Jangan Pakai Nama Presiden

Kamis, 20 Juli 2023 16:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika TVRI membuat film dokumenter, dengan judul Kutangkap dan Kulepas, salah satu nama orangutan itu adalah Suharto. Namun oleh sutradara, diminta mengganti nama Anak orangutan itu.

TVRI pernah membuat film dokumenter, berdurasi pendek sekitar 30 menit. Judulnya Kutangkap dan Kulepas dan konon memenangkan juara pertama dalam kontes film dokumenter tersebut, padaa awal tahun 1990an.

Saat pembuatan film itu, kru heran tanpa ada teks, apalagi narasi yang dibuat, bukan pemain sinetron, bukan pelaku drama, semua lancar sesuai dengan “arahan” dari sang sutradara. Yah, itu karena memang pekerjaan ini sudah dlakukan sehari-hari, dan hari ini mengulang pekerjaan kemarin dan akan dikerjakan esok hari. Jadi semua biasa saja.

Ketika sutradara mengisyaratkan mulai melakukan adegan, dan ada dialog antara dokter hewan Windarto dan saya sebagai perawat orangutan, saya berpura-pura membawa orangutan itu ke Pak Win, untuk diperiksa kesehatannya. Seperti pemain film, saya seperti pengasuh yang tergopoh-gopoh membawa orangutan untuk segera diperiksa. Biasa mengucapkan selamat pagi dan sebagainya, supaya keren ada dialog dalam film itu.

“Pak Win tolong orangutan ini diperiksa karena baru kami terima dari seseorang yang menyerahkan kepada kami,” demikian awal dialog saya ke Pak Win.

“Eh, Mas Edy ada-apa, apa ada tanda-tanda sakit,” tanya Pak Win.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Nggak sih, cuma coba dilihat kesehatannya, dan ada bekas gigitan orangutan,” kata saya menjawab.

Lantas Pak Win menanyakan umur, asal orangutan dan namanya untuk dicatat.
“Namanya Suharto, kelamin jantan, umur sekitar 5 tahun, asal dari udik dan sudah lama kami rawat”

“Cut … cut …cut!” kata sutradara dari TVRI. "Bisa nggak namanya diganti, jangan nama presiden, nggak enak, siapa saja deh."

Oke, adegan diulangi. Maklum adegan selama pembuatan film langsung direkam. Entah apa yang saya sebutkan, saya lupa, mungkin Karto atau nama saya sendiri.

Selama pembuatan film, untunglah Suharto tidak protes dan tak harus diselametin untuk penggantian nama. Nama Suharto diambil dari mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta yang pada tahun 1971-an melakukan penelitian di Tanjung Puting.

Suharto adalah salah satu anak orangutan yang mandiri, tidak tergantung dari orangutan lain atau pengasuh. Seusai pemberian makanan tambahan, dia langsung tidur di “hotel permanennya” di Pos Tanjung Harapan. Namun, karena masih kecil dan belum mampu untuk mempertahankan diri anak orangutan ini diserang dan digigit orangutan jantan liar. Hanya bisa menangis dan teriak. Lantas petugas menyelamatkannya. Mungkin kalau tidak segera ditolong, bisa parah.

Walaupun demikian, perlu mendapatkan perawatan yang intensif karena luka gigitan yang cukup lebar hingga tulang paha kanan terlihat dan perlu dijahit lebih dari 10 jahitan. Syukurlah saat itu ada dokter hewan volunteer dari luar yang membantu perawatan.

Perilaku orangutan jantan ini sudah biasa, khususnya terhadap jantan muda, walaupun masih bocah. Mereka cemburu dan mungkin kalau sudah besar akan menjadi pesaing dalam mempertahankan daerah kekuasaannya. Suharto anak orangutan yang “menggemaskan” ini sebelum konferensi kera merah yang dibuka di Istana Presiden di Jakarta oleh Presiden RI, Bapak Soeharto, sudah liar dan hidup bebas di hutan. Tak tahu apa arti konferensi ini bagi “bocah” yang yatim piatu ini.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Edy Hendras Wahyono

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Berkunjung ke Negeri King-Kong

Selasa, 3 Oktober 2023 18:41 WIB
img-content

Para Dokter, Where Are You?

Senin, 25 September 2023 16:10 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Humaniora

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Humaniora

Lihat semua