Bahan Bakar Pesawat dari Campuran Minyak Sawit
Kamis, 12 Desember 2024 05:35 WIB
Bahan bakar pesawat dari sawit dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, infrastruktur belum memadai dan penentangan dari Eropah.
***
Industri penerbangan, salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, sedang mencari cara untuk mengurangi jejak karbonnya dengan menggunakan bahan bakar alternatif. Bahan bakar berbahan dasar kelapa sawit mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan atmosfer dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Negara-negara produsen minyak kelapa sawit telah menyerukan agar minyak nabati itu dimasukkan dalam bahan baku produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Karena itu Indonesia mengupayakan pencampuran biofuel sebesar tiga persen pada bahan bakar jet selambatnya pada 2020, tetapi implementasinya tertunda.
Bioavtur merupakan bahan bakar pesawat yang terbuat dari campuran avtur dan 2,4 persen kelapa sawit, memberikan inovasi yang lebih ramah lingkungan. Selain bioavtur, pengembangan bahan bakar nabati lainnya, seperti biodiesel dan bioetanol, semakin berkembang di Indonesia.
Para ahli mengatakan industri ini akan membutuhkan 450 miliar liter Sustainable Aviation Fuel (SAF) per tahun pada 2050, jika bahan bakar tersebut ingin dianggap berkontribusi sekitar 65 persen dalam upaya mitigasi mencapai target net-zero
Sebelumnya, bioavtur hanya digunakan pada pesawat uji coba, tetapi kali ini diterapkan pada pesawat khusus untuk penumpang. PT Pertamina (Persero) baru saja merilis bahan bakar pesawat dengan campuran sawit. Nama bahan bakar itu Pertamina SAF.
Pengujian SAF telah dilakukan di Indonesia sejak 2020 dengan hasil uji coba yang berhasil termasuk co-process J2.4 dan uji terbang pada berbagai jenis pesawat. Hasil uji terbang menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja dibandingkan bahan bakar fosil konvensional.
Setelah melalui serangkaian tahap pengembangan dan uji coba kehandalan SAF, Pertamina bersama Garuda Indonesia melaksanakan kegiatan penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Adi Soemarmo menggunakan bahan bakar tersebut. Berdasarkan informasi dari pilot yang melakukan uji coba, pemanfaatan bahan bakar ini tidak ada perbedaan yang signifikan dengan bahan bakar biasanya. disampaikan oleh para pilot yang melakukan uji coba tidak ada perbedaan yang signifikan.
Penerbangan dengan 100 penumpang lebih dari Jakarta ke Solo yang berjarak sekitar 550 km ini merupakan bagian dari upaya pemerintah, sebagai produsen sawit terbesar di dunia dalam mendorong penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel secara lebih luas untuk mengurangi impor bahan bakar.
Pengembangan bioavtur di Indonesia sebenarnya telah diinisiasi sejak 2015. Pertamina dan ITB mengembangkan bioavtur dengan konsentrasi 2,4 persen, yang saat ini disebut bioavtur J2,4. Ini merupakan campuran kerosin dan palm oil 2,4 persen.
Kembali pada 2021, Indonesia melakukan uji terbang dengan bahan bakar yang sama pada pesawat buatan Dirgantara Indonesia. Pesawat itu terbang dari kota Bandung, Jawa Barat, menuju ibu kota Jakarta. Selanjutnya pada 27 Oktober 2023, penerbangan komersial pertama menggunakan bahan bakar nabati atau Bioavtur berhasil dilakukan di Indonesia. Pesawat komersial Boeing PK GFX Seri 727-800 tersebut terbang dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Adi Soemarmo dan kembali ke Jakarta Hingga saat ini, bioavtur masih terus dikembangkan di Pertamina dengan menggunakan bahan baku lainnya, termasuk bahan baku Palm Oil Mils Effluent (POME). Namun ada perbedaan harga antara bahan bakar avtur dan bioavtur yang akan berpengaruh terhadap biaya operasional maskapai.
Selain itu biofuel yang juga sudah dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel dan bioetanol. Bahan bakar tersebut merupakan hasil bahan bakar nabati, ke depannya pengembangan biofuel bukan hanya untuk kalangan tertentu, tetapi dapat dijangkau masyarakat,.
Biodiesel, misalnya, telah diimplementasikan sejak 2008 dan mencapai campuran tertinggi 35 persen pada 2023, menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang menerapkan biodiesel dengan kandungan tinggi. Rencananya, penggunaan biodiesel akan terus ditingkatkan menjadi B40 pada 2030 dan E50 pada 2050.
Penggunaan bahan bakar nabati telah memberikan dampak positif. Produksi biodiesel dalam negeri mengalami peningkatan, mencapai 11,84 juta kiloliter pada 2022. Pemerintah mencatat bahwa penggunaan biodiesel telah mengurangi impor bahan bakar minyak, menghemat devisa sebesar Rp122,65 triliun atau US$8,34 miliar, dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 34,9 juta ton CO2e.
Namun apakah sudah pasti secara standar internasional bahan bakar ini layak secara komersial?
Bahan bakar jet campuran minyak sawit yang diproduksi oleh Pertamina di kilang Cilacap, menggunakan teknologi HEFA (hydroprocessed esters and fatty acid) dan terbuat dari minyak inti sawit yang telah dimurnikan dan dihilangkan baunya.
Bahan bakar SAF jenis 2.0 yang diproduksi di unit Cilacap menggunakan teknologi co-processing dan terbuat dari minyak inti sawit olahan yang telah dimurnikan dan dhilangkan baunya dengan kapasitas produksi 1.350 kiloliter per hari.
Pengembangan inovasi bahan bakar nabati, seperti Bioavtur, diharapkan dapat terus memberikan solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong ketahanan energi hijau di masa depan.
Namun beberapa negara telah menyampaikan kekhawatirannya mengenai potensi deforestasi dalam produksi minyak sawit dari perkebunan. Uni Eropa telah memberlakukan pembatasan impor terhadap komoditas tersebut.
Tentu saja Indonesia terpukul dengan kebijakan baru Uni Eropa dengan memberlakukan Undang Undang (UU) Antideforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) sejak Mei 2023 lalu tersebut. Produk-produk pertanian dan perkebunan khususnya kelapa sawit terkena dampak langsung dari kebijakan tersebut.
Kebijakan Uni Eropa tersebut intinya melarang ekspor minyak sawit asal Indonesia beralasan, minyak sawit Indonesia berasal dari deforestasi alias penggundulan hutan. Inilah salah satu tantangan besar yang dihadapi karena kebutuhan avtur sebagai bahan bakar pesawat yang terus meningkat. Seperti diketahui, sejumlah negara di Uni Eropa menanam bunga matahari dan kanola sebagai bahan utama pembuatan minyak goreng.
Ada aroma persaingan antara bunga matahari dan sawit?
Karena jika dibandingkan dengan minyak matahari, faktanya minyak sawit lebih ramah dari sisi lingkungan. Pertama karena pohon sawit bisa bertahan hidup selama 25 tahun, bahkan 30 tahun. Selama itu, sawit tetap menjadi pohon, meski homogen. Sebaliknya, bunga matahari, setiap enam bulan harus dipanen. Saat itu tanaman bunga matahari atau kanola harus ditebang habis dan ditanam ulang.
Persaingan antara sawit dan bunga matahari juga terjadi untuk produktivitas dan produksi. Sebab satu hektare pohon sawit setara dengan 10 hektare tanaman bunga matahari. Jadi sesungguhnya, minyak bunga matahari dan kanola tidak mungkin bersaing dengan minyak sawit.
Namun Pemerintah Indonesia menegaskan perkebunan sawit masih mengacu pada kaidah-kaidah lingkungan. Salah satunya, sawit tidak ditanam di kawasan hutan, tapi kawasan nonkehutanan, yakni areal penggunaan lainnya (APL). Ditengarai ada keterlibatan organisasi di dalam negeri yang memberikan data dan informasi pelnaggaran pemnafaatan lahan hutan ke Uni Eropa.
Produksi crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 55 juta ton per tahun. Sebesar 20 juta ton digunakan untuk keperluan dalam negeri sebagai bahan baku minyak goreng dan biodiesel. Sisanya diekspor.
Perkebunan kelapa sawit menyumbang 30 persen dari target penurunan emisi sebesar 42 juta ton CO2 di Kaltim. Perkebunan sawit di Kaltim hingga saat ini pun mengklaim masih berkomitmen menjaga kurang lebih dari 600.000 hektare lahan dengan nilai konservasi tinggi dengan beragam habitat di tengah lebatnya hutan alam.
Tidak heran Pemerintahan Daerah Kaltim telah menerima pembayaran kompensasi dana karbon dari Bank Dunia atau World Bank sebesar USD 20,9 juta atau setara Rp300 miliar. Dana ini dikelola melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan dan pada tahun 2022 lalu, Kaltim telah menerima distribusi transfer sebesar Rp 69 miliar. Pembayaran dana kompensasi karbon ini pun telah dilalui melalui proses verifikasi dan validasi yang sangat ketat dari World Bank.
Selain jadi tergugat dalam kasus nikel, Indonesia juga berposisi sebagai penggugat di WTO dalam sengketa ekspor minyak sawit dan produk turunannya seperti biodiesel. Pada 9 Desember 2019 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di WTO. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
Melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui. Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia. Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global.
Data statistik BPS menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren negatif pada lima tahun terakhir. Nilai ekspor FAME mencapai US$ 882 juta pada periode Januari–September 2019, atau menurun 5,58% dibandingkan periode yang sama di tahun 2018 sebesar US$ 934 juta.
Sementara nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96% dari 3,27 miliar pada periode Januari–September 2018 menjadi US$ 3,04 miliar secara tahunan (year on year).
Sawit potensial sebagai bahan bakar alternatif pesawat ramah lingkungan atau sustainable aviation fuel (SAF). Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar global, Indonesia memproduksi 3,9 juta ton used cooking oil (UCO) pada 2023. Indonesia merupakan salah satu pasar industri penerbangan terbesar di dunia dengan 251 bandara yang ada dan 50 bandara baru dalam rencana pembangunan.
Selain itu, ada potensi dari jenis Palm Kernel Expeller (PKE) atau bungkil sawit, yang merupakan produk sampingan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit. PKE dapat diubah menjadi bioethanol yang dapat digunakan sebagai bahan baku SAF.
Adapun satu ton PKE dapat menghasilkan 250-liter bioethanol, dengan potensi PKE yang diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Indonesia sedang dalam proses mengusulkan PKE sebagai sumber bahan bakar SAF yang masuk dalam daftar lembaga verifikasi lingkungan hidup global, CORSIA.
Pengembangan SAF merupakan salah satu upaya Pertamina dalam transisi energi khususnya di bisnis aviasi, sekaligus mendukung pencapaian target Net Zero Emission (NZE) 2060. Selain itu, aspek pemanfaatan komponen minyak sawit ini dapat mendorong perkembangan industri dan ekonomi di dalam negeri.
Pertamina akan menyiapkan dua kilang untuk memproduksi bahan bakar campur sawit untuk pesawat bernama Pertamina SAF. Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution mengatakan, kapasitas produksi untuk bahan bakar tersebut saat ini baru 1.350 kiloliter (KL) per hari. harga bakar ini masih di atas harga avtur.
Biomassa adalah sebuah bentuk dari energi terbarukan yang berasal dari bahan organik seperti hewan dan tumbuhan. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar memanfaatkannya untuk sumber bioenergi.
Potensi kelapa sawit di Indonesia. dalam segi ekspor, sekitar 75 persen berasal dari kelapa sawit. Hal ini berarti 3 dari 4 sumber ekspor perkebunan dari kelapa sawit. Melimpahnya kelapa sawit dapat mendorong pengembangan bioenergi sesuai arahan presiden, yang dalam hal ini bioavtur,
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, bisnis penerbangan menjadi sangat penting di Indonesia, bioavtur yang dikembangkan nantinya dapat mendukung bahan bakar maskapai komersial, bioenergi merupakan salah satu Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mendukung transisi energi menuju net zero emission.
Sementara ini CPO dan produk yang dihasilkan CPO itu dibeli Eropa, maka kita mencari bahan baku second generation diantaranya minyak jelantah, POME, atau bahan baku yang lain. Sehingga desain saat ini merupakan second generation.
Bahan bakar pesawat dari sawit dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, dan infrastruktur belum memadai.
Beberapa negara memiliki inovasi masing-masing dalam menggunakan energi yang ramah lingkungan sesuai dengan peraturan masing-masing negara. Pemanfaatan biomassa untuk bahan bakar pesawat perlu disesuaikan dengan kebijakan transportasi yang ada, sehingga pengembangan bahan bakar ini dapat berkelanjutan.
Perlunya kerja sama antar para pemangku kepentingan dalam pengembangan bioenergi sehingga dapat berjalan sesuai rencana. Kerja sama diperlukan di semua sektor, diantaranya universitas, lembaga pemerintah, dan industri.
Jika Indonesia memiliki bahan baku yang mendukung bioenergi, sebaiknya terus dikembangkan. Hal ini juga merupakan bentuk pemanfaatan limbah organik untuk program energi hijau.
Dari berbagai sumber
Dr. -Ing. Salman, ST., MSc.
Penulis, Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Universitas Mataram

Dosen Teknik Mesin Universitas Mataram
0 Pengikut

E-bike 20 Kali Lebih Hemat Energi dari Kendaraan Bermotor
Sabtu, 26 April 2025 15:53 WIB
Bahan Bakar Pesawat dari Campuran Minyak Sawit
Kamis, 12 Desember 2024 05:35 WIBArtikel Terpopuler