Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi

Wacana Revisi UU Ormas: Menjaga Kebebasan, Menata Keteraturan

Rabu, 14 Mei 2025 10:31 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
Iklan

Mungkin di sinilah kita belajar satu hal penting dari demokrasi: kebebasan itu indah, tapi keteraturan membuatnya bisa dinikmati bersama.

***

Kalau bicara soal organisasi masyarakat (ormas), kita sebetulnya lagi ngomongin salah satu pilar penting demokrasi. Sejak reformasi 1998, kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat benar-benar dimuliakan. Banyak ormas lahir, dari yang bergerak di bidang sosial, budaya, keagamaan, hingga advokasi. Tapi seperti pepatah lama: "Kebebasan tanpa batas bisa berujung kekacauan."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, belakangan ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melempar wacana yang cukup penting: revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Menurutnya, banyak ormas yang sudah "kebablasan" — mulai dari intimidasi, pemerasan, sampai kekerasan. Bahkan, ada kekhawatiran soal ketidakjelasan keuangan ormas, yang kalau dibiarkan bisa merusak sendi-sendi kepercayaan publik. Tito bilang, perlu ada pengawasan ketat, termasuk audit keuangan.

Komisi II DPR RI, lewat Ketua-nya Rifqinizamy Karsayuda, menanggapi wacana ini dengan elegan: kami menunggu usulan resmi. Artinya, kalau pemerintah serius mau merevisi, DPR siap membahasnya. Tapi harus lewat jalur resmi dulu, tidak sekadar wacana di udara.

Mengapa Revisi Perlu Dipertimbangkan?

Kalau kita lihat sejarah, UU Ormas lahir dalam semangat melindungi kebebasan sipil. Di era Orde Baru, berserikat itu bak jalan terjal penuh ranjau. Reformasi mengubah semuanya — ormas bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Namun, di tengah niat mulia itu, lahirlah juga ormas-ormas yang menjalankan agenda-agenda kelam: kekerasan, pemerasan, bahkan politik identitas.

UU Ormas yang sekarang memang berupaya mengatur. Tapi pengawasannya? Jujur saja, banyak bolongnya. Misal, soal keuangan. Ormas bisa menerima dana dari berbagai sumber, tapi transparansi penggunaannya seringkali abu-abu. Siapa yang berani audit? Siapa yang mengawasi? Di sinilah lubang besar itu menganga.

Bahkan, dalam praktiknya, ada ormas yang bertransformasi jadi semacam "korporasi kekuasaan" kecil-kecilan. Menjual nama besar demi pungutan liar. Menggunakan intimidasi untuk memaksakan kehendak. Ini jelas merusak sendi demokrasi itu sendiri.

Tantangan Besar: Menjaga Keseimbangan

Tapi, sebentar. Kita juga perlu hati-hati. Jangan sampai revisi UU Ormas malah jadi alat membungkam kritik atau membatasi ruang gerak sipil. Ini concern serius. Demokrasi sehat butuh suara dari berbagai arah, bahkan dari suara-suara sumbang sekalipun.

Jadi tantangannya adalah: bagaimana membuat aturan yang ketat tapi tetap adil? Bagaimana memperbaiki pengawasan, tanpa membuat pemerintah jadi Big Brother yang mengontrol segala bentuk organisasi?

Kalau hanya ingin mengatur transparansi keuangan, misalnya, itu sah-sah saja. Audit rutin, laporan dana, sumber pendanaan — semua itu penting. Tapi jangan sampai prosesnya memberatkan ormas kecil yang murni bergerak untuk kegiatan sosial tanpa tujuan politis atau ekonomi.

Selain itu, revisi juga perlu memperjelas konsekuensi hukum atas tindakan ormas. Kalau ada pelanggaran — pemerasan, kekerasan, intimidasi — sanksinya harus jelas, tegas, dan adil. Tidak tebang pilih. Bukan hanya kepada ormas kecil, tetapi juga ormas besar yang punya "backing" politik.

Peluang untuk Demokrasi yang Lebih Sehat

Sebenarnya, revisi UU Ormas bisa jadi momentum emas. Momentum untuk membersihkan dunia organisasi masyarakat dari perilaku-perilaku menyimpang. Sekaligus memperkuat posisi ormas yang benar-benar berkontribusi positif bagi bangsa.

Tapi sekali lagi, semua bergantung pada niat dan desain revisinya. Kalau niatnya memang untuk membenahi, memperbaiki, dan menjaga ruang sipil tetap sehat, maka revisi itu layak didukung. Tapi kalau ternyata ada agenda tersembunyi, semacam memperkecil ruang kritik, kita harus berani bilang: tunggu dulu!

Karena demokrasi bukan hanya tentang pemerintah yang kuat, tapi juga tentang masyarakat yang aktif dan bebas. Ormas, dalam bentuknya yang paling ideal, adalah cermin semangat gotong royong bangsa ini.

Menunggu, Tapi Sambil Mengawasi

Saat ini, Komisi II DPR memilih sikap elegan: menunggu usulan resmi dari pemerintah. Dan ini sebetulnya langkah yang bijak. Jangan buru-buru mengubah undang-undang hanya berdasarkan perasaan sesaat. Perubahan harus dirancang dengan hati-hati, melalui diskusi publik, partisipasi masyarakat sipil, dan tentu saja — transparansi penuh.

Karena pada akhirnya, siapa pun kita — warga biasa, aktivis, anggota DPR, atau pejabat pemerintah — kita semua punya satu tugas yang sama: menjaga agar kebebasan berserikat tetap hidup, tapi juga memastikan bahwa kebebasan itu tidak dipakai untuk menindas orang lain.

Mungkin di sinilah kita belajar satu hal penting dari demokrasi: kebebasan itu indah, tapi keteraturan membuatnya bisa dinikmati bersama.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua