak desa masih sangat bergantung pada alokasi dana dan kebijakan dari pemerintah pusat (Smoke, 2003). Tanpa infrastruktur yang memadai dan peningkatan kapasitas lokal, otonomi desa sering kali tidak dapat diterapkan dengan efektif.

Selain itu, kegagalan desentralisasi juga tampak dalam ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dengan kebutuhan lokal. Dalam banyak kasus, regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat tidak mempertimbangkan kondisi spesifik desa, yang menyebabkan program-program pembangunan menjadi tidak relevan atau tidak efektif (Bardhan, 2002). Desentralisasi yang buruk sering kali menciptakan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah dan desa, mengarah pada kebingungannya implementasi kebijakan dan pemborosan sumber daya.

Kurangnya transparansi dan pengawasan terhadap penggunaan dana desa juga menjadi masalah besar. Tanpa mekanisme kontrol yang kuat, banyak desa mengalami penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan (Faguet, 2004). Kegagalan dalam membangun sistem pengelolaan keuangan yang baik semakin memperburuk dampak negatif dari desentralisasi yang tidak berhasil. Oleh karena itu, meskipun desentralisasi memiliki potensi untuk memperkuat demokrasi lokal dan meningkatkan partisipasi masyarakat, kegagalannya dalam memberikan otonomi yang efektif kepada desa menunjukkan perlunya reformasi struktural yang lebih mendalam untuk memastikan bahwa kewenangan yang diberikan dapat digunakan secara optimal.

Sulitnya Mewujudkan Kemandirian Desa

Meskipun otonomi desa diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kenyataannya banyak desa yang menghadapi tantangan besar dalam mencapai kemandirian ekonomi dan sosial. Salah satu hambatan utama adalah terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur yang dimiliki desa. Sebagian besar desa di Indonesia, terutama di daerah terpencil, tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mengelola anggaran desa secara efektif, serta sulit dalam mengakses teknologi dan informasi yang dapat mendukung pembangunan ekonomi (Bardhan, 2002). Hal ini menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada bantuan dari pemerintah pusat, yang seharusnya tidak terjadi dalam sistem desentralisasi yang ideal.

Selain itu, ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dan kondisi lokal seringkali menghambat implementasi program pembangunan yang sesuai kebutuhan desa. Pemerintah pusat cenderung mengeluarkan kebijakan yang tidak mempertimbangkan kondisi spesifik desa, sehingga program-program tersebut menjadi tidak relevan dan tidak efektif (Faguet, 2004). Masalah lainnya adalah kurangnya pengawasan terhadap penggunaan dana desa, yang membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan dana, sehingga tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sulit tercapai.

Desentralisasi yang seharusnya memberikan lebih banyak kekuasaan kepada desa justru seringkali berujung pada kebingungan dalam implementasi dan terlalu banyak regulasi yang tumpeng tindih dan menjadikan kemandirian desa dalam menjalankan otonomi desa sebagai tujuan yang sulit tercapai (Smoke, 2003).

Selayang Pandang Otonomi Desa dan Kemandirian Desa

Dari analisa terhadap persoalan otonomi desa, dapat disimpulkan bahwa implementasi otonomi desa di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat. Salah satu isu utama adalah ketimpangan dalam kapasitas desa dalam mengelola sumber daya, baik manusia maupun infrastruktur, yang membatasi kemampuan mereka untuk mandiri secara ekonomi dan sosial (Bardhan, 2002).

Desa yang kurang berkembang sering kali terjebak dalam ketergantungan terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat, yang seharusnya tidak terjadi dalam kerangka desentralisasi yang ideal (Faguet, 2004). Ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dan kondisi lokal juga sering menjadi hambatan besar, karena program-program pembangunan yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal menjadi kurang efektif (Smoke, 2003).

Namun, otonomi desa yang awalnya bertujuan untuk menguatkan demokrasi di tingkat lokal justru menimbulkan masalah baru dalam penguatan demokrasi itu sendiri. Desentralisasi yang dilakukan tanpa memperhatikan kekuatan lokal dan kapasitas desa dalam mengelola kewenangan baru, menjadikan pengkategorian desa yang tidak sesuai dengan realitas di lapangan.

Banyak desa yang seharusnya lebih diberdayakan dengan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal mereka, tetapi justru terjebak dalam pengelompokan yang tidak relevan dengan kondisi riil mereka. Hal ini menyebabkan proses demokratisasi yang seharusnya terjadi di tingkat desa menjadi terhambat, sehingga otonomi desa belum mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Oleh karena itu, otonomi desa perlu ditinjau kembali agar lebih mempertimbangkan kemandirian desa melalui pemberdayaan kapasitas lokal, peningkatan infrastruktur, serta kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat desa. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan otonomi desa dapat memberikan dampak yang lebih positif dan berkelanjutan terhadap kesejahteraan masyarakat desa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifki Ali Aziz

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua