Kongsi LanFang, Kongsi terbesar di Kalimantan Barat

Rabu, 26 Maret 2025 15:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Kongsi Lanfang yang berdiri sejak 1777, Kongsi yang mengelola tambang emas secara otonom hingga runtuh di tangan Belanda pada tahun 1884

Oleh: [email protected]

 

Kongsi LanFang, Kongsi terbesar dan berpengaruh di Kalimantan Barat

Bendera Kongsi LanFang latar berwarna kuning melambangkan kejayaan dan kemakmuran dengan tulisan dalam aksara Mandarin: 制統大芳蘭. Tulisan tersebut dapat dibaca sebagai Zhì Tǒng Dà Fāng Lán yang berarti

Bendera Kongsi LanFang latar berwarna kuning melambangkan kejayaan dan kemakmuran dengan tulisan dalam aksara Mandarin: 制統大芳蘭. Tulisan tersebut dapat dibaca sebagai Zhì Tǒng Dà Fāng Lán yang berarti "Sistem Pemerintahan Besar Lanfang" atau "Lanfang Ta Tong Chi" (foto sumber: p2k.stekom.ac.id)

Sejarah kongsi di Kalimantan Barat memiliki peran penting dalam sejarah sosial, ekonomi, dan politik imigran Tionghoa. Sejak kedatangan imigran Tionghoa pada abad ke-17, terutama dari suku Hakka dan suku Teochiu, komunitas ini memiliki hubungan dengan pemerintah lokal lalu mulai berkembang sehingga terbentuklah Kongsi-Kongsi Tionghoa Kalimantan Barat, Salah satunya yaitu, Kongsi LanFang.

Kongsi LanFang yang didirikan sekitar tahun 1777 oleh Lo Fang Pak, merupakan kongsi Tionghoa terbesar dan berpengaruh di Kalimantan Barat yang beroperasi di Mandor dan menjadi entitas yang sangat berpengaruh. Kongsi LanFang ini sebagai organisasi yang bersifat otonom, Kongsi Lan Fang mengatur kehidupan politik dan hukum masyarakat Tionghoa, membentuk sistem pemerintahan yang terstruktur di dalam komunitasnya. 

Pada periode ini, Kongsi LanFang mengelola pusat tambang emas yang menguntungkan di Kalimantan Barat, terutama di Mandor. Sehingga Mandor dikenal sebagai pusat aktivitas pertambangan emas pada masanya. Selain itu, kongsi ini juga berperan dalam mengelola kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat.

Suasana perkampungan orang Hakka kongsi Tionghoa LanFang di Mandor (foto sumber:  jatimtimes.com)

Suasana perkampungan orang Hakka kongsi Tionghoa LanFang di Mandor (foto sumber:  jatimtimes.com)

Menurut dari buku Jagoi Penjaga Republik ditulis oleh Dino Umahuk disebut, Pada masa lalu, Opu Daeng Manambon dari Kesultanan Mempawah mengundang para imigran Tionghoa dari Brunei untuk datang ke Kalimantan Barat. Kehadiran mereka bertujuan membantu membuka dan mengelola tambang emas di kawasan Sungai Duri. Sebagian besar dari para imigran ini berasal dari suku Hakka dan Teochiu, yang sebelumnya bermukim di Provinsi Guangdong, Guangxi, dan Sichuan, wilayah selatan Tiongkok. 

Motivasi utama kedatangan mereka ke pedalaman Kalimantan Barat tidak lain adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik melalui penambangan emas. Dengan semangat merantau, mereka meninggalkan tanah kelahiran dan menjelajah hingga ke nusantara demi harapan akan kesejahteraan.

Masih menurut dari buku Jagoi Penjaga Republik ditulis oleh Dino Umahuk menjelaskan, di tahun 1740, Sultan Mempawah secara resmi mengundang para penambang emas Tionghoa untuk bekerja di Sungai Duri, menandai awal mula hubungan antara komunitas Tionghoa dan kerajaan setempat. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1750, imigran Tionghoa mulai datang ke Kalimantan Barat untuk bekerja di tambang emas Monterado, yang dikelola oleh Sultan Sambas.

Memasuki pada tahun 1760, masuknya gelombang imigrasi membawa serta kemajuan teknologi pertambangan ke wilayah Kesultanan Mempawah. Kedatangan para pendatang, khususnya masyarakat Tionghoa, secara perlahan mulai mendominasi sektor pertambangan yang sebelumnya digeluti oleh Suku Melayu dan Dayak telah tergeser. 

Melansir dari Tirto.id, Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara mengatakan, Seiring waktu, peran masyarakat Tionghoa dalam industri ini semakin kuat, bahkan jumlah penduduknya meningkat pesat hingga melampaui 20 ribu jiwa. Penyebaran mereka pun meluas ke berbagai daerah di Kalimantan, termasuk ke wilayah Mandor, yang kemudian berkembang menjadi pusat utama pertambangan emas di kawasan tersebut.

Potret sang pendiri Kongsi Lanfang, Lo Fang Pak yang berasal dari Guangdong (foto sumber: Sugiri Kusteja)

Potret sang pendiri Kongsi Lanfang, Lo Fang Pak yang berasal dari Guangdong (foto sumber: Sugiri Kusteja)

Dikutip dari jurnal REPUBLIK” LANFANG KONGSI DI KALIMANTAN BARAT yang ditulis Sugiri Kusteja menyebutkan, Salah satu tokoh yang merupakan pendiri Kongsi LanFang adalah Lo Fang Pak, seorang cendekiawan Hakka asal Guangdong. Dia tiba di Kalimantan Barat pada tahun 1772 bersama rombongan imigran Tionghoa lainnya. Setibanya di Pontianak, Lo Fang Pak menetap dan bekerja sebagai seorang guru. Dalam perjalanannya menetap, ia melihat adanya ketegangan dan persaingan antar kelompok Tionghoa, seperti Hokkian, Hakka, dan Hoklo.

Melihat kondisi tersebut, Lo Fang Pak kemudian berinisiatif mengumpulkan 108 orang Hakka dan Teochiu untuk membentuk sebuah pasukan demi memperkuat kedudukan komunitas mereka di daerah itu. Langkah ini menjadi cikal bakal berdirinya Kongsi Lan Fang sebagai bentuk organisasi yang melindungi dan memperjuangkan kepentingan Tionghoa di Kalimantan Barat.

Dilansir dari buku THE CHINESE IN SOUTHEAST ASIA karya Victor Purcell menyebut, Pada tahun 1770, beberapa kongsi Tionghoa di Kalimantan Barat terlibat konflik dengan suku Dayak dan kesultanan setempat. Namun, setelahnya mereka memperoleh hak untuk mengelola tambang serta memungut cukai emas. Pada tahun 1772, gelombang imigran Tionghoa yang lebih besar tiba menggunakan kapal jung dan diizinkan menetap di Lara, Kecamatan Ledo, Bengkayang.  

Berdasarkan buku berjudul "AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG: Memuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki" karya Ikhsan Tanggok, dikisahkan bahwa seorang utusan Inggris dari Singapura bernama Earl datang menemui Lo Fang Pak untuk membicarakan peluang kerja sama perdagangan antara Singapura dan Mandor. Setelah melakukan kunjungan ke Monterado, Earl bersama beberapa utusan lainnya melanjutkan perjalanan ke Kesultanan Sambas. 

Di sana, mereka menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka kepada pejabat Belanda yang berkuasa di wilayah tersebut. Sementara itu, Lo Fang Pak sendiri diketahui tiba di Sambas pada tahun 1775, yaitu tidak lama setelah berakhirnya konflik internal antarkongsi Tionghoa.

Dilansir dari pinterpolitik.com, Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara? menjelaskan pada tahun 1776, jumlah kongsi masyarakat Cina di Kalimantan Barat telah berkembang menjadi 14 kelompok. Dari jumlah tersebut, 12 kongsi berpusat di Montraduk dalam wilayah Kesultanan Sambas, sementara dua lainnya berada di Kesultanan Mempawah dengan pusat di Mandor. Untuk memperkuat persatuan dan mencegah konflik internal, ke-14 kongsi ini membentuk aliansi Hee Soon hingga menjadi kongsi pada tahun 1777 yaitu Kongsi LanFang. 

Lo Fang Pak memimpin 108 orang Hakka untuk membentuk pasukan dan memperluas pengaruh untuk  membentuk kongsi mereka di wilayah Kalimantan Barat (foto sumber: Tirto.id)

Lo Fang Pak memimpin 108 orang Hakka untuk membentuk pasukan dan memperluas pengaruh untuk  membentuk kongsi mereka di wilayah Kalimantan Barat (foto sumber: Tirto.id)

Dikutip dari jurnal yang sama REPUBLIK LANFANG KONGSI DI KALIMANTAN BARAT yang ditulis Sugiri Kusteja menyebutkan Pada tahun 1777, Kongsi Lanfang telah didirikan oleh Lo Fang Pak menjadi yang kemudian menjadi kongsi Tionghoa terbesar dan pertama di Kalimantan Barat. Pusat kongsi ini berada di Mandor, sebuah wilayah penting pada masa itu. Nama LanFang yang berasal dari kata harfiah Lanfang yang artinya “Bunga Anggrek”.

Karena keberadaan Kongsi LanFang yang terkenal dengan tatanan hukum dan peraturannya berpusat di Mandor, sehingga dikenal dengan sebutan Toeng Ban Lit, yang berarti "daerah timur dengan seribu undang-undang". Sebutan ini menggambarkan bagaimana masyarakat di sana hidup teratur di bawah hukum yang disepakati bersama.

Sehingga Kongsi ini dibentuk sebagai jawaban atas kebutuhan akan persatuan dan perlindungan dari situasi politik yang tidak stabil serta persaingan antaretnis di Kalimantan Barat. Kehadiran Lo Fang Pak sebagai tokoh penting dalam pendirian kongsi tersebut membawa dampak besar bagi Mandor. Yang tidak hanya menjadi wilayah pusat penambangan emas tetapi sebagai wilayah perdagangan bagi imigran Cina Kalimantan Barat.

Kongsi LanFang tidak hanya berfokus sektor pertambangan emas dan perdagangan tetapi juga berkontribusi membangun sistem irigasi di bidang pertanian. Dilansir dari republika.co.id artikel berjudul Lanfang: Kisah Sebuah Republik di Belantara Kalimantan menjelaskan, mereka membangun dam kecil dan saluran air untuk memisahkan emas dari tanah menggunakan aliran air. Teknologi ini menunjukkan kemampuan masyarakat kongsi dalam memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien.

Kongsi ini juga memperkenalkan berbagai inovasi teknologi, seperti pompa hidrolik untuk mengangkat air di tambang dan lahan pertanian serta metode double-cropped wet rice untuk meningkatkan hasil panen padi. Selain itu, mereka juga menanam tebu untuk memenuhi kebutuhan gula dan merintis penanaman karet sebagai komoditas penting.

Dikutip dari jurnal Peran Orang Tionghoa dalam Perdagangan dan Hidup Perekonomian dalam Masyarakat yang ditulis Lukas S Musianto mengatakan, bahwa peran perempuan Tionghoa dalam kongsi LanFang mereka berkontribusi dalam perdagangan kecil. Perempuan Tionghoa sering terlibat dalam kegiatan perdagangan kecil, baik sebagai pemasok barang maupun pedagang. Mereka mengelola usaha kecil yang menjadi bagian dari ekonomi lokal, termasuk menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari kepada komunitas mereka dan penduduk setempat.

Tidak hanya perdagangan, tetapi perempuan dalam Kongsi LanFang berperan juga dalam budaya. Seperti yang dilansir dari laman tionghoa.info yang berjudul Republik LanFang negara modern pertama di Asia menjelaskan, Perempuan Tionghoa berfungsi sebagai penghubung antara generasi tua dan muda, menjaga nilai-nilai budaya, bahasa, dan adat istiadat. Mereka berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk pendidikan dan ritual keagamaan yang mencerminkan perpaduan antara tradisi Tionghoa dan budaya lokal.

Terdapat hubungan antara orang Tionghoa Kongsi LanFang dengan suku Dayak dalam hal perdagangan hasil. Dilansir juga dari laman pinterpolitik.com berjudul Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara? disitu mengatakan, Orang Tionghoa sering kali membutuhkan akses perdagangan hasil hutan yang dikelola oleh suku Dayak, sementara suku Dayak mungkin memerlukan barang-barang dari komunitas Tionghoa. 

Meskipun ada kerjasama, hubungan ini tidak selalu harmonis. Suku Dayak yang merasa dirugikan oleh Kongsi LanFang dikarenakan hutan yang menjadi tanah leluhur mereka dieksploitasi hingga terjadinya konflik. 

Kongsi Lanfang memiliki struktur dan aturan yang terorganisir seperti yang dilansir dari buku berjudul Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat yang ditulis Ya Achmad menjelaskan:

  1. Kekuasaan: Kongsi LanFang dipimpin oleh seorang Thay Kong (pemimpin tertinggi) yang memiliki otoritas tertinggi dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Thay Kong bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan dan pengambilan keputusan penting di dalam kongsi.
  2. Hukum: Kongsi LanFang mulai menerapkan aturan-aturan, yaitu:
    • Kejahatan berat seperti pembunuhan dan pemberontakan dihukum mati dengan pemenggalan.
    • Sementara perampokan dan perkelahian dikenai hukuman cambuk serta pemasangan rantai pada kaki. 
    • Perselisihan ringan diselesaikan dengan denda berupa kain merah dan lilin merah besar.
    • Aturan tambahan dapat diterapkan sesuai kebutuhan.
  3. Struktur Organisasi: Struktur organisasi Kongsi LanFang terdiri dari tingkatan, yaitu:
    • Thay Kong (pemimpin tertinggi) sebagai pemimpin yang memiliki otoritas tertinggi dalam Kongsi.
    • Niko sebagai wakil pemimpin atau bupati.
    • Kaptai sebagai kapten besar atau camat.
    • Lantai sebagai kepala kampung yang mengatur wilayah lebih kecil.
  4. Bentuk Pemerintahan: Kongsi LanFang adalah federasi kongsi, di mana masing-masing kongsi memiliki pembagian kedudukan, yaitu:
    • Taiko berasal dari Ko Yin Chu (Cina).
    • Wakil Taiko dari Tai Phu (Cina).
    • Kepala bagian lainnya dipilih dari anggota tanpa batasan asal.

Mata uang kertas berwarna hijau dengan tulisan

Mata uang kertas berwarna hijau dengan tulisan "LANFANG REPUBLIC", menampilkan potret Lo Fang Pak di tengahnya, serta angka "100" di kedua sisi (foto sumber: boombastis.com)

Seperti yang dikutip dari jurnal REPUBLIK LANFANG KONGSI DI KALIMANTAN BARAT yang ditulis Sugiri Kusteja menjelaskan, Dalam perkembangannya, Kongsi LanFang mendukung dan menjalin kerjasama dengan Kesultanan Pontianak yang baru berdiri di tahun 1778, serta membantu menghentikan beberapa pemberontakan agar kongsi ini mendapat dukungan dari Kesultanan Pontianak. Hubungan mereka berlangsung baik, dengan Kongsi LanFang menjalankan aktivitas perdagangan dan administrasi secara mandiri di daerah kekuasaannya.

Menurut buku yang ditulis Hasanuddin berjudul PONTIANAK MASA KOLONIAL menyebutkan, Pada awal abad ke-19, jumlah warga Tionghoa di Kalimantan meningkat, terutama yang bekerja di tambang emas. Setelah Perang Napoleon (1803-1811), Belanda mulai mengintervensi untuk menguasai sumber daya, termasuk tambang emas kongsi-kongsi Tionghoa. Kongsi Lanfang harus berusaha menjaga hubungan baik antara Tionghoa dan Melayu meski menghadapi tekanan Belanda.

Kongsi tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam roda perekonomian di Pontianak, yang kala itu, tepatnya pada tahun 1811, menjadi pelabuhan utama. Selain menambang, anggota kongsi juga berbisnis, menjadi tukang, serta memproduksi gula dan arak. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi Tionghoa di Pontianak dan Mempawah, kekuatan ekonomi mereka pun semakin mengakar, terutama dalam bidang perdagangan, seperti candu, barang kelontong, besi, hingga keramik.

Di buku yang berjudul SEJARAH KONGSI LANFONG MANDOR karya De Groot dijelaskan, Pada tahun 1823, di bawah kepemimpinan Liu Thoi Ni, kongsi Tionghoa berhasil memperkuat kongsi dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda, terutama dalam mempertahankan hak otonomi di bidang pertambangan emas. 

Namun, situasi mulai berubah pada tahun 1833 ketika Belanda memberlakukan kebijakan baru yang mengubah aturan perdagangan emas dan intan menjadi lebih terbuka. Sehingga munculnya ketegangan antara kongsi-kongsi Tionghoa karena perubahan kebijakan Belanda yang mempengaruhi stabilitas perdagangan, dan ekonomi-politik.

Dikutip dari jurnal berjudul Devide Et Impera: Mengenal Taktik Dan Strategi Orang Belanda (Seri Informasi Sejarah Nomor 39 Tahun 2014) karya Dharma Kelana Putra menjelaskan, Belanda menggunakan strategi divide et impera untuk mengontrol sumber daya ekonomi yang dikuasai oleh kongsi-kongsi dagang Tionghoa. 

Belanda sering memanfaatkan rivalitas antara kongsi-kongsi Tionghoa untuk menciptakan konflik internal. Belanda mendukung kongsi lain yang bersaing untuk melemahkan kekuatan Kongsi LanFang. Dengan memicu konflik, Belanda dapat mengambil alih kendali atas tambang atau perekonomian strategis yang dikuasai oleh Kongsi LanFang.

Dilansir dari jurnal BERHARAP DARI TANAH PANGHAREPAN: Kajian Sosio-Historis di Seputar Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda pada Komunitas Kristen di Jawa Barat periode Tahun 1870-1920 menyebut, Perjanjian 1854, yang dikenal sebagai Regeringsreglement, merupakan salah satu kebijakan penting yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membatasi otonomi kongsi Tionghoa terutama, Kongsi LanFang. 

Perjanjian ini mengatur struktur pemerintahan kolonial dengan Gubernur Jenderal sebagai penguasa tunggal, yang berimplikasi pada pengurangan kekuasaan lokal, termasuk kongsi-kongsi Tionghoa. Kongsi-kongsi Tionghoa diharuskan untuk beroperasi dalam kerangka hukum yang ditetapkan oleh Belanda, sehingga mulai kehilangan kekuasaan dan harus tunduk pada regulasi yang ditetapkan oleh Belanda.

Dikutip dari buku berjudul SEJARAH KONGSI LANFONG MANDOR karya De Groot menjelaskan, Pada tahun 1857, Kongsi LanFang mulai berada di bawah pengawasan Belanda, sehingga mulai mengatur perpajakan, perjudian, dan tambang emas, membangun struktur pemerintahan yang teratur, dan merintis perkebunan dan pertanian. Namun, banyak yang gagal dan melemahkan peran masyarakat dalam pemerintahan.

Dilansir dari jurnal REPUBLIK LANFANG KONGSI DI KALIMANTAN BARAT yang ditulis Sugiri Kusteja mengatakan, pada masa kepemimpinan Liu Asheng di tahun 1876, harus dihadapkan pada tantangan besar Ketika ada pemberontakan Kongsi Tai-kong dari Monterado. Dalam situasi ini, Liu Asheng berupaya mengoordinasikan dukungan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memperkuat posisi Kongsi LanFang. Namun, ketidakstabilan politik dan tekanan militer yang terus meningkat perlahan-lahan melemahkan otonomi kongsi.

Liu berupaya memulihkan kejayaan kongsi dengan menerapkan kebijakan baru serta melakukan perbaikan infrastruktur, termasuk membangun pusat pertemuan, pos pertahanan, dan klenteng. Selain itu, ia berusaha menggerakkan roda perekonomian Ngabang dengan memperoleh izin tambang emas dan berlian di Bonan dari Kesultanan Landak. 

Langkah-langkah ini diambil untuk menghadapi tekanan yang terus meningkat dari kolonial Belanda. Namun, seiring waktu, kondisi keuangan Kongsi LanFang semakin melemah, sehingga tidak lagi mampu mengatasi tekanan ekonomi dan militer dari Belanda yang terus meningkat.

Sehingga kongsi Tionghoa terbesar dan berpengaruh di Kalimantan Barat yang lama berdiri lebih dari 107 tahun berpusat di Mandor. Pada akhirnya, setelah wafatnya Liu Asheng di tahun 1884 Kongsi LanFang mengalami keruntuhan dikarenakan mengalami kemunduran akibat kebijakan kolonial yang semakin represif dan persaingan internal. 

Pemerintah kolonial Belanda segera membubarkan kongsi tersebut dan menempatkan seluruh komunitasnya jatuh ke tangan Pemerintahan kolonial Belanda. Demikian Kongsi LanFang yang dahulu otonom akhirnya berakhir di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Menurut buku berjudul PONTIANAK MASA KOLONIAL yang ditulis Hasanuddin  menyebutkan, Setelah runtuhnya Kongsi Lan Fang, sebagian besar masyarakat Tionghoa yang didominasi oleh orang Teochiu memilih bermigrasi ke Pontianak. Di kota itu, mereka mulai mengembangkan diri dalam bidang perdagangan dan industri, hingga akhirnya membentuk perkampungan yang menjadi pusat aktivitas mereka. 

Potret Lee Kuan Yew, yang dikenal sebagai Perdana Menteri pertama pendiri Singapura merupakan keturunan dari Kongsi LanFang bersama Sukarno dan Soeharto (foto sumber: liputan6.com)

Potret Lee Kuan Yew, yang dikenal sebagai Perdana Menteri pertama pendiri Singapura merupakan keturunan dari Kongsi LanFang bersama Sukarno dan Soeharto (foto sumber: liputan6.com)

Sementara itu, dilansir dari laman jatimtimes.com berjudul Hakka, Akar Pendiri Singapura dan Republik Pertama di Nusantara kelompok Hakka dari Kongsi LanFang mulai merantau ke Singapura. Di sana, mereka menetap dan membangun jaringan perdagangan serta memperkuat ikatan budaya Tionghoa, sehingga turut mewarnai dinamika sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Salah satu keturunannya yaitu Lee Kuan Yew, yang dikenal sebagai Perdana Menteri pertama pendiri Singapura. 

Menurut dari Liputan6 artikel berjudul Lee Kuan Yew, Antara Sukarno dan Soeharto menyebut, Lee Kuan Yew berasal dari keturunan kakeknya, Chua Kim Teng, menikah dengan Neo Ah Sung merupakan nenek dari pihak ibunya yang berasal dari Pontianak runtuhnya Kongsi LanFang. Kisah ini menjadi bukti bahwa jejak sejarah dan perjalanan keluarga Lee Kuan Yew turut terkait dengan peristiwa penting yang terjadi di Kalimantan Barat pada masa lalu.

Kongsi LanFang, yang didirikan pada tahun 1777 oleh Lo Fang Pak, muncul sebagai kongsi Tionghoa terbesar dan paling berpengaruh di Kalimantan Barat. Dengan pusat di Mandor, kongsi ini tidak hanya memainkan peran krusial dalam mengelola pertambangan emas, tetapi juga dalam pengaturan kehidupan sosial dan politik masyarakat Tionghoa di wilayah tersebut. Tatanan hukum dan peraturan yang diterapkan di dalam komunitasnya menciptakan struktur pemerintahan yang kokoh, yang memungkinkan Kongsi LanFang untuk berfungsi secara otonom dan menjaga stabilitas di tengah turbulensi politik dan persaingan antar etnis.

Namun, pengaruh dan keberadaan Kongsi LanFang mulai terancam seiring dengan peningkatan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, yang membatasi otonomi kongsi. Meskipun kongsi ini resmi dibubarkan pada tahun 1884, jejak historis dan dampak sosial ekonominya tetap terasa, mencerminkan pentingnya peran Kongsi LanFang dalam sejarah Tionghoa di Kalimantan Barat. Warisan yang ditinggalkannya, dalam bentuk jaringan perdagangan dan kontribusi anggota dalam politik, menunjukkan bahwa Kongsi LanFang tetap menjadi simbol penting dari peradaban Tionghoa di Indonesia.

 

REFERENSI

Achmad, Ya. (1981). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dalope, Leonard Bayu. (2018). BERHARAP DARI TANAH PANGHAREPAN: Kajian Sosio-Historis di Seputar Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda pada Komunitas Kristen di Jawa Barat periode Tahun 1870-1920. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

De Groot, J.J.M. (2015). SEJARAH KONGSI LANFONG MANDOR. Yogyakarta: Pohon Cahaya.

Hasanuddin. (2014). PONTIANAK MASA KOLONIAL. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kusteja, Sugiri. (2016). “REPUBLIK” LANFANG KONGSI DI KALIMANTAN BARAT. Bandung: Centre for Chinese Diaspora Studies (CCDS), Universitas Maranatha.

Musianto, Lukas S. (2003). Peran Orang Tionghoa dalam Perdagangan dan Hidup Perekonomian dalam Masyarakat. Surabaya: Fakultas Ekonomi dan Fakultas Komunikasi Universitas Kristen Petra

Purcell, Victor. (1951). THE CHINESE IN SOUTHEAST ASIA. London: Oxford University Press.

Tanggok, M. Ikhsan. (2017). AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG Memuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki. Jakarta: Buku Kompas.

Umahuk, Dino. (2017). Jagoi Penjaga Republik. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

https:///berita/pww78v385/lanfang-kisah-sebuah-republik-di-belantara-kalimantan-part2

https://www.pinterpolitik.com/sejarah/republik-lanfang-republik-pertama-di-nusantara/

https://www.tionghoa.info/republik-lanfang-negara-modern-pertama-di-asia/

https://sumenep.jatimtimes.com/amp/baca/183658/20181202/090700/hakka-akar-pendiri-singapura-dan-republik-pertama-di-nusantara

https://tirto.id/republik-lanfang-republik-pertama-di-nusantara-cwtg#:~:text=Lanfang%20adalah%20republik%20pertama%20di,di%20Kalimantan%20Barat%20pada%201777.&text=tirto.id%20%2D%20Gelombang%20imigran%20Cina,pertengahan%20abad%20ke%2D18%20itu.

https://www.liputan6.com/news/read/2199416/lee-kuan-yew-antara-sukarno-dan-soeharto?page=3

https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Republik_Lanfang?__cf_chl_rt_tk=MObFqvk4_vJLHwPJ_biEQg5itYl1H.onxqEIdykZDrM-1742780784-1.0.1.1-BJdH1vknZ7ja1y2HRHpoMkB6NcZDGLoWuI02a382prE

https://www.boombastis.com/republik-lanfang/84678

 

 

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di

Lihat semua