Aku dan Peluru
Kamis, 5 Desember 2024 08:50 WIB
Malam itu, aku adalah hakim, juri, sekaligus algojo
/I/
Malam itu, sirine memecah keheningan. Lampu jalan yang berkedip samar seperti saksi bisu, menyinari tiga tubuh tergeletak di aspal. Seorang pria dengan seragam dinas reserse berdiri di dekat motor dinasnya, memandang pistol yang masih berasap di tangannya. Wajahnya pucat, gemetar. Di kejauhan, suara langkah-langkah mendekat—rekan setimnya tiba. Tapi saat itu, ia tak bisa mendengar apa pun selain gema suara peluru yang melesat dari senjatanya sendiri.
/II/
Pagi itu, aku bangun dengan kepala berat. Malam sebelumnya, patroli terasa begitu panjang. Sebagai anggota reserse narkotika, hari-hariku tak pernah benar-benar mudah. Barang bukti yang kami sita sering kali menjadi godaan—bukan hanya bagi bandar, tapi juga bagi kami sendiri. Sudah berbulan-bulan aku terjebak dalam siklus gelap ini: mencicipi sedikit barang bukti untuk "menghilangkan stres," lalu kembali bekerja seolah tak ada yang salah.
Aku ingat siang itu di ruang penyitaan. “Barang baru,” kata rekan setimku sambil tersenyum. “Yang terbaik bulan ini.” Aku mencicipinya—hanya sedikit, tapi cukup untuk membuat otakku melayang. Dunia terasa ringan, terlalu ringan.
/III/
“Berhenti!” teriakku di tengah malam itu, suaraku bergetar. Tiga remaja dengan seragam putih abu-abu melaju di depan motorku, tertawa-tawa seperti mengejek. Salah satu dari mereka mengayunkan sesuatu ke aspal—kilatan logamnya memantul di mataku. Itu pasti senjata, pikirku. Tawuran malam hari, sudah biasa terjadi. Aku harus menghentikan mereka sebelum ada korban.
Aku mengejar mereka, jantungku berdentum keras. Kepala yang masih melayang membuat segalanya terasa seperti adegan mimpi buruk. Dengan tangan gemetar, aku mencabut pistolku. Satu tembakan ke udara, lalu tiga peluru mengarah tepat ke tubuh mereka. Motor mereka oleng, terjatuh keras ke aspal.
Aku turun dari motorku, mendekati tubuh mereka yang tergeletak. Napasku tercekat. Tak ada senjata di tangan mereka. Tak ada ancaman. Hanya remaja-remaja biasa. “Ampun, Pak…” suara salah satu dari mereka menggema di kepalaku. Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Aku telah keliru.
/IV/
Suaraku bergetar saat menelepon seseorang. "Aku butuh bantuan… Aku… aku sudah melakukan kesalahan besar."
Di ujung telepon, suara tenang membalas, "Tenang. Beri aku waktu untuk datang." Tapi ketenangan itu tidak cukup untuk menenangkan pikiranku yang kacau. Aku telah membunuh.
/V/
Di ruang interogasi keesokan harinya, wajah-wajah penuh pertanyaan menatapku. “Kenapa?” tanya seorang penyidik. Aku tidak menjawab. Dalam kepalaku, suara-suara terus menggema: tawa mereka, denting peluru, dan kata-kata memohon yang datang terlambat.
Aku dan pistol di pinggangku telah membuat keputusan yang tidak bisa diperbaiki. Malam itu, aku adalah hakim, juri, sekaligus algojo. Dan kini aku hanya ingin tidur dan berharap tidak pernah terbangun lagi.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Aku dan Peluru
Kamis, 5 Desember 2024 08:50 WIB
Alter Ego
Rabu, 4 Desember 2024 08:33 WIBArtikel Terpopuler