MayDay Honor!
Rabu, 24 November 2021 06:17 WIBSebuah cerpen
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi
Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru
Itu cilaka, uangnya tak ada.
W. S Rendra
Mayday! Mayday! Seseorang laki-laki berteriak di depan kantor kepala sekolah swasta. Ia masih mengenakan baju safari kecokelatan. Tubuhnya tinggi tegap, dengan tangan mengepal setengah ke atas. Ia dan kumisnya berjalan berputar-putar di depan pintu ruangan kepala sekolah.
“Mayday! Mayday! Pimpinan. Pampers sudah habis! Mayday! Mayday! Pimpinan. Minyak telon sudah habis! Mayday! Mayday! Pimpinan. Tagihan sopipaylater sudah hampir meledak. Mayday! Mayday! Pimpinan. Istri dan anakku…..
*
“Pertimbangkan lagi pekerjaanmu. Kupikir kita tak bisa begini terus. Perhitungan biaya bulanan kita membengkak terus. Ditambah hutang. Karena memang tidak seimbang. Malah kurang. Kalau kau menunggu satu tahun ke depan untuk mencoba PNS dan tetap bertahan di sekolah, rasa-rasanya aku menyerah saja. Lelah batin rasanya.” Suaramu tiba-tiba menusuk dari balik punggungku.
Azka rupanya sudah tertidur setelah kenyang menyusu. Sementara di luar, angin masih bekerja membawa hujan ke barat. Derit pohon-pohon bersahutan dengan bunyi air yang jatuh cepat-cepat dari atap. Aku hampir tertidur sebelum gemuruh itu menjalar juga ke dadaku.
Ini sudah bulan ketiga aku mengajar tanpa ada kejelasan honor. Sesungguhnya ini bukan kali pertama. Selama dua tahun mengajar, selama itu juga sudah berkali-kali kami digantung oleh honor. Sekali honor memang besar jumlahnya. Akan tetapi, lubang-lubang yang digali juga sudah terlalu lebar untuk ditutup. Rupanya aku tak benar-benar mendengarkan pesan pencopet Rendra. Apakah ini kesalahan orang tuaku yang tak pernah mengajarkan untuk mencapai kedudukan yang tinggi? Sehingga aku tersesat dan tak punya pilihan lain selain menjadi guru. Kemudian membawa istriku ke dalam lingkaran kesulitan hidup yang tak putus-putus.
Siti,
Kini aku makin ngerti keadaanmu.
Takan lagi aku membujukmu
Untuk nikah padaku
Dan lari dari lelaki yang miaramu.
“Cukup.” Aku cukup kesal dan menghentikan seorang siswa yang sedang membaca puisi di depan kelas.
“Makna puisinya tidak akan sampai kalau kamu bacanya loyo dan tidak bersemangat begitu. Bayangkan puisi itu seperti rasa lapar. Ia yang menggerakkanmu menuju kantin untuk membeli nasi kesukaanmu. Atau kau bayangkan lebih gila lagi kalau-kalau yang lapar itu Si Miskin. Kemudian puisi itu suara satu-satunya yang dipunya.”
“Baik, Pa.” jawab siswa yang masih berdiri dengan selembar teks puisi Rendra itu.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel. Aku mengintip dari layar kunci. Terbaca istriku.
“Azka makan apa hari ini?”
Banyak pertanyaan hidup yang sulit sekalipun bisa kucari-cari jawabannya. Baik itu persoalan sosial, sains, agama, filsafat. Namun aku gagap atas pertanyaan sederhana yang dikirimkan oleh istriku hari itu. Rasa lapar anakku sendiri tak bisa menggerakkanku untuk cabut dari sekolah ini secepatnya. Aku malah termenung. Profesi ini rasa-rasanya memang berencana membunuh keluargaku secara perlahan. Sudah banyak pekerjaan yang kulewati. Dari seorang manager sampai buruh tani. Hanya menjadi gurulah yang tidak ada nilainya. Sekotor-kotornya pekerjaan buruh tani, ia pulang tetap membawa padi. Sementara guru? Bekerja keras memanusiakan manusia. Akan tetapi, ia sendiri luput dimanusiakan.
Kita bertemu tiga tahun yang lalu. Aku masih seorang manager dari sebuah perusahaan swasta. Sementara Ani, merupakan seorang pedagang buku. Buku-buku dialah yang mempertemukan kita. Aku membeli beberapa buku kemudian bertemu. Bermodal pekerjaan saat itulah aku melamarnya.
Beberapa bulan setelah pernikahan, pandemi datang. Orang-orang yang bekerja dirumahkan. Semua aktivitas dibatasi. Demi stabilitas perusahaan satu per satu karyawan diputus kontrak. Tak terkecuali, aku. Memiliki jabatan pun tak bisa selamat.
Tanpa pekerjaan di musim pandemi membuat kalang kabut kehidupan pernikahan kami. Apalagi saat ini kandungan isteriku sudah semakin besar. Tak ada perusahaan yang membuka lapangan kerja. Justru sebaliknya, berita PHK semakin santer di mana-mana. Banyak teman-teman yang pulang tiba-tiba dari perantauannya karena tak lagi memiliki kerja.
Beberapa pekan sebelum Azka lahir, seseorang menawari pekerjaan sebagai guru bahasa di sebuah sekolah swasta. Karena latar belakang pendidikan yang linier, aku putuskan untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut. Tak pernah terbayangkan semasa hidup untuk menjadi seorang guru. Ketika ditanya perihal cita-cita waktu kecil aku lebih memilih menjadi seorang kernet bus dibandingkan menjadi seorang guru. Tak ada alasan lain selain karena mencintai sastralah aku masuk ke universitas jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Selain kelahiran Azka yang menambah sedikit harapan hidup keluarga, hidup kami tak bisa dikatakan baik-baik saja. Honor mengajar satu juta selama sebulan, dibayar kadang dua-tiga (bahkan empat) bulan sekali tak bisa banyak membantu memenuhi kebutuhan. Untunglah masa-masa itu usaha buku masih bisa sedikit berjalan. Kemudian, ada beberapa pekerjaan menulis yang dibayar. Namun, setelah semua itu sirna. Kami seperti digantung-gantung oleh honor yang tak kunjung dibayarkan. Membaca pertanyanmu, aku jadi teringat nasi goreng kesukaanmu.
“Bagaimana komentarmu tentang nasi gorengku malam ini?” tanyaku di sela mulut yang sibuk mengunyah.
“Hmm., okelah. Just a little bit salty.” jawab isteriku.
“Sudahlah tak ada pedagang nasi goreng yang….”
“Aku bisa menebak ada aroma kesombongan di percakapan ini. Sudahlah ” ejek isteriku.
Nasi goreng adalah satu-satunya menu masakan yang paling sering ada di meja makan. Bukan karena spesial. Karena tak ada lagi yang lebih murah untuk bisa dimasak selain nasi goreng. Ia hanya butuh nasi, satu telur, beberapa cabai, bawang merah dan putih, kemudian kecap dan bumbu-bumbu penyedap. Untunglah aku cukup terlatih soal membuat nasi goreng yang rasanya tak kalah dengan nasi goreng khas Tegal yang bermekaran di kota ini. Sayangnya Azka belum cukup usia untuk diberi makan nasi goreng.
“Kau tak tahu, ada tragedi besar ketika aku memasak nasi goreng ini”
“apa rupanya?”
“Ketika aku buang air kecil, aku lupa kalau tangan kiriku baru saja motong cabai dan lupa kucuci. Kau bisa bayangkan kan rasanya gimana.”
“Oh. Pantas lebih enak. Ada usaha dari Mr. P” timpal isteriku.
Aku meninggalkan ketertenggelaman dalam sihir mengingat-ingat kenangan tentang kita, Aku tinggalkan materi tentang puisi di kelas 8. Kemudian seperti memiliki dendam kesumat berjalan menuju kantor kepala sekolah.
“Mayday! Mayday! Pimpinan. Pampers sudah habis! Mayday! Mayday! Pimpinan. Minyak telon sudah habis! Mayday! Mayday! Pimpinan. Tagihan sopipaylater sudah hampir meledak. Mayday! Mayday! Pimpinan. Istri dan anakku belum makan hari ini. Mayday! Mayday!”
“Pak kepseknya tidak ada, Pak. Sudah dua minggu tidak datang ke sekolah.” Jawab seorang staf tata usaha dari balik pintu kantornya yang bersebelahan.
“Sekolah bajingan”
*
Malam semakin malam. Sementara hujan semakin menjadi-jadi. Selang beberapa lama kemudian listrik padam. Petir menyambar sudah berkali-kali. Tak terhitung kilatan yang sudah memecah langit. Akan tetapi, di antara suasana yang mencekan ini rasanya tidak ada yang paling mencekam dan paling menggetarkan selain suara-suara yang ditembakkan isteriku.
“Kau tahu apa yang kurasa saat ini? Aku takut bergantung hidup samamu. Aku jadi tak bisa mengandalkanmu. Karena memang kau tak sekuat dan setegas itu. Untuk kebutuhan mendasar saja, makan misalnya. Kau tak sanggup. Apalagi berpikir menabung dan punya rumah. Gajimu itu hanya cukup untuk ongkosmu. Aku bisa gila lama-lama hidup denganmu.”
*
Gemuruh itu terus saja menghunjam jantungku. Malam itu hujan turun sama persis. Angin menerbangkan daun-daun yang ranggas. Ranting-ranting saling bergesekan menimbulkan bunyi yang beradu-padu dengan suara hujan yang mendarat di mana-mana.
“Pa… Lapar” suara anak laki-laki memecah gemuruh hujan.
“Mau makan nasi goreng spesial Bapak?”
“Mau, Pa. Nasi goreng kesukaan Mama juga kan?”
“Ya, nasi goreng kesukaan Mama.”
Jemari-jemari hujan yang tak putus-putus itu seperti mengenangmu. *Ketertenggelaman dalam sihir keterbataan, derap gamang, garis putus-putus berlumur kecemasan akan maut.
Indramayu, 2021.
*diambil dari status Nuruddin Asyhadie dalam akun Facebook pribadinya.
Biodata Penulis
Suryana Hafidin, lahir di Indramayu 14 Apil 1994. Pengajar Bahasa Indonesia SMP Nahdlatul Ulama Losarang, penikmat kopi dan buku. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat media lokal maupun online. Duta Baca Indramayu 2018, aktif di Jaringan Literasi Indramayu dan pengurus Forum Taman Baca Masyarakat Indramayu. Ketua Jamaah Telembukkiyah dan Founder Saung Sastra Indramayu.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
MayDay Honor!
Rabu, 24 November 2021 06:17 WIBDari Bumi Manusia ke Merdeka Belajar Abad Milenial
Senin, 22 November 2021 15:11 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler