Mengapa Elite Gigih Menolak Penghapusan Presidential Threshold
Senin, 20 Desember 2021 08:06 WIBAdanya presidential threshold 20% telah menyulitkan regenerasi kepemimpinan di tingkat nasional, mempertahankan dominasi elite yang itu-itu juga, dan merintangi kehendak rakyat untuk memperoleh pemimpin alternatif dengan kualitas yang lebih bagus.
Aturan presidential threshold atau ambang bata pencalonan presiden sebesar 20% digugat. Ini bukan kejadian pertama, namun jadi menarik sebab yang mengajukan gugatan kali ini adalah Jenderal [purn] Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, sebagai warga negara biasa. Apakah gugatan penghapusan presidential threshold akan ditolak oleh para hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana gugatan sebelumnya?
Kendati sidang gugatan belum berjalan, Ketua DPR Puan Maharani bereaksi cepat mendahului putusan para hakim. Puan mengatakan tidak akan merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang di dalamnya mengatur ihwal presidential threshold. Gugatan dari warga negara sebenarnya merupakan hal biasa, tapi barangkali karena yang mengajukan mantan Panglima TNI, responnya menjadi berbeda. Puan berkata, aturan presidential threshold itu sudah final dan tidak bisa diubah lagi. Apakah ini semacam pesan kepada majelis hakim konstitusi?
Sebagai politisi yang mungkin akan dicalonkan oleh PDI-P untuk maju ke perhelatan pemilihan presiden 2024, entah sebagai orang nomor 1 atau sebagai calon wakil presiden, Puan memang berkepentingan agar aturan itu tetap berlaku. Bagi politisi lain, seperti Prabowo Subianto dan Airlangga Hatarto, yang partainya tergolong tiga besar bersama PDI-P dilihat dari jumlah kursinya di parlemen, aturan tersebut memang menguntungkan.
Dengan ambang batas pencalonan presiden 20%, tidak mudah bagi partai lain untuk mengajukan calon mereka. Partai-partai itu harus berkoalisi dan mencapai kesepakatan yang mungkin tidak mudah mengenai pasangan capres-cawapres yang akan mereka calonkan. Bila kalkulasi pragmatis yang dikedepankan para elite, bukan tidak mungkin partai-partai di luar tiga besar akan berkerumunan di sekitar ketiga partai besar—yang penting ikut gerbong calon pemenang. Apabila Prabowo jadi berpasangan dengan Puan, maka elite akan berhitung lagi apakah memilih bergabung dengan duo-P ini atau bergabung dengan Golkar yang mencalonkan ketua umumnya, Airlangga Hatarto.
Menjadi tidak mudah bagi partai yang ingin mengusung calon sendiri untuk menembus ambang batas 20%. Jika kesepakatan di antara partai-partai lain yang tidak ingin bergabung dengan Golkar atau Gerindra-PDI-P tidak tercapai, boleh jadi partai-partai itu akan memilih di antara keduanya. Melihat perkembangan mutakhir, bukan tidak mungkin partai akan berkerumun di sekitar Gerindra-PDI-P. Bila skenario ini yang terjadi, kekuasaan akan berada di tangan elite yang itu-itu juga. Demokrasi juga akan berjalan di tempat. Regenerasi kepemimpinan di tingkat nasional akan macet, sebab akan berputar di situs-situ saja.
Ambang batas 20% itu berperan sebagai rintangan pertama untuk menyingkirkan calon potensial di luar elite saat ini. Karena itulah, politisi seperti Puan berkepentingan agar aturan itu tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila aturan itu sampai dicabut, kompetisi pemilihan presiden menjadi sukar mereka kendalikan karena arahnya bisa tidak terduga. Bila aturan presidential threshold dihapus, calon-calon potensial yang namanya populer dan menempati peringkat atas dalam survei akan semakin berpeluang diusung oleh partai-partai yang ingin lepas dari dominasi ketiga partai besar.
Bukan hanya partai menengah dan kecil yang berpotensi melepaskan diri dari dominasi partai besar, tapi rakyat juga berpeluang memperoleh calon alternatif di luar elite politik yang sudah bertahun-tahun mendominasi panggung politik tanpa pesaing. Regenerasi kepemimpinan di tingkat nasional akan berpeluang berjalan lebih sehat, sebab yang tampil bukan politisi yang itu-itu saja. Wajah-wajah baru bisa tampil di pentas nasional, dan mungkin saja mereka lebih mampu menjalankan peran kepemimpinan yang lebih baik dibandingkan elite yang ada saat ini.
Adanya presidential threshold 20% telah menyulitkan regenerasi kepemimpinan di tingkat nasional, mempertahankan dominasi elite yang itu-itu juga, dan merintangi kehendak rakyat untuk memperoleh pemimpin alternatif dengan kualitas yang lebih bagus. Bagi elite kekuasaan sekarang, penghapusan presidential threshold mungkin dianggap sama saja dengan mempersilakan masuk orang-orang yang tidak diundang ke pesta demokrasi.
Kelompok elite tidak mau hegemoni kekuasaan mereka terganggu oleh kehadiran pemimpin baru yang langkahnya tidak seiring dengan kemauan mereka. Karena itulah, kaum elite gigih menolak penghapusan presidential threshold, walaupun itu aspirasi rakyat banyak. Anggota DPR tidak peduli bahwa mereka duduk di Gedung Senayan karena diamanahi rakyat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler