Hilangnya Jumat Kami (Cerpen)
Jumat, 29 Mei 2020 16:42 WIBCerpen yang berkisah tentang seseorang yang merasakan ditiadakannya sholat jumat karena adanya virus yang menerjang daerahnya.
Matsungkok tergesa-gesa. Tak hiraukan panasnya sinar matahari yang menerpa sekujur tubuh ringkihnya. Jalannya cepat. Teramat cepat. Kaki tuanya dengan amat cepat menghantarkannya menuju tujuan. Maklum jam di dinding rumah tuanya sudah menunjukkan pukul 11.59 Wib.
"Waduh, aku terlambat nih," desisnya dalam hati.
Matsungkok terperangah. Sangat terperangah, saat tiba di masjid. Suasana masjid sepi. Teramat sepi. Tak ada jemaah yang datang. Tak ada orang. Sunyi.
"Ada apa, ya," tanya lelaki tua itu dalam hati.
"Apakah mereka tidak tahu, bahwa hari ini adalah hari Jumat," sambungnya dalam hati.
"Tidak mungkin. Mereka kan punya kalender di rumahnya. Apalagi saat musim kampanye tiba, hampir semua warga mendapat kalender dari pengurus Parpol," lanjutnya dalam hati.
Untuk mengobati rasa gelisah yang melanda sekujur tubuh tuanya, Matsungkok mendatangi Ketua Masjid. Kedatangan Matsungkok disambut dengan tebaran senyuman oleh Ketua Masjid.
"Virus," pekik Matkotok dengan setengah histeris usai mendenger penjelasan Ketua Masjid.
"Ya, jumatan untuk beberapa waktu kita tiadakan dulu, karena adanya virus yang sangat berbahaya. Dan ini ada surat edarannya," ungkap Ketua Masjid sembari menunjukan selembar surat kepada Matsungkok.
###
Sampai di rumah, Matsungkok masih gelisah. Bahkan teramat gelisah. Kegelisahan masih menjalari sekujur tubuh tuanya. Sejuta tanya mengaliri otak tuanya. Sejuta pertanyaan mengaliri raganya. Ada rasa ketidakpuasan yang mengaliri tubuh tuanya. Lelaki tua itu merasa ada sesuatu yang janggal. bahkan teramat janggal sehingga perlu dicarikan jawabannya dengan segera mungkin untuk menenangkan kegelisahan yang mengaliri sekujur tubuh tuanya.
Tawa lepas mereka bersenandung hingga ke langit tujuh. Ada sejuta kebahagian dari derai tawa mereka. Setidaknya bisa melupakan sejenak kepenatan hidup. Setidaknya bisa melepaskan diri sedikit dari beratnya beban hidup yang teramat berat yang mereka sandang sebagai kaum jelata di negeri ini. Negeri yang katanya rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
"Ngopi dulu Mang," sapa seorang warga saat melihat Matsungkokk menyambangi Kedai Kopi. Semua warga Kampung memanggil Matsungkok dengan panggilan Mamang.
"Kok bapak-bapak tidak Jumatan ke masjid," tanya Matsungkok.
"Lho..., memangnya Mamang tidak tahu edaran dari Pusat," jawab seorang warga.
"Ada virus, Mang," sambung warga lainnya.
"Virus ini malah mengerikan. Bahkan teramat mengerikan kalau yang saya dengar dari berita-berita di tipi. Makanya kita dilarang untuk berkerumun di ruang terbuka dan tempat-tempat umum untuk memutus mata rantai penyebaran virus itu," celetuk warga lainnya sambil menyeruput kopi.
"Virus lagi. Virus lagi," desis Matsungkok dalam hatinya setengah bertanya. Ada kekecawaan yang amat mendalam terpatri dalam wajah tuanya saat mendengar penjelasan para warga itu. Kekecewaan yang sangat mendalam. Bahkan teramat sangat dalam yang dirasakan tubuh tuanya.
###
Senja itu, Matsungkok duduk di halaman belakang rumahnya. Pandangan matanya menatap ke sekitar belakang rumahnya yang dipenuhi pepohonan Kampung. Terhampar sebuah kedamaian. Sejumlah pepohonan lokal menambah rindangnya halaman belakang rumah tua itu.
Lambaian dedaunan dari pohon-pohon kekar itu menambah kedamaian bagi mata yang memandangnya. Langit tampak cerah. Burung-burung berseliweran di udara. Saling berkejaran dengan awan putih yang menari-nari di birunya langit.
"Jangan-jangan, kalau aku meninggal hari ini, mereka akan bilang karena virus," desisnya dalam hati. Seketika tubuh tuanya rubuh. Di kejauhan terdengar suara azan magrib. Sangat sakral. Mereligiuskan alam semesta. Seolah-olah ikut mengantar kepergian Matsungkok menghadap Sang Maha Pencipta.
Toboali, jumat siang, 29 Mei 2020
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Birokrasi Pasca Pilkada
Sabtu, 23 Januari 2021 15:12 WIBCerpen | Sang Jurnalis
Senin, 25 Januari 2021 07:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler