Cerpen | Matkuteng, Penjagal dari Kampung Selatan
Rabu, 13 Januari 2021 06:28 WIB
Iklan
Cerpen yang berkisah tentang seorang penjagal sapi yang bernama Matkuteng yang tak mau memotong sapi seorang Bupati karena dianggap uang pembelian sapi untuk kurban itu tak jelas.
Matkuteng adalah namanya. Dikenal sebagai penjagal sapi yang tersohor dari Kampung Selatan. Setiap Idul Adha, Matkuteng selalu menjadi pemotong hewan yang amat laris bak para selebritis tersohor negeri ini yang diincar para pemerogram media televisi untuk mengisi acara di televisi. Dan profesi sebagai penjagal sapi sudah dilakoni Matkuteng saat masih muda.
Dan anehnya Matkuteng hanya menjagal sapi pada saat hari raya Idul Adha saja di masjid sekitar rumahnya. Kendati usianya sudah tergolong renta, 80 tahun namun Matkuteng tak tampak seperti lelaki diusia itu. Badannya masih kekar. Otot-ototnya masih kekar. Jalannya masih gagah bak anak muda. Hanya rambutnya yang berwarna putih yang menanandakan dirinya sudah tergolong manula. Ya, manusia usia lanjut.
Siang itu, dirumahnya yang terletak diujung Kampung Selatan, Matkuteng kedatangan tamu yang menggunakan mobil dinas plat merah. Kehadiran mobil plat merah ke rumahnya tentu saja mengagetkan Matkuteng dan istrinya yang sedang menonton televisi yang sedang menyiarkan berita hukuman mati untuk koruptor.
”Selamat siang, Pak. Saya Cagal. Ajudan Pak Bupati,” ujar pria itu memperkenalkan diri.
‘Ada apa ya, Pak,” tanya Matkuteng dengn diksi setengah bertanya.
Lelaki itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Matkuteng.
"Saya diamanahkan Pak Bupati untuk meminta Bapak melakukan prosesi pemotongan hewan kurban dari beliau di rumah dinas Bupati,” jawab ajudan Bupati dengan narasi santai.
"Insya Allah, Pak. Kalau masih diizinkan Allah, saya sih bersedia untuk melaksanakan amanah itu,” jawab Matkuteng.
"Beliau meminta Bapak karena jumlah sapi yang akan dikurbankan jumlahnya banyak. Hampir 100 ekor. Dan akan dibagikan kepada masyarakat. Dan ini tanda jadinya,” jelas Ajudan Bupati sembari menitipkan sebuah amplop berwarna coklat. Sebelum Matkuteng menjawab, ajudan itu langsung permisi meninggalkan Matkuteng yang masih terbengong.
Berita tentang Matkuteng yang akan menjadi pemotong hewan kurban di rumah dinas Bupati menjadi trend setter dan trending topik di kalangan warga kampung. Semua warga Kampung Selatan menarasikan tentang dirinya tanpa mengenal waktu dan tempat. Bahkan salah satu media lokal telah memuat profilnya disalah satu rubrik mareka.
”Hebat Matkuteng. Jasanya dipakai Pak Bupati untuk pemotongan hewan kurban tahun ini,” ujar Mang Arok saat berkumpul di Warkop Mang Jojon.
”Iya. Kita sebagai kawan dan sahabat bangga. Tak semua penjagal lho bisa menjadi pemotong hewan di rumah Bupati," sela Mang Akew.
”Apalagi honornya cukup besar. Bisa buat beli motor baru,” cetus Mang Masno.
"Yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah Matkuteng mau dan bersedia melakukan pekerjaan itu? Soalnya Matkuteng kan tak pernah memotong hewan kurban selain di masjid? Dan saya yakin Matkuteng tak akan mau. Saya tahu pribadi Matkuteng,” jelas Mang Junai.
Semua yang mendengar narasi mang Junai terdiam. Tak ada satu orang pun yang membantahnya. Mareka semua seolah membenarkan diksi mang Junai.Dan mareka tahu Matkuteng hanya menjagal sapi saat hari raya Kurban saja. Dan itu pun hewan kurban yang ada di masjid sekitar rumahnya. Paling jauh masjid di kecamatan.
Sore itu langit cerah. Awan dilangit saling bersentuhan. Saling berkasih sayang. Saling menyapa. Ornamen senja yang indah. Rimbunnya tanaman liar di sekitar rumah Matkuteng menambah keelokan alam senja itu. Namun kemolekan alam tak mampu mengusir kegelisahan jiwa dan nurani Matkuteng. Semenjak kedatangan utusan dari Bupati, jiwa Matkuteng sebagai manusia dan penjagal hewan kurban kesohor mengalami kontadiksi dalam batinnya.
‘Saya tidak mau, Bu memotong hewan kurban di rumah pak Bupati,” ujar Matkuteng kepada istrinya.
”Lho, kenapa Pak? Bapak kan sudah janji untuk menajalankan tugas itu,” tanya sang istri.
”Saya cuma menjawab Insya Allah, kalau Allah mengizinkan. Saya tidak berjanji,” jawab Matkuteng sembari menghirup kopi buatan istrinya.
”Memangnya kenapa Pak,?
”Bu. Kita ini sudah tua. Sudah bau tanah. Tak ada lagi tempat kita untuk berurusan dengan hukum. Saya tidak mau meninggalkan dunia ini dengan mewariskan nama buruk dan hitam di masyarakat,” jawab Matkuteng.
Istri Matkuteng tambah bingung dengan penjelasan suaminya. Dan sebelum istrinya kembali bertanya, Matkuteng kembali menjelaskan.
”Ibu bayangkan saja. Hewan kurban yang akan dipotong itu jumlahnya hampir seratus ekor. Jumlah yang amat banyak. Mana mungkin seorang Bupati mampu berkurban sedemikian banyaknya. Gajinya juga tak besar-besar amat. Kalau sudah begitu uangnya dari mana kalau bukan hasil korupsi. Dan saya tidak mau memotong hewan hasil dari korupsi,” lanjut Matkuteng sembari masuk ke dalam rumah.
Gema takbir mulai berkumandang dari segala penjuru masjid. Sakralkan alam. Kaum muslimin pun bersegera diri ke masjid untuk menunaikan sholat Idul Adha.
Sementara itu dirumah dinas Bupati, para panitia hewan kurban mulai gelisah. Hingga usai sholat, Matkuteng belum muncul juga. Tak ada tanda-tanda kedatangan penjagal kesohor itu ke lokasi pemotongan hewan kurban. Kurir yang diperintahkan untuk menjemput Matkuteng belum muncul juga. Bahkan handphone-nya pun tak aktif. Para panitia makin gelisah.
Panitia kurban di rumah Bupati baru lega bercampur kecewa ketika kurir dan pengeras suara dari masjid mengabarkan bahwa Matkuteng wafat di masjid saat sedang sujud pada sat melaksanakan sholat Idul Adha di masjid dekat rumahnya. Innalillahi Wa innalillahi Rojiun pun menggema di seantero alam. Religiuskan jagad raya.
Toboali, 10 Januari 2021
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Birokrasi Pasca Pilkada
Sabtu, 23 Januari 2021 15:12 WIBCerpen | Sang Jurnalis
Senin, 25 Januari 2021 07:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler