Riset Wajib Dipayungi Pancasila, Ekonomi Malah Bebas Merdeka

Minggu, 24 Oktober 2021 08:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa elite politik memilih riset dan inovasi sebagai target untuk diarahkan agar berpedoman pada Pancasila? Mengapa politik dan ekonomi yang langsung berdampak luas pada kehidupan sehari-hari rakyat banyak malah dibiarkan tanpa arahan? Apakah agar kepentingan elite tidak terganggu?

 

Pekan lalu, Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri dilantik menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mengapa seorang politisi duduk di institusi riset? Jalan berputar sudah disediakan: sebab ia Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Juga dibuat aturan untuk pembenaran: Ketua Dewan Pengarah BRIN ditempati Ketua Dewan Pengarah BPIP.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aturan semacam itu, kata seorang politisi PDI-P, menunjukkan bahwa pemerintah ingin setiap kegiatan riset dan inovasi berpedoman pada Pancasila. Menurut politisi ini, Dewan Pengarah BRIN bertugas memberi arahan dalam perumusan kebijakan dan penilitian di segala bidang kehidupan agar berpedoman pada Pancasila. Belum jelas seperti apa yang dimaksud dengan riset dan inovasi yang berpedoman pada Pancasila itu.

Komunitas ilmuwan sesungguhnya sudah memiliki rambu-rambu untuk menjaga agar penelitian tidak melanggar etika. Dalam penelitian kesehatan, misalnya, ada Komisi Etik yang menerbitkan izin penelitian dan kemudian mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan penelitian. Misalnya saja ada ilmuwan kita yang ingin melakukan eksperimen kloning domba—yang sebenarnya pernah dilakukan oleh ilmuwan lain berpuluh tahun lalu dengan hasil domba Dolly, Komisi Etik akan mempertimbangkan apakah riset semacam itu etis atau tidak, dan apakah memang sesuai kebutuhan kita.

Andaikan kita mau membuat perbandingan, manakah yang lebih membutuhkan apa yang disebut ‘pengarahan’ antara kegiatan riset dan inovasi dengan kegiatan politik dan ekonomi? Kalau mau berbicara jujur, kegiatan politik dan ekonomi lebih membutuhkan ‘pengarahan’ agar, katakanlah dalam ungkapan para politisi, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jika yang dipilih riset dan inovasi, pertanyaannya adalah: apakah praktik ekonomi yang sedang berjalan saat ini dianggap sudah berpedoman dan sesuai dengan sila-sila yang lima itu?

Riset dan inovasi umumnya dilakukan oleh komunitas terbatas, sebutlah di antaranya perguruan tinggi, pusat penelitian, maupun industri. Para ilmuwan, akademisi, maupun peneliti telah membangun pedoman penelitian, memiliki rambu-rambu etika dan hukum, serta menyusun mekanisme dan prosedur agar penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, mereka telah dewasa untuk melindungi komunitas riset dari melakukan aktivitas yang menyimpang.

Sekarang, lihatlah praktik politik dan ekonomi. Kita menyaksikan ada pejabat publik yang hendak mengambil alih partai politik tanpa rasa jengah. Kita juga menyaksikan para elite politik dan kekuasaan mengambil keputusan dengan mengabaikan aspirasi rakyat banyak. Protes mahasiswa dan profesor dianggap angin lalu. Bukankah para pejabat publik, politisi, para hakim dan jaksa, pimpinan dan anggota parlemen yang sebenarnya perlu ‘diarahkan’ agar praktik kegiatan mereka sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dst.

Begitu pula dengan kegiatan ekonomi. Bagaimana dengan praktik eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan? Bagaimana praktik ekonomi yang telah menciptakan kesenjangan yang tajam antara yang kaya dan yang miskin? Bagaimana dengan praktik penggusuran di kota-kota demi keindahan dan kenikmatan sebagian warga saja? Belum lagi suap dan korupsi agar kegiatan ekonomi orang tertentu dapat berjalan lancar, yang seringkali tidak terlepas dari urusan politik dan kekuasaan? Sudah banyak menteri, gubernur, anggota dan pimpinan parlemen, serta politisi yang terlibat.

Wajar jika ada yang bertanya apakah riset dan inovasi dianggap lebih membutuhkan bimbingan, pengawasan, dan pengarahan agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dibandingkan kegiatan politik dan ekonomi? Kalau mau berbicara tentang penyimpangan, praktik ekonomi, politik, dan hukum lebih rentan, tapi mengapa justru tidak ‘diarahkan’. Misalnya, dengan membentuk Dewan Pengarah Politik, Ekonomi, dan Hukum Nasional yang memberi pengarahan kepada jajaran kabinet tentang kebijakan politik, ekonomi, dan hukum yang berpedoman pada Pancasila, agar tidak ada lagi menteri yang mengorupsi bantuan sosial misalnya dan agar menteri-menteri di bidang hukum dan politik bersikap jujur dan adil.

Mengapa para elite politik memilih riset dan inovasi sebagai target untuk diberi arahan, sedangkan politik dan ekonomi yang langsung berdampak luas pada kehidupan sehari-hari rakyat banyak malah dibiarkan tanpa arahan? Apakah karena politik dan ekonomi merupakan wilayah tempat elite berkiprah, sehingga arahan akan justru menyulitkan aktivitas mereka dan membatasi gerak mereka? >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Viral

Lihat semua