Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan

Genset yang Tak Pernah Tiba; Ironi Seorang Kepala Desa Terpencil

Rabu, 4 Juni 2025 08:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Lampu
Iklan

Keodes Junaedi membuat ingin menyalakan lampu di rumah-rumah warganya. Tapi listrik belum sempat menyala, jabatannya keburu padam.

delapan kades dicopot bupati 8 triliun

TALIABU — Ada kabar yang tidak terburu-buru. Ia melintasi laut, dibawa angin musim timur yang lambat. Bukan berita politik. Bukan pula pengumuman resmi. Tapi kabar tentang sebuah genset, menggulung kabel-kabel harapan, menuju sebuah pulau yang belum semua sudutnya mengenal cahaya: Pulau Taliabu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di salah satu titik paling jauh dari Jakarta itu, seorang kepala desa bernama Junaedi pernah membuat rencana yang sederhana: menyalakan lampu di rumah-rumah warganya.

Itu saja.

Bukan dengan proposal bertanda tangan pejabat tinggi. Bukan dengan janji pilkada. Tapi dengan pembelian nyata. Uang yang nyata. Niat yang nyata. Sebuah genset besar, kabel induk, dan ratusan MCB kini sedang berada di kapal. Di laut. Dalam perjalanan yang tak tahu akan berlabuh di mana.

Sebab ketika listrik belum sempat menyala, jabatan Junaedi lebih dulu padam.

Seperti banyak hal di republik ini, kadang hukum datang terlalu lambat—atau justru terlalu cepat.

Delapan kepala desa. Semua definitif. Semua telah dilantik ulang sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024. Ada pasal 118 poin (e) yang tegas: masa jabatan mereka yang semestinya habis pada Februari diperpanjang menjadi delapan tahun. Perpanjangan itu bukan hadiah. Itu amanat hukum.

Tapi kekuasaan tidak selalu membaca hukum dengan mata yang sama. Bupati baru, Sasabila Widya L Mus, tampaknya melihatnya lain. Ia anak dari Aliong Mus, bupati lama. Tapi ini mungkin bukan soal garis keturunan. Ini soal tafsir.

Dan seperti banyak tafsir di negeri ini, tafsir bisa jadi alat.

Delapan kepala desa itu diganti begitu saja. Tanpa peringatan. Tanpa evaluasi. Tanpa berita acara. Dan tentu saja, tanpa terang.

Junaedi adalah satu dari mereka. Ia tidak tahu apa kesalahannya. "Apa aturan yang kemarin sudah tidak berlaku di Kabupaten Pulau Taliabu?" tanyanya—tulus dan naif, seperti warga yang baru belajar bahwa Undang-Undang kadang bukan kitab, tapi peta yang bisa dilipat-lipat sesuai arah angin.

Apa arti sebuah genset yang tak jadi diturunkan? Di Jakarta, itu mungkin hanya daftar inventaris. Tapi di Bapenu, ia adalah kenang-kenangan. Atau tepatnya, niat yang hendak diwariskan.

"Saya ingin meninggalkan sesuatu untuk desa. Meski saya tidak menjabat lagi," kata Junaedi. Satu kalimat yang jarang terdengar dari seorang pejabat desa.

Tapi mungkin justru karena itu ia diganti.

Delapan kepala desa. Delapan mimpi yang tak sempat menjadi kenyataan. Satu keputusan dari pusat kabupaten yang menghapus semuanya dalam satu surat.

Dan entah kebetulan atau tidak, angkanya serupa dengan rencana besar pembangunan yang diumumkan bulan lalu: delapan triliun rupiah. Jalan, jembatan, sekolah rakyat, dua kawasan industri. Angka yang berat di lidah, tapi ringan dalam rapat. Angka yang bisa disebut-sebut dalam pidato gubernur, tapi mungkin tak menyentuh kabel listrik yang sedang melintasi laut.

Saya tidak sedang bicara legalitas. Itu soal pengacara. Saya juga tidak ingin menyoal politik lokal. Itu urusan DPD atau Mahkamah Konstitusi.

Saya hanya ingin bertanya: bagaimana kabar genset itu sekarang?

Apakah ia akan sampai ke pelabuhan? Apakah ia akan tetap diturunkan? Atau ia akan kembali ke Makassar seperti surat keputusan yang ditarik kembali? Genset itu bukan metafora. Tapi nasib itu sering memang lebih tepat diwakili oleh benda-benda sunyi: sebuah mesin yang berlayar menuju pulau, yang kini tak tahu lagi siapa yang akan menerimanya.

Goethe pernah berkata: terang bukanlah ketiadaan gelap, tapi hadirnya harapan.

Tapi listrik berbeda dengan cahaya. Listrik butuh rangkaian. Butuh saklar. Butuh keputusan untuk menyambung.

Jika saklar diganti di tengah jalan—bukan hanya rencana yang padam. Tapi kepercayaan.

Dan di Taliabu hari ini, malam tampaknya datang sedikit lebih awal dari seharusnya.

Kadang, yang kita sebut "pembangunan" bukan soal jalan atau listrik. Tapi soal kepercayaan yang terus menyala. Atau padam, satu per satu.

 

[Mahar Prastowo]

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mahar Prastowo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Judi Online, Bank, dan Regina

Sabtu, 7 Juni 2025 12:27 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua