Melihat Masa Depan Bangsa Melalui Mata Keluarga
Jumat, 23 Agustus 2024 18:03 WIB
Upaya pencalonan anak bungsu Joko Widodo juga tengah menjadi kontroversi di negara ini. Pemilihan kepada daerah akan dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia, namun dalam pemilihan kepala daerah tersebut disinyalir ada campur tangan dari Presiden Joko Widodo.
Oleh Sonny Xavier Setiawan
Selama 79 tahun Indonesia merdeka pada 17 Agustus 2024 lalu, 79 tahun juga Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan (?). Negara yang seharusnya sudah cukup matang untuk memerdekakan dan memajukan kesejahteraan bangsa, sebagaimana amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun apakah rakyatnya sudah merdeka? Apakah bangsa ini sudah menjadi bangsa yang matang?
25 Tahun sudah Indonesia terbebas dari belenggu otoriterianisme. Pada 1998 segenap rakyat Indonesia memperjuangkan reformasi agar terbebas dari kungkungan pemimpin otoriter. Namun apakah pasca reformasi ini Indonesia menjadi lebih baik? Apakah Indonesia telah benar-benar menjadi negara demokrasi?
Sebagai negara yang besar dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia dipandang sebagai negara yang mempunyai masa depan sangat cerah. Dari hutan tropis yang luas, hasil perikanan yang melimpah, hingga berbagai mineral berharga, potensi ini seharusnya menjadi pendorong utama bagi kemakmuran bangsa. Pengelolaan yang baik atas SDA dapat memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Namun dengan kekayaan sumber daya alam tersebut menjadi sebuah kutukan, hal tersebut karena Indonesia masih mengalami pertumbuhan yang lambat, eksploitasi berlebihan dan konflik sosial serta yang menjadi salah satu penghambat utama adalah keadaan politik. Pengelolaan yang buruk menjadi salah satu penyebab utama Indonesia tidak bisa memanfaatkan secara optimal sumber daya alam tersebut, namun hanya dikelola oleh kalangan tertentu.
Tantangan politik di Indonesia dapat mengancam potensi tersebut. Sistem pemerintahan yang tidak transparan dan korupsi yang merajalela sering kali menghalangi upaya untuk memanfaatkan SDA secara optimal. Banyak kebijakan yang seharusnya mendukung pengelolaan SDA yang berkelanjutan justru terhambat oleh kepentingan politik dan lobi-lobi bisnis yang tidak bertanggung jawab. Politik yang tidak stabil dan konflik kepentingan dapat mengakibatkan keputusan yang merugikan masyarakat, seperti eksploitasi SDA yang berlebihan tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial. Hal ini berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan menurunkan kualitas hidup masyarakat, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada SDA.
Demi untuk menjaga kesejahteraan bangsa Indonesia melalui pemanfaatan sumber daya alam, Indonesia harus mempunya pemimpin yang memahami permasalahan Indonesia. Namun apakah Indonesia akan mempunya pemimpin yang berpihak kepada masyarakat? Atau hanya akan dipimpin oleh para pemimpin yang terlahir dari tindakan-tindakan nepotisme? Pemerintahan dinasti dikhawatirkan hanya akan mewariskan kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak yang menguntungkan mereka. Tidak seperti yang terjadi saat ini, Indonesia menghadapi isu politik dinasti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Putusan MK pada tanggal 16 Oktober 2023, menjadi polemik baru dalam wajah demokrasi Indonesia. Putusan tersebut dinilai tidak wajar dan kental akan kepentingan politik. Hal tersebut juga dianggap sebagai upaya Presiden Jokowi melanggengkan kekuasaannya melalui anak-anaknya.
Putusan tersebut memang berkaitan dengan batas usia capres dan cawapres yang dikabulkan dengan catatan boleh maju di bawah 40 tahun namun pernah menjabat sebagai kepala negara. Hal ini dianggap sebagai upaya memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi Cawapres. Dan benar saja, pada Pemilu Presiden 2024 lalu Gibran Rakabuming Raka menjadi salah satu calon wakil presiden yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, yang kemudian pasangan ini memenangkan pemilu presiden 2024 dengan peraihan suara 54%.
Politik dinasti di Indonesia tampaknya akan terus berkembang, didorong oleh kekuatan jaringan keluarga, ketiadaan regulasi yang membatasi, dan budaya masyarakat yang permisif. Untuk memastikan bahwa perkembangan ini tidak merugikan demokrasi dan keadilan sosial, penting untuk mendorong reformasi dalam sistem politik, memperkuat lembaga-lembaga demokrasi, dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya akuntabilitas dan transparansi. Jika tidak, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus oligarki yang menghambat kemajuan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Tantangan integritas demokrasi saat ini semakin terlihat, karena kebijakan-kebijakan yang diambil oleh presiden Joko Widodo sarat akan kepentingan. Mulai dari reshufle di akhir periode, konflik elite partai, serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang diakali agar tidak diataati. Selama dua periode kepemimpinannya, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Laporan dari The Economist Intelligence Unit mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dengan "demokrasi cacat," yang mencerminkan stagnasi dan kemunduran dalam aspek-aspek demokrasi. Pada masa Jokowi, terdapat penguatan oligarki politik, di mana koalisi pemerintah menguasai lebih dari 80% kursi di DPR, mengakibatkan minimnya oposisi dan tantangan terhadap kebijakan pemerintah.
Politik dinasti ini menimbulkan kekhawatiran mengenai integritas demokrasi di Indonesia. Kritikus berpendapat bahwa keberadaan dinasti politik dapat merusak prinsip keadilan dalam pemilihan, di mana kekuasaan dan sumber daya dikuasai oleh segelintir keluarga. Dalam konteks ini, Jokowi dituduh menggunakan kekuasaannya untuk memobilisasi sumber daya negara demi mendukung calon-calon dari keluarganya, yang dapat menciptakan ketidakadilan dalam persaingan politik.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan selama pemerintahan Jokowi juga menunjukkan adanya hubungan antara kekuasaan politik dan kepentingan pribadi. Misalnya, penggantian pejabat di kementerian dan lembaga yang dianggap dekat dengan Jokowi, yang sering kali dipandang sebagai langkah strategis untuk memastikan dukungan politik menjelang pemilu.
Upaya pencalonan anak bungsu Joko Widodo juga tengah menjadi kontroversi di negara ini. Pemilihan kepada daerah akan dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia, namun dalam pemilihan kepala daerah tersebut disinyalir ada campur tangan dari Presiden Joko Widodo. Partai politik di Indonesia telah membuat koalisi besar-besaran yang hanya berpihak pada satu kubu saja, koalisi ini berdampak pada hilangnya oposisi pemerintahan. Selain itu, beberapa pihak menyatakan jika upaya pencalonan kepala daerah dibeberapa provinsi akan dihadapkan dengan kotak kosong, atau dalam kata lain pemilihan kepala daerah telah diseting untuk dimenangkan oleh koalisi besar tersebut.
Selanjutnya adalah upaya revisi undang-undang batas umur calon kepala daerah untuk memaksakan Kaesang Pangarep yakni putra bungsu Joko Widodo mencalonkan diri menjadi wakil gubernur. Mahkamah Konstitusi telah menolak revisi undang-undang tersebut, namun Dewan Perwakilan Rakyat melalu Baleg (Badan Legislatif) terus mengupayakan pencalonan tersebut dengan merancang kebijakan untuk menghiraukan putusan MK tersebut.
Komentar Presiden Jokowi terhadap situasi tersebut tidak sama dengan sebelumnya, jika pada putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, presiden menyebut jika keputusan MK harus diataati dan dihormati. Namun ketika keputusan MK yang tidak menguntungkan, Jokowi tidak menyampaikan bahwa putusan tersebut harus dihormati dan ditaati, namun seperti mendukung langkah yang dilakukan oleh Baleg atau badan legislasi yang berupaya untuk memaksakan pencalonan Kaesang Pangerep.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Manusia-Manusia Hipokrit: Berdiri di Atas Omong Kosong
Senin, 10 Maret 2025 10:22 WIB
Melihat Masa Depan Bangsa Melalui Mata Keluarga
Jumat, 23 Agustus 2024 18:03 WIBArtikel Terpopuler