Ada yang Mengetuk Pintu Rumah Kami Sepanjang Malam (Cerpen)

Minggu, 10 Mei 2020 05:46 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerpen yang berkisah tentang warga yang rumahnya setiap lima tahunan selalu didatangi orang-orang.

Ketukan itu laksana rintihan jiwa yang butuh pertolongan dengan segera. Ketukan itu menyelusup ke dalam rongga jiwa warga yang diam di pelosok negeri. Ketukan itu amat menyayat hati. Memilukan hati. Seperti seseorang yang sangat butuh uluran tangan dengan segera dan cepat. Seakan-akan menyiratkan harus segera dibantu

Ketukan itu selalu hiasi malam para warga. Menjadi ornamen malam-malam para warga. Dan para warga seakan sudah terbiasa dan terkesan maklum. Tapi kini warga mulai terganggu dan resah dengan ketukan itu. Ketukan yang hampir tiap menit menghampiri rumah mereka tanpa diundang. Berganti-ganti Nada ketukannya pun berganti-ganti bak nada dering di handphone.

“Siapa sih orang yang tiap malam mengetuk-ngetuk pintu?” sergah warga. “Kayak nggak punya pekerjaan saja itu orang,” sambung yang lain. “Ah, paling Mang Bengel yang ditinggal istri dan anaknya pulang ke kampung,” jawab warga lainnya.

Sebulan yang lalu, istri Mang Bengel dan anaknya pergi meninggalkan rumah kontrakan mereka. Mang Bengel masih berada di penjara karena terlibat korupsi.Saat mang Bengel pulang, rumah kontrakan mereka telah ditinggali orang lain. Dan Mang Bengel selalu mengetuk pintu rumah warga untuk mencari istri dan anaknya yang telah kabur ke desa karena malu atas perbuata purba suaminya.

Kini ketukan itu makin menggema bak retorika para politisi dipanggung kampanye. Usai Magrib tiap rumah warga diketuk. Dan fenomena ini terjadi tiap lima tahunan. Laksana siklus kehidupan. Ketukan itu sungguh menyayat hati. Seolah-olah butuh pertolongan amat segera. Ketukan itu amat memilukan. Seperti orang yang butuh bala bantuan yang penting dan urgen. Dan ketukan menyayat hati itu selalu menjadi ornamen malam rumah warga.

Kekesalan warga terhadap dentingan ketukan itu akhirnya disampaikan kepada Kepala Keamanan Dusun. Dengan kompak mereka mendatangi rumah Kepala Keamanan Dusun. Melihat warganya ramai datang ke rumahnya, Pak Kepala Keamanan Dusun tampak gugup. Kain sarung yang digunakannya usai Sholat Maghrib tadi tampak melorot sedikit.

Sinyal kedipan mata istrinya membuat Kepala Keamanan Dusun kembali menarik kain sarungnya hingga tepat pada poisisnya yang benar sesuai batas dan ukurannya. Dalam hatinya ada apa gerangan warganya berkelompok datang ke rumahnya malam-malam ini? Tak biasanya warga kompak datang ke rumah. Apalagi semuanya pakai sarung dan berkopiah.

“Pasti ada yang penting,” jerit hati Pak Kepala Keamanan Dusun. “Apakah berkaitan dengan hilangnya kompor gas bantuan? Apakah warga sudah tahu banyaknya beras raskin yang diberikan kepada mareka yang tak berhak menerimanya? Atau warga sudah tahu tentang….?” gumamnya.

Seribu tanya menggelayut dalam hati kecil Pak Kepala Keamanan Dusun. Namun dengan senyum, disambutnya kedatangan para warga. “Pak Kepala Keamanan, kami mohon bantuan agar para pengetuk pintu rumah kami itu ditangkap,” pinta warga.

Mendengar permintaan warga itu, Pak Kepala Keamanan Dusun tersenyum lebar. “Kalian ini ada-ada saja. Kok orang mengetuk pintu rumah disuruh tangkap. Mereka kan mau bertamu. Mau bersilahturahmi,” jawab Pak Kepala Keamanan dengan narasi mantap sebagaimana narasi para petinggi negeri yang sering kita lihat di tipi itu.“Iya. Tapi masa mengetuk pintu tiap malam tiap menit tanpa interval waktu. Apa nggak sakit tangan mereka itu? Dan apakah mulut mereka tak letih,” timpal warga yang lain. “Pokoknya kami minta, Pak Kepala Keamanan melaporkan kondisi dan fenomena alam ini kepada Pak Kadus sebelum bencana ini menimpa warga yang lainnya,” pinta warga.

Dengan tanggap, Pak Kepala Keamanan bersama dengan warga langsung mengayunkan kakinya menuju rumah Pak Kadus. Di halaman rumah Pak Kadus tampak ramai dengan warga Dusun lainnya. “Kami minta dengan hormat Pak Kadus, agar para pengetuk pintu rumah kami ini ditertibkan dan kalau perlu ditangkap karena sudah meresahkan para warga yang ingin beristirahat di rumah. Hanya dirumahlah tempat kami berisitirahat,” ujar warga Dusun lain.

“Saya paham dan mengerti dengan keresahan dan ketergangguan kalian semua. Rumah saya juga hampir tiap menit bahkan tiap detik diketuk. Saya juga resah dan terganggu dengan aksi ketuk pintu ini,” jawab Pak Kadus. “Dan besok saya akan lapor kepada Pak Kades. Kalian tenang. Semua pasti ada solusinya,” jawab Pak Kadus dengan diksi bijak dan berwibawa.

Esoknya dengan semangat 45 Pak Kadus langsung melaporkan fenomena yang dialami warganya kepada Pak Kades. Pimpinan desa ini hanya senyum-senyum saja mendengar laporan pak Kadus. “Lho kok Pak Kades tersenyum? Memangnya Pak Kades sudah tahu ya siapa pengetuk pintu rumah warga,” tanya Pak Kadus dengan rasa heran.

“Ha..ha..ha.. Pak Kadus kan tahu, sekarang ini sedang ada perhelatan siklus lima tahunan. Pesta demokrasi. Adalah wajar mereka para kandidat itu datang ke rumah warga minta dukungan dan simpati agar dalam pesta demokrasi nanti para warga memilih mereka,” jelas Pak Kades.

Memasuki hari kesembilan ketukan itu makin merajalela. Tingkat emosi warga pun sudah tak terbendung. Sudah diubun-ubun. Dan ketika fenomena ini sampai ke telinga pembesar partai di Kota, ia sungguh bahagia mendengar kabar keresahan warga ini.

“Akhirnya misi kita sampai juga. Misi kita berhasil. Sukses besar. Para warga sudah tahu dengan kandidat kita. Rakyat sudah tahu dan mengenal calon anggota legislatif kita,” ujar pembesar partai dengan senyum kemenangan. “Bukankah calon yang kita ajukan tak mumpuni Pak? Malah calon yang kita usung menyusahkan masyarakat karena mereka tak berkwalitas? Apakah ini tak merugikan partai kita ke depannya Pak?” tanya anggota partai dengan heran. “Kalian harus paham dan memahami makni ini secara politik. Kalian semua sebagai kader harus tahu. Dalam pemilihan seperti ini kandidat berkwalitas bukanlah jaminan partai kita akan menang. Buat apa kita menyodorkan kandidat yang berkwalitas kalau tak dipilih masyarakat?,” tukasnya. “Kita ini butuh kandidat yang mampu mengeskalasi suara warga. Mampu menarik massa dan memilih kandidat kita. Soal nantinya kandidat kita tak tahu apa-apa dalam bekerja itu bukanlah masalah. Toh yang jadi masalah dan dirugikan adalah masyarakat yang memilih kandidat kita yang tak tahu apa-apa. Yang penting bagi partai kita yang dipilih warga adalah kandidat kita yang datangi rumah warga tiap malam dan kita menang. Dan saya sebagai pembesar partai akan berkuasa di daerah ini,” jawab Pembesar Partai menambahkan sambil tertawa lebar.
Para anggota partai terdiam. Membisu. Tak ada satu suara pun yang berdesis. Ruangan pertemuan itu hening. Hanya dengus anjing hutan dan kucing hutan yang saling mendengus disisa hutan yang berada di belakang kantor partai. Semua mulut terkunci.

Malam makin meninggi. Rembulan malam mulai bergegas ke peraduan. Cahayanya mulai redup. Bintang-bintang di langit tak tampak kerlipnya. Enyah entah kemana.
Mentari pun mulai terbangun dari mimpi panjangnya. Geliatnya mulai terasa panas. Sepanas hati para warga yang sangat terganggu dengan dentingan ketukan pintu tanpa nada di rumah mereka. Ya, ketukan pintu dari para pengemis suara rakyat. (Rusmin)

Toboali, Mei 2020

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rusmin Sopian

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Birokrasi Pasca Pilkada

Sabtu, 23 Januari 2021 15:12 WIB
img-content

Cerpen | Sang Jurnalis

Senin, 25 Januari 2021 07:20 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua