Cerpen yang bercerita tentang mantan Bupati yang harus mendekam bahkan meninggal di tahanan karena korupsi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kepala daerah yang dipilih rakyat dengan ikhlas.
Malam makin berat, namun rembulan masih mentemaramkan alam semesta. Dengus anjing hutan liar masih mendengus menapaki jalan hutan pinggir kota mencarai mangsa. Desis dedaunan masih berderit.Sepoi angin malam masih mendesah. Dan Matliluk pun masih terjaga. Matanya masih membelalak. Ini adalah malam ketujuh dirinya menghuni kamar bersama para tahanan lainnya. Degup jantungnya terasa lain. Sungguh terasa lain denyut jantungnya malam ini. Seakan ada sesuatu yang berbeda dengan degup jantungnya. Seakan-akan aliran darah mau terhenti memompa keseluruh tubuhnya. Tapi tatapan matanya masih menerawang. Masih tetap terjaga seiring desah dan dengkur dari para tahanan sekamarnya yang masih terdengar lirih.
Baru seminggu Matliluk mendekam di rumah tahanan, kegelisahan yang tak terperikan melanda sekujur tubuhnya. Kegelisahan yang tak terceritakan. Kegelisahan yang tak ternarasikan. Kegelisahan yang tak pernah dirasakannya selama ini. Dan kegelisahan yang tak terkonversikan dengan angpao dan fulus yang selalu menjadi panglima bagi dirinya saat berkuasa.
Baru tujuh hari menghuni kamar nomor satu blok satu, Matliluk mulai merasakan kepedihan yang tak terkira. Kepedihan yang tak terceritakan. Kepedihan yang tak pernah dia bayangkan dalam mimpi dan perjalanan hidupnya. Dan kepedihan yang tak bisa dibayar dengan tunai yang selama ini selalu menjadi trade mark saat dirinya sebagai pimpinan Daerah.
Baru seminggu menghuni rutan yang dulu diresmikannya saat masih menjadi pejabat daerah, Matliluk merasa terasing. Terasing dari hingar bingarnya acara seremonial. Terasing dari orang-orang yang pernah dibantunya dan membantunya saat berkuasa. Dan terasing dari hingar bingarnya dunia kebebasan. Keterasingan yang belum pernah dia terima selama perjalanan hidupnya.
Dan baru seminggu berada dibalik jeruji besi, rasa malu pun mulai melanda keluarga besar Matliluk. Apalagi hampir tiap hari media terus memberitakan tentang tertangkapnya Matliluk. Dan Matliluk kini mulai merasakan bentuk dari rasa malu itu. Ternyata kehormatan yang hakiki itu adalah ketika seorang manusia begitu berharga karena perbuatan baiknya dan bukan bermartabat karena jabatan tinggi. Kata orang bijak penyesalan memang tak selalu didepan. Selalu dibelakang. Dan nasehat itu sering diungkapkkannya saat memberikan pengarahan kepada para birokrat di daerahnya.
Matliluk pun menghitung selama 7 hari dirinya menghuni Rutan yang terletak di ujung Kota, yang datang menjenguk dan melihatnya hanya segelintir orang. Itu pun kebanyakan dari pihak keluarganya. Istri, anak dan saudaranya. Yang lain tak kelihatan batang hidungnya. Padahal dulunya mareka para birokrat itu adalah abdi negara yang merengek- rengek minta jabatan sambil membawakan segepok angpao dalam amplop coklat. Para birokrat itu ada yang menangis bersama istrinya untuk sebuah jabatan. Kini? Entah kemana para birokrat gila jabatan itu berada. Hilang bak desis angin penjilat yang menghias bumi.
Matliluk masih ingat ketika dirinya masih berkuasa sebagai pejabat daerah begitu banyak orang yang datang ke rumah dan ke kantornya dengan seribu apologi. Ada yang minta proyek. Ada yang minta naik pangkat. Ada yang datang bawa proposal. Bahkan ada yang datang sambil berlutut untuk sebuah jabatan.Kini wajah-wajah mareka tak kelihatan. Menghilang bak angin yang datang semilir dikala senja hari saja.
Sebagai pejabat daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, Matliluk adalah tipikal pemimpin yang sangat didambakan rakyat. Sederhana dan religius. Tak heran bila dengan kesederhanaan dan kereligiusannya itu, Matliluk mampu menumbangkan incumbent yang didukung infrastruktur Partai dan mesin Partai yang kuat dan pendanaan yang besar.
”Saya yakin ketika negeri ini dipimpin Matliluk maka akan ada rasa damai dihati masyarakat karena beliau seorang yang religius dan tak mengekploitasi amanah kita. Saya yakin dan percaya,” ujar seorang pengurus masjid sebelum masa kampanye usai sholat berjamaah di sebuah masjid kepada para jemaah masjid.
Kesederhaan dirinya yang menjadikan dirinya bernilai jual yang tinggi pada saat Pilkada lalu sehingga sejuta asa diapungkan rakyat dalam relung hatinya sehingga dengan dengan senang hati dan rasa gembira rakyat memilih dirinya dalam TPS.
”Matliluk seorang yang sederhana. Tak mungkinlah berbuat yang neko-neko. Saya yakin dan percaya,” ujar tokoh masyarakat sebelum masa kampanye.
Harapan rakyat yang demikian besar ternyata tak mampu dijawab Matliluk dengan baik dan rasa tanggungjawab dengan amanah itu. Ketulusan hati rakyat dalam memilihnya justru dijadikan elemen bagi Matliluk tampil sebagai penguasa daerah dan bukan sebagai pemimpin rakyat di daerah. Ketulusan hati rakyat daerah yang memilihnya justru dijadikan energi bagi dirinya untuk merampas hak-hak kesejahteraan rakyat daerahnya dengan perilaku dan aksi Matliluk yang menjadikan jabatan dan amanah sebagai pimpinan daerah sebagai hak milik pribadi. Matliluk tampil sebagai pemimpin daerah yang bukan hanya tak mampu mengelola daerah sesuai standar, namun justru mengambil banyak keuntungan pribadi dan kelompoknya dalam memimpin daerah.
Tak pelak sejumlah LSM dan penggiat sosial selalu menjadikakn Matliluk sebagai sasaran tembak. namun Matliluk seakan tak memperdulikan teriakan para LSM itu. Bak anjing menggonggong khalifah jalan terus. ” Silahkan mareka mengkritik, toh yang memegang remote dan kendali adalah saya,” ujar Matliluk dalam suatu kesempatan.
Dengan mengadopsi gaya Nicholas Engelhard yang menjadikan upeti sebagai simbol bagi birokrat yang ingin naik pangkat dan jabatan, Matliluk mulai berpetualang dengan amanah rakyat. Mengembara dengan amanah rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Matliluk masih ingat ketika seorang birokrat yang berperstasi harus dibuangnya ketika tak mampu menjawab tantangannya.
Bapak orang pintar. Cerdas. Berprestasi kalau Bapak saya jadikan Kepala Dinas, apa yang akan bapak berikan,” tanya Matliluk pada suatu hari diruangan kantornya yang asri.
‘ Insya Allah, Pak. Saya akan memberikan kontribusi pemikiran dan karya saya untuk daerah ini,” ujar sang birokrat.
Matliluk hanya manggut-manggut.
Dan birokrat itu terkejut ketika bawahanya yang tak bisa bekerja, tiba-tiba diangkat Matliluk sebagai Kepala Dinas. Bawahannya dengan tegas menyebut dalam rapat bahwa dirinya harus mengeluarkan segepok angpao untuk jabatan itu. ”Saudara semua di Dinas ini harus paham, bahwa untuk menjadi pimpinan kalian saya harus berjibaku dulu dengan ini,” ujarnya sambil menggesekkan jari jempolnya dengan jari telunjuk sebagai sebuah tanda. Dan birokrat bawahannya hanya terdiam. Membisu.
Dan tak heran dimasa kepemimpinan Matliluk sebagai penguasa daerah, kompetensi dan prestasi bukan parameter dalam mengangkat pejabat. Yang penting wani piro. Dan itu sudah menjadi rahasia umum dan narasi di masyarakat. Tak pelak penghormatan dari masyarakat terhadap para kepala SKPD pun tak ada. Hambar. Diotak dan benak masyarakat para kepala SKPD itu diangkat Matliluk karena angpao. Bukan karena prestasi kerja mareka. Tak pelak para kepala SLPD itu tak berharga di mata masyarakat.
Pengadaan peralatan alat-alat telekomunikasi di salah satu Kantor Dinas adalah sumber malapetaka bagi Matliluk. Pemotongan anggaran yang dilakukan bawahannya untuk kepentingan dirinya tercium KPK. Dan Matliluk tak berkutik ketika penyidik KPK menangkapnya pada suatu malam disalah satu kamar hotel di Ibukota negara.
Dan kehebohan melanda daerah ketika Matliluk ditangkap. menyaksikan Matliluk ditangkap aparat hukum, berbagai perilaku masyarakat terumbarkan. Ada rasa bahagia yang tak terperikan. Laksana bebas dari beban yang begitu berat. Ada masyarakat yang membuang beras kunyit sebagai tanda kegembiraannya. Ada yang sholat sebagai tanda syukur. Dan sejumlah atraksi lainnya dari masyarakat dalam menyikapi tertangkapnya Matliluk pemimpin mareka yang pilih lima tahun silam. Semua bergembira. Semua berpesta pora dengan caranya sendiri-sendiri.
Adzan subuh sudah terdengar. Para penghuni rutan sudah mulai berdatangan memenuhi panggilan agung dari Sang Pencipta. Beberapa orang dalam mushola rutan tampak melihat kekanan ke kiri. Tampaknya ada sesuatu yang ganjil. Ada sesuatu yang kurang lengkap.Tak tampak wajah Matliluk yang selama seminggu ini selalu menjadi Imam saat sholat berjamaah di masjid Rutan.
”Kok Pak Matliluk ndak subuh. Biasanya kan beliau yang jadi Imam kita. Apa beliau sakit,” tanya salah satu jemaah.
"Semalam saya lihat beliau asyik berbincang dengan sesama tahanan di kamarnya. Apa usai sholat kita ke kamarnya. Siapa tahu beliau kurang sehat,” jawab jemaah yang lain.
Usai menunaikan sholat Subuh, para jemaah mushola Rutan bersama-sama menuju kamar Matliluk. Dikamar ukuran kecil itu tak ada ada tanda-tanda aktivitas manusia. Semuanya lelap dalam mimpinya masing-masing.
”Kok Pak Matliluk tak ada,” ujar salah satu jemaah sambil mengintip dari luar kamar.
”Coba hidupkan listrik dalam kamar biar terang sehingga terlihat,” ujar jemaah yang lain.
Dan betapa kagetnya para jemaah subuh yang mayoritas penghuni rutan melihat tubuh Matliluk terbaring kaku diantara dengkuran para tahanan lainnya yang masih terlelap dalam mimpi indahnya. Dan ketika salah satu penghuni Rutan mendekat, dan memeriksa degup nadi Matliluk. Terhenti.
”Beliau sudah meninggal,” ujarnya. Dan narasi sakral Innalillahi Wainnalillahi Rojiun pun bergema disemesta alam.