Sang Bupati (Cerpen)
Selasa, 19 Mei 2020 06:45 WIB
Iklan
Cerita pendek tentang seorang Bupati yang kalah dan ditinggal para orang dekat dan rakyatnya.
Cerpen : Sang Bupati
Lelaki setengah baya itu masih sendiri. Duduk di teras depan rumah dinasnya yang masih baru. Puntung rokok terus bertambah di asbak. Terus bertambah. Sesekali ia menyeruput kopi dari gelas bergambar dirinya.
Lelaki setengah baya itu masih tetap sendiri. Duduknya pun tak berubah. Tatapan matanya menerawang jauh. Hanya dalam setengah jam saja, semua menjadi sepi dan senyap. Ucapan "permisi Pak" terus mengalir untuk dirinya. Dalam waktu 30 menit saja semua menjadi sepi. Kosong melompong. Tidak ada lagi canda dan tawa. Tidak ada lagi senda gurau bernada optimis dan pujian. Tak ada lagi. Tak terdengar lagi. Hilang entah ke mana.
Lima tahun lalu, saat dirinya terpilih, hingar bingar kebahagian mewarnai teras rumahnya. Keceriaan menjadi ornamen sehari-hari. Beragam elemen masyarakat terus berdatangan. Mengalir dan membanjiri rumahnya.
Suatu malam lelaki yang kini dipanggil Pak Bupati sedang asyik membaca. Bunyi ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya.
“Masuk, siapa?” ujar Pak Bupati. Seorang pria muda berpenampilan flamboyan muncul. Menghampirinya. Pria muda itu ternyata ajudannya. Dengan sopan beberapa kalimat keluar dari mulut ajudan Pak Bupati. Dalam hitungan detik. Pak Bupati langsung menuju pintu depan. Seorang pria berbadan subur muncul di hadapan Pak Bupati saat pintu terbuka. Tawa penuh senyum muncul dari wajah pria badan subur yang dikenal sebagai Pak Lobbi.
“Apa kabar? Kemana saja selama ini. Kok sudah lama tidak nongol,” ujar Pak Bupati sembari mengajak masuk Pak Lobbi.
“Anu bos, Mr Coi mau ketemu. Ini kan program kita waktu sama kampanye kemaren. Tuan Coi dari Korea tuh ingin ketemu. Ya, merealisasikan lanjutan pertemuan kita waktu masa kampanye dulu,” ujar Pak Lobbi sambil menyandar di kursi tamu rumah dinas Pak Bupati.
“Ndak masalah. Kapan Mr Coi mau ketemu?”
“Mr Coi mau ketemu di Ibukota.”
Selang dari seminggu kedatangan Pak Lobbi, beberapa lelaki tua dengan kain sarung dan peci memasuki halaman rumah Pak Bupati. Belum sempat kendaraan terparkir, beberapa pria berseragam langsung menghampiri. “Maaf Pak. Ada keperluan apa ya?” Tanya salah seorang pria muda berseragam.
“Kami dari pengurus masjid. Mau ketemu dengan Pak Bupati.”
“Maaf Pak. Tadi kami dapat intruksi dari Pak Bupati. Beliau sedang istirahat. Baru pulang dari Ibukota. Ketemu investor yang mau membangun pabrik di sini.”
“Sebentar saja. Paling hanya dalam hitungan menit,” desak salah seorang dari lelaki bersarung dan berpeci.
“Kami minta maaf, Pak. Kami hanya menjalankan perintah. Mohon bapak-bapak maklumi. Kami ini hanya bawahan yang menjalankan perintah atasan.”
Dengan menelan ludah para lelaki tua itu pulang. Padahal di dalam ruangan rumah dinasnya, Pak Bupati dan beberapa karibnya sedang asyik bernyanyi.
***
Suasana di ruang kerja Pak Bupati sangat kontras. Pendingin ruangan tak mampu menyejukkan hati beberapa tokoh muda daerah yang berada dalam ruangan asri Pak Bupati. “Bapak harus ingat. Tanpa kami-kami, tidak mungkin Bapak jadi Bupati. Wajar kalau kami berharap dari Bapak,” kata salah seorang dari anak-anak muda yang tergabung dalam tim sukses Pak Bupati saat masa kampanye.
“Saya tahu dan mengerti akan jasa kalian. Tapi kalian harus ingat. Proyek ini tidak akan mampu kalian kerjakan. Selain perlu biaya besar dan teknologi, proyek ini sangat vital dan penting. Salah pengerjaan, hancur kredibilitas saya sebagai Bupati,” sergah Pak Bupati.
“Perusahaan dan cukong yang kami bawa ini bukan sekadar cukong dan perusahaan penggembira, Pak. Mereka sudah terkenal. Berbagai proyek besar dan internasional telah mereka kerjakan. Qualified, Pak…!”
Pak Bupati kemudian terdiam seribu bahasa. Dadanya sesak, karena baru saja menelan buah simalakama.
Tak terasa tiga tahun Pak Bupati pilihan rakyat ini memimpin. Berbagai keluhan terus muncrat di mana-mana. Berbagai rasa ketidakpuasan rakyat terhadap kepimpinannya bergema dan berkumandang. Sementara itu dalam birokrasi, berbagai penyakit birokrat muncul. Akibat ketidaktegasannya, suasana birokrasi menjadi tidak harmoni. Para pejabat eselon sibuk menebar pesona di hadapan Pak Bupati. Saling unjuk kekuatan. Di berbagai media, kasus korupsi dan gratifikasi anak buah Pak Bupati muncul. Pembangunan tersendat-sendat, beberapa pejabat anak buah Pak Bupati diduga korupsi. Bahkan nama Pak Bupati pun terseret dan terbawa.
Perombakan kabinet pun dilakukan. Tidak menolong. Mengingat mereka yang dilantik tidak menguasai bidang kerja dan titipan teman karib Pak Bupati yang mengambil keuntungan.
Dalam hitungan bulan, masa abdi Pak Bupati berakhir. Berbagai prediksi tentang maju dan tidaknya Pak Bupati dalam Pilkada yang akan datang terus berseliweran. Pro dan kontra tentang keinginan Pak Bupati maju kembali sebagai Bupati terus menjadi buah bibir orang-orang.
“Kalau saya pribadi berharap Bapak tidak mencalonkan diri kembali. Sudah waktunya Bapak istirahat. Lima tahun sudah cukup waktu untuk mengabdi kepada rakyat,” kata seorang lelaki sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Ibu juga berharap hal yang sama. Sudah waktunya Bapak istirahat. Beri kesempatan kepada yang muda-muda dan berjiwa patriotik untuk membangun daerah ini,” sela wanita yang ternyata Istri Pak Bupati.
“Saya belum memberi keputusan. Maju atau tidak,” sergah Pak Bupati memotong pembicaraan.
Malam itu menjelang detik-detik pengumuman maju dan tidaknya Pak Bupati dalam Pilkada mendatang terasa lain. Angin sepoi tak bergerak. Sinar rembulan enggan bersinar. Di kantor parpol , suasana panas. Saling debat, adu pujian setinggi langit terus bergema. Tak ada yang hitam pekat. Semua putih dan suci memuji kepemimpinan Pak Bupati idola mereka selama lima tahun ini. Puja dan puji terus berkumandang dan menjadi koor indah.
Rapat di kantor parpol itu berakhir hingga dini hari. Tepuk tangan membahana ketika Pak Bupati menyatakan akan mencalonkan diri kembali sebagai Bupati periode berikutnya. Tawa riang dan kegembiraan menyertai malam yang larut itu. Sinar bulan kembali tak bersinar. Kokok ayam pun tak terdengar indah. Padahal waktu sudah menunjukkan pagi hari. Sayup-sayup adzan mulai terdengar. Puluhan pengurus dan anggota parpol meninggalkan ruangan kantor dengan wajah sumringah. Bahagia.
***
Hari pencoblosan tiba. Ratusan ribu rakyat yang terdaftar berbondong-bondong mendatangi TPS. Mereka menunjukkan kekuasaannya sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini. Sebagai rakyat, merekalah yang berhak mengklaim siapa yang akan terpilih sebagai Bupati. Di tangan rakyatlah semua akan terjadi. Rakyat yang berhak menentukan siapa pemimpin mereka. Bukan elit Parpol atau tim sukses.
Waktu menunjukkan 15.00 WIB. Beberapa laporan dari saksi Pak Bupati di lapangan menunjukkan angka yang mengecewakan. Makin banyak yang datang dan masuk suasana makin mengecewakan. Wajah-wajah gelisah terus bermunculan. Keringat dingin terus mengucur. Tawa dan bahagia tidak terdengar. Justru kalimat saling menyalahkan dan saling tuding mulai berhamburan. Makian demi makian terus bergaung. Pusat pemenangan Pak Bupati yang luas dan asri terasa sesak dan panas. Tiba-tiba listrik mati. Semua bergegas pulang ke rumah. Kertas-kertas berhamburan. Tak ada lagi yang menghitung. Sepi dan senyap, seperti senyapnya ruangan asri yang bakal ditinggalkan Sang Bupati.
Pak Bupati masih tetap sendiri di depan teras rumah dinasnya yang asri. Masih sendiri saja. Tak berteman. Suara deru kendaraan yang lalu lalang pun tak terdengar lagi. Senyap.
“Pak. Udah siap. Mari kita berangkat,” suara lembut wanita setengah baya terdengar indah di telinga Pak Bupati.
“Oh ya. Mana sopir,” tanya Pak Bupati kepada istrinya.
“Mereka sudah pulang. Kita pulang ke rumah berdua saja,” jawab istrinya.
Sinar rembulan yang tak bersinar terang, menemani kedua pasutri itu kembali ke rumah mereka. Ya, hanya keredupan sinar rembulan yang menjadi teman dan mengiringi langkah mereka berdua pulang ke rumah.
Toboali, Mei 2020
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Birokrasi Pasca Pilkada
Sabtu, 23 Januari 2021 15:12 WIBCerpen | Sang Jurnalis
Senin, 25 Januari 2021 07:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler