Fajar Merah yang Masih Tersaput Mendung Kelam: Kisah HAM Nusantara.

Rabu, 13 Desember 2023 20:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Respon untuk Para Capres yang bicara HAM dalam Debat Capres, dan masih adanya Wiji Tuku lain di tengah bangsa ini.

"Fajar Merah" yang masih tersaput Mendung kelam: Kisah HAM Nusantara.
 
              Entah apa yang dipikirkan sang ayah dan bunda ketika memutuskan secara aklamasi nama penerus mereka dengan nama Fajar Merah. Namun tafsir sederhana penamaan itu adalah masih adanya harapan akan masa depan. Ketika kata Fajar disematkan orang tua siapapun berharap bahwa anaknya akan menjadi sebuah penghadir harapan baru yang tidak pernah usang. Ya hadirnya fajar adalah kisah yang dinantikan setiap mahluk hidup sejak dunia diciptakan.
 
              Dalam hadirnya pagi dengan merekahnya sang surya, fajar adalah sebuah harapan akan lahirnya kehidupan. Seyogyanya ketika kata Merah disandingkan dengan Fajar, maka asumsi lumrah untuk penggandengan dua kata itu adalah pemaknaan pada harapan tidak akan terjadi mendung, hadirnya hari baru sempurna dalam seruak sang Surya untuk sebuah sapaan hangat bagi kehidupan, mahluk dan semua ciptaan. Memulai hari dengan hadirnya Mentari akan memberi rasa berbeda bila dibanding dengan mendung kelabu apalagi bila disertai hujan.
 
              Pemberi nama itu kepada seorang anaknya adalah penyair Wiji Thukul. Seorang sastrawan yang sampai saat ini tidak dapat dilacak keberadaannya. Ia hilang, bisa jadi dibunuh atau dimusnahkan , oleh penguasa Orde Baru yang totaliter mulai gamang menghadapi gelombang perlawanan massa pada masa itu. Wiji Thukul bukan militer pemilik senjata atau politikus penggalang masa yang piawai dengan pengaruh dan hartanya. Ia adalah penyair, penikmat seni sastra yang tulus mengutarakan rasa hatinya dengan tulisan yang indah walaupun menyakiti telinga penguasa buruk
 
              Dengan puisi puisi ia sanggup menghadirkan “Fajar Merah”, harapan kepada korban yang dalam keterpurukan akibat rejim bengis menghilangkan hak hak kemanusiaan mereka. Harapan yang walaupun hanya sebatas mimpi, bisa menggerakkan keberanian dan daya kritis para pembacanya untuk dapat memulai perlawanan. Para penguasa kebakaran jenggot karena karya karyanya, sama seperti Napoleon Bonaparte yang pernah mengatakan, "Pena lebih tajam daripada sebilah pedang karena itu saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet,"
 
              Dalam hari peringatan hari HAM Sedunia tahun 2023  ini, yang menurut Perserikatan Bangsa Bangsa bertemakan, "Kebebasan, Kesetaraan dan Keadilan bagi Semua", kita dibuat rindu akan hadirnya banyak Wiji Tukul baru. Ya, para penyair yang dengan pena mereka dapat mengusik Nurani para pemimpin bangsa dengan daya kritis yang tetap ada dan tidak tergerus oleh tawaran kekuasaan dan uang. Ternyata tema dari PBB tersebut yang digaungkan dalam peringatan hari HAM Sedunia belumlah tersentuh dengan baik dan benar di Nusantara tercinta ini.
 
Merujuk kepada  indeks HAM Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi periode kedua sejak tahun 2019, maka kondisinya menurut SETARA Institute,”tidak pernah mencapai angka moderat – yakni 4 – dengan skala 1-7. Pada 2019, skor indeks HAM sebesar 3,2, lalu 2020 pada angka 2,9, 2021 pada angka 3, 2022 pada angka 3,3 dan pada 2023 ini kembali turun menjadi 3,2.” Nampaknya peringatan hari HAM Tahun ini, yang tidak dihadiri oleh Presiden Jokowi, belum menghadirkan Fajar Merah, Penegakan HAM menjelang berakhirnya kepemimpinan Jokowi masih menghadapi mendung.
 
              Harapan semua anak anak bangsa sejatinya adalah untuk betul betul diperlakukan  dalam kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Namun asa itu pupus ketika melihat rapor pemerintah Jokowi yang abai dalam upaya mencapai angkat indeks HAM yang seyogyanya. Janji Kampanye untuk Indonesia maju, dalam ekonomi semata, seharunya tidak mengorbankan siapapun juga dengan adagium “No One Left Behind”. Kehidupan berbangsa yang maju sangat penting memperhatikan pendekatan “memanusiakan manusia lain” dan memartabatkan semua tanpa kecuali.
 
              Dalam peringatan “swasta” Hari HAM Sedunia kemaren, kita semua trenyuh mendengarkan pembacaan puisi karya Wiji Tukul berjudul Momok Hiyong oleh sang putra tercinta Fajar Merah. Salah satu baitnya mengatakan, “Luar biasa cerdasnya, Di luar batas culasnya, Demokrasi dijadikan bola mainan, Hak asasi ditafsir semau gue.” Kendati puisi itu ditujukan kepada rejim Orde Baru pada masa ditulis, namun juga relevan untuk siapapun penguasa yang melakukan aksi dan tindakan serupa.
 
              Memasuki bulan bulan menentukan bagi rakyat untuk mereka yang sedang berjualan citra kebaikan, hari HAM Sedunia sangat relevan mengingatkan kita untuk memilih yang terbaik. Mereka yang mencederai demokrasi untuk kekuasaan, apalagi melakukan pelanggaran HAM dengan merundung kemanusiaan dengan politik kekuasaan seharusnya dilawan. Kemanusiaan harus dijunjung tinggi diatas segalanya. Manusia Manusia Indonesia dan masa depannya harus menjadi  fokus sehingga “kebebasan, keadilan dan kesetaraan” bisa dinikmati secara paripurna.
 
              *Fajar Merah* masih diperlukan oleh bangsa ini untuk bangun menghadapi hari baru, bulan baru dan tahun baru dengan harapan hadirnya penghormatan terhadap hak asasi manusia yang sesungguhnya. Manusia Indonesia harus dijadikan manusia Indonesia seutuhnya, bukan obyek mendulang suara elektoral dalam meraup kekuasaan semata. Biarkan manusia Indonesia memilih dalam kebebasan, dan Pemilu seharusnya bebas dari intimidasi dan rayuan kenikmatan sesaat dalam bentuk banjir uang. Hak Asasi Manusia yang hakiki adalah kebebasan manusia menentukan masa depan dalam pilihan pilihan tulus tanpa intervensi penguasa atau siapapun juga.
 
              Sebagaimana Namanya, *Wiji Tukul,* yang bermakna “biji yang tumbuh” kita berharap proses demokrasi bangsa ini akan terus lahir dalam benih benih yang tumbuh subur menghadirkan Indonesia yang memartabatkan semua. Janganlah penguasa menghilangkan, membunuh dan menghancurkan benih benih itu yang mulai lagi hadir ketika surya siap menyinari alam raya, wiji wiji tukul lain akan hadir dan hadir terus, dan fajar fajar merah yang dinantikan tak pernah bosan di hari hari kita ketika mendung demokrasi , HAM dan kekuasaan terus berusaha menghancurkan benih benih yang ada.
 
              Selamat HARI HAM 2023 kemaren hari ini dan selanjutnya, yang selalu mengingatkan bahwa demokrasi tanpa HAM adalah sia sia.  Jayalah benih tumbuh dalam hadirnya fajar merah pengharapan generasi baru demokrasi yang tidak pernah lelah melawan represi terhadap *“Kebebasan, Kesetaraan dan Keadilan bagi Semua”. Kita besama pilih dan pilah siapa pemimpin yang menghargai HAM dan memanusiakan manusia. Semoga Indonesia diberkati dengan Presiden yang memahami dengan kepala, merasakan dengan hati serta melaksanakan dalam tindakan nyata hadirnya "Fajar Merah" HAM untuk semua.
 
Victor Rembeth/Pendeta dan aktivis kemanusiaan 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Victor Rembeth

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Pilihan Editor

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua