Saya seorang penulis, Jurnalis dan influencer
Tambang Nikel Siap Hancurkan Pesona Raja Ampat
Jumat, 6 Juni 2025 17:17 WIB
Disetujui di era Jokowi, tambang nikel di Raja Ampat dinilai biadab oleh para aktivis.
***
Pemerintah pusat baru-baru ini menyetujui aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Hal itu menimbulkan pro kontra luas. Proyek ini melibatkan PT Gag Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam)—yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) sejak 30 November 2017 hingga 30 November 2047 dengan wilayah kerja seluas 13.136 hektare (6.060 ha di darat dan 7.076 ha di laut).
Sebelum diambil alih Antam, PT Gag Nikel pernah dimiliki asing (Asia Pacific Nickel) dan awalnya berstatus kontrak karya di era 1990-an. Selain PT Gag, ada beberapa perusahaan lain yang juga memegang IUP nikel di Raja Ampat. Misalnya, PT Kawei Sejahtera Mining telah memperoleh izin sejak Agustus 2023 meski belum melakukan operasional.
Organisasi lingkungan menyebutkan ada empat IUP nikel di Papua, tiga di antaranya berlokasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat (Pulau Gag, Kawe, Manuran). Dengan skema izin ini, pemerintah berharap mendukung program hilirisasi mineral. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan menyebut produksi nikel dari PT Gag Nikel dalam RKAB 2024 mencapai 3 juta ton per tahun, meski jumlah ini hanya sekitar 1,3% dari target nasional.
Masyarakat adat Raja Ampat dan kalangan aktivis lingkungan menyatakan penolakan keras atas rencana tambang tersebut. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti “kemudahan” pemerintah dalam menerbitkan izin tambang di kawasan sensitif Raja Ampat.
Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara, Elon Moifilit, menegaskan pulau-pulau kecil di Raja Ampat yang dibebani izin pertambangan merupakan ekosistem yang sangat rapuh. Komunitas adat setempat khawatir pertambangan akan menghancurkan sumber mata pencaharian tradisional mereka.
“Kami menolak kehadiran industri tambang di Raja Ampat karena bisa merusak lingkungan, memicu konflik sosial, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang selama ini bergantung pada perikanan, pertanian, dan pariwisata,” ujar Elon.
Kelompok lingkungan besar seperti Greenpeace dan WALHI Papua juga menyuarakan penolakan. Greenpeace Indonesia melaporkan sejak 2024 sudah ada kegiatan eksplorasi nikel di beberapa pulau kecil (Pulau Gag, Kawe, Manuran), dan mengunggah video serta petisi #SaveRajaAmpat. Sementara itu WALHI Papua mencatat ada empat izin tambang nikel di Papua, termasuk tiga di Raja Ampat (Gag, Kawe, Manuran). Sosial media pun dipenuhi tagar #SaveRajaAmpat sebagai seruan menjaga kelestarian surga bawah laut tersebut.
Para ahli dan aktivis mengingatkan dampak ekologis serius jika tambang nikel meluas di kawasan konservasi ini. Raja Ampat dikenal sebagai jantung Segitiga Karang Dunia dan telah ditetapkan UNESCO sebagai global geopark. Wilayah perairannya menjadi rumah bagi sekitar 75% spesies terumbu karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan.
Keanekaragaman hayati ini menopang mata pencaharian lebih dari 50 ribu penduduk kampung pesisir yang hidup dari penangkapan ikan tradisional dan pariwisata bahari. Para pakar mengingatkan bahwa kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi tailing nikel akan berdampak luas: menurunnya populasi ikan, matinya habitat biota laut, hingga penurunan hasil tangkapan nelayan.
Dari darat, pengerukan dan pembabatan hutan di pulau-pulau kecil juga mengancam stabilitas pesisir. Greenpeace melaporkan eksploitasi nikel di tiga pulau semula menimbulkan deforestasi lebih dari 500 hektare hutan alami dan limpasan tanah menimbulkan sedimentasi di pantai.
Studi lingkungan menunjukkan hutan karst dan mangrove pulau Raja Ampat—sekitar 610 gugusan pulau—berperan sebagai penyangga ekologis dan penahan abrasi. Kehilangan area hutan tersebut akan membuat pesisir mudah terkena erosi, meningkatkan emisi karbon, dan mengurangi habitat satwa endemik darat. Secara keseluruhan, para ahli menyimpulkan pertambangan nikel dapat menurunkan kejernihan perairan, merusak ekosistem laut, dan menghilangkan kekayaan alam yang menjadi daya tarik pariwisata.
Menanggapi kekhawatiran publik, pemerintah pusat bergerak cepat. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan telah membekukan sementara izin operasional PT Gag Nikel sejak 5 Juni 2025. Bahlil menyatakan akan melakukan verifikasi lapangan untuk meneliti dugaan pelanggaran kawasan konservasi.
Ia juga membantah isu bahwa tambang berada di lokasi obyek wisata utama Piaynemo. Ia menegaskan tambang terletak 30–40 km dari titik wisata dan meminta media berhati-hati dalam menampilkan citra visual. Bahlil berharap isu pertambangan nikel ini tidak mengganggu proyek hilirisasi nikel nasional, yang dikatakannya penting bagi industri dalam negeri.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan Kementerian LHK telah memetakan kawasan itu dan akan segera meninjau lokasi tambang serta mempertimbangkan langkah hukum bila ditemukan pelanggaran. Kepala Satuan Polisi Perikanan KKP, Pung Nugroho Saksono, mengungkap pihaknya mengerahkan tim untuk mengecek dampak di laut dan mengkoordinasikan dengan instansi terkait. Sampai saat ini, kata Pung, belum ditemukan kerusakan di pesisir, namun pengawasan diperketat terutama di kawasan konservasi hiu ikonik Raja Ampat. Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menyatakan siap berkoordinasi dengan ESDM dan LHK untuk menindaklanjuti isu ini.
Di tingkat daerah, Bupati Raja Ampat Orideko Burdam menyesalkan kewenangan penerbitan izin tambang ada di pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah sulit mengintervensi kegiatan yang dianggap merusak ekosistem setempat. Anggota DPR RI dari Papua Barat Daya, Rico Sia, pun menyuarakan aspirasi masyarakat untuk menyelamatkan keindahan Raja Ampat dan mempertanyakan bagaimana izin tambang bisa diterbitkan di kawasan yang 97% wilayahnya berstatus konservasi.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia Chalim meminta agar izin tambang nikel di sekitar destinasi super prioritas seperti Raja Ampat dikaji ulang. Chusnunia juga mewanti-wanti dampak lintasan logistik tambang yang berisiko melintas di perairan sensitif dan merusak terumbu karang. Komisi VII menekankan perlu keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan kelestarian kawasan konservasi.
Pendukung proyek tambang menekankan nilai ekonomi jangka pendeknya. PT Gag Nikel, misalnya, mencatatkan keuntungan signifikan bagi negara dan masyarakat lokal. Manajer PT Gag Nikel Cabang Sorong, Rudy Sumual, memaparkan bahwa sepanjang 2018–2024 perusahaan telah menyetor total Rp2,655 triliun kepada kas negara (pajak dan royalti).
Perusahaan juga mengklaim melaksanakan berbagai program pemberdayaan masyarakat (pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi lokal, dan pembangunan infrastruktur) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR). Selain itu, produksi nikel Raja Ampat diharapkan memperkuat rantai nilai hilirisasi nikel nasional untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat.
Pemerintah memandang tambang nikel sebagai bagian dari strategi pengembangan industri mineral dalam negeri. Meskipun demikian, Menteri Bahlil menyoroti bahwa kontribusi PT Gag Nikel relatif kecil terhadap target produksi nikel nasional, yaitu sekitar 3 juta ton per tahun (sekitar 1,3% dari target nasional).
Para legislator juga mencatat potensi kerugian ekonomi pariwisata: menurut data Pemkab Raja Ampat, sektor wisata menghasilkan sekitar Rp150 miliar PAD pada 2024 dan menyerap 30.000 wisatawan per tahun (70% mancanegara). Anggota DPR Novita Hardini memperingatkan, jika kerusakan lingkungan terus berlanjut, pendapatan pariwisata bisa turun hingga 60% dan mengguncang mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada laut.
Kelompok adat dan pengamat ekonomi pariwisata menekankan bahwa wisata bahari Raja Ampat adalah sumber pendapatan berkelanjutan jauh lebih lama dibandingkan komoditas tambang yang cepat habis.
Para ahli lingkungan dan akademisi menegaskan bahwa kerusakan ekosistem Raja Ampat akan berakibat jangka panjang. Mereka memperingatkan efek domino seperti meningkatnya penipisan ikan laut, gangguan siklus nutrisi, dan rusaknya habitat spesies endemik laut jika terumbu karang dan mangrove hilang. Di darat, kehilangan hutan tropis dan lanskap karst akan mengurangi penyerapan karbon dan kehilangan habitat satwa langka daratan. Greenpeace menyoroti bahwa industri nikel selama ini cenderung memicu polusi dari limbah tambang dan emisi batubara (untuk pembangkit listrik captive), yang memperparah krisis iklim global. Akademisi konservasi laut juga menyatakan bahwa gangguan sedimentasi dan polusi berat dapat menyebabkan “kematian budaya” masyarakat pesisir, karena tradisi penangkapan ikan dan kearifan lokal terkait alam terputus.
Secara umum, para pakar menilai potensi kerugian ekologis dan sosial jangka panjang di Raja Ampat jauh melebihi manfaat ekonomi sesaat. Mereka mendesak pemerintah untuk menimbang ulang izin yang sudah diterbitkan. Dalam seminar ilmu kelautan terpisah, sejumlah ilmuwan menyatakan pentingnya memanfaatkan kekayaan laut Raja Ampat secara ramah lingkungan, misalnya melalui ekowisata dan perikanan terkelola, alih-alih mengekstrak mineral yang rentan merusak kerentanan alam setempat.
Hingga kini, izin eksploitasi PT Gag Nikel tetap dibekukan dan Kementerian ESDM bersama Kementerian LHK sedang memverifikasi kondisi lapangan. Menteri Bahlil menyatakan akan mengumumkan hasil investigasi segera setelah tim lapangan kembali. Sementara itu, pemerintah pusat dan daerah sepakat menunda penerbitan izin tambang baru di Raja Ampat. Anggota DPR Novita Hardini menegaskan, kedua level pemerintahan “harus segera menghentikan pemberian izin baru” dan melakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap IUP yang sudah terbit.
Di sisi masyarakat, penolakan publik terus meluas. Pada 3 Juni 2025, misalnya, aktivis Greenpeace bersama pemuda adat Papua menggelar aksi damai di konferensi mineral kritis di Jakarta, membentangkan spanduk *”Save Raja Ampat from Nickel Mining”*. Gerakan #SaveRajaAmpat juga viral di media sosial, didukung oleh berbagai LSM dan tokoh masyarakat. Polri dan KKP telah menurunkan tim survei lapangan untuk memantau situasi, sementara sejumlah organisasi masyarakat adat memasuki tahap gugatan hukum.
Hingga artikel ini ditulis, kondisi Raja Ampat masih tenang secara fisik, namun ketegangan kebijakan dan protes publik terus meningkat. Pemerintah pusat menegaskan akan bersikap transparan menanggapi laporan kerusakan lingkungan, dengan satu mata mengawasi kelangsungan proyek hilirisasi, dan mata lainnya menakar dampak ekologis yang timbul.

Penulis Indonesiana Dan Influencer
0 Pengikut

Tambang Nikel Siap Hancurkan Pesona Raja Ampat
Jumat, 6 Juni 2025 17:17 WIB
Mahasiswa Psikologi Universitas Bina Bangsa Edukasi Seksualitas di El Bantany
Selasa, 27 Mei 2025 09:39 WIBArtikel Terpopuler