Obituari Sarwono Kusumaatmadja (1): Pak Harto Memuji Sarwono Jago Strategi dan Menangani Krisis
Senin, 12 Juni 2023 12:04 WIBNino Kusumaatmadja mengakui kalau saat itu ayahnya, Sarwono Kusumaatmadja, melanggar sejumlah aturan. Sarwono, kata Nino, menjelaskan aturan biasanya dibuat pada kondisi ideal. Ketika sedang krisis, harus melakukan yang benar secara moral meskipun menabrak aturan. Sarwono menegaskan: Kalau krisis sudah selesai dan rezim mendatang akan menindak, saya yang akan bertanggungjawab
Oleh Untung Widyanto [1]
*****.
Bara api terus membakar ribuan hektar hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. El Nino yang terjadi sepanjang 1997-1998 itu makin menambah parah kebakaran, apalagi disertai gagal panen dan kekeringan di berbagai daerah. Kabinet Pembangunan VI kelabakan menghadapi malapetaka ini. Pada saat itu, Presiden Soeharto belum juga menetapkan kebakaran tersebut sebagai bencana nasional.
“Semua pejabat bingung tidak ada yang berani mengambil posisi. Hanya Pak Sarwono Kusumaatmadja yang berani, padahal beliau menteri negara yang tanpa portofolio,” kata Indroyono Soesilo, pada acara Pojok Iklim edisi khusus bertajuk ‘Kenangan Sahabat tentang Bapak Sarwono Kusumaatmadja’ lewat aplikasi Zoom pada Rabu siang, 7 Juni 2023.
Sebanyak 120 orang mengikuti acara Pojok Iklim untuk mengenang wafatnya Sarwono Kusumaatmadja karena sakit pada 26 Mei 2023. Mereka berasal dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kementrian lainnya dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sejumlah tokoh memberi testimoni perjalanan sosok Sarwono yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Golkar, Menteri Penertiban Aparatur Negara, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Eksplorasi Kelautan. Putera kedua almarhum, yaitu Nino Krisnan Kusmara Kusumaatmadja ikut memberi penjelasan.
Indroyono yang tahun 1997 itu menjadi Direktur Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT, menceritakan perjuangan Sarwono yang membentuk Tim Pengendali Kebakaran Hutan. Dia direkrut Sarwono masuk dalam Tim dan mengusulkan hujan buatan untuk memadamkan api. Sarwono juga menarik kawan-kawannya di LAPAN, BMG, Kopassus, Wanadri dan aktivis lembaga swadaya masyarakat lainnya. Selain di kantor Bapedal Kementrian Lingkungan Hidup, rumah pribadi Sarwono di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan ikut dijadikan Posko Tim. Para aktivis dan relawan seringkali tidur di rumah ini.
Tim melakukan hujan buatan dan menggunakan teknologi satelit untuk melacak titik api. Padahal saat itu, penggunaan teknologi ini harus seizin lembaga intelejen. Lewat berbagai cara, tim mendapatkan peta konsesi lahan dari kementrian dan lembaga. Anggota tim juga turun ke lapangan untuk mendapatkan data kebakaran. Lewat telepon satelit mereka mengirim foto-foto kebakaran yang kemudian dimuat di media.
Berdasarkan data-data ini, Menteri Sarwono berani mengumumkan bahwa ada puluhan perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) yang membakar. Pernyataan Sarwono ini membantah tuduhan sebelumnya bahwa peladang berpindah yang menjadi pembakar hutan. Indroyono Soesilo menjelaskan bahwa Sarwono mendorong anggota tim untuk berjibaku dengan berbagai cara dan dirinya yang nanti bertanggungjawab. “Penegasan Pak Sarwono ini membuat kami tenang bekerja,” kata Indroyono, mantan Menko Maritim.
Nino Kusumaatmadja mengakui kalau saat itu ayahnya melanggar sejumlah aturan. Sarwono, kata Nino, menjelaskan bahwa aturan biasanya dibuat pada kondisi ideal. “Ketika sedang krisis, kita meski lakukan yang benar secara moral meskipun menabrak aturan. Kalau krisis sudah selesai dan rezim mendatang akan menindak, saya yang akan bertanggungjawab,” ujar Sarwono kepada Nino yang ikut membantu ayahnya sebagai relawan. Tim penanggulangan kebakaran berhasil menjalankan tugasnya. Upaya yang mereka lakukan menjadi pedoman dan program pemerintah mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan hingga saat ini.
Kemampuan mengatasi krisis ini memang kelebihan Sarwono. Kemampuan ini terasah sejak ditinggal wafatnya ayahnya pada saat Sarwono masih di sekolah dasar. Kemudian dia dibiayai pamannya untuk sekolah di King’s School di Gloucestershire Inggris. Selama tiga tahun, Sarwono tinggal di asrama dan menjadi siswa berprestasi yang mampu mengatasi tekanan dari pelajar Inggris. Ketika kuliah, Sarwono sukses sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITB periode 1967-1968 dan aktif di Grup Diskusi Tamblong yang dimentori Rahman Tolleng. Bersama beberapa teman kuliahnya di ITB dan Universitas Padjadjaran, Sarwono mendampingi warga pembuat sepatu di Desa Cibaduyut membuat koperasi. Kampung ini kemudian terkenal sebagai produsen pembuat sepatu pada dasawarsa 1970 dan1980-an.
Pada pemilu 1971, Sarwono dan sejumlah kawan kuliahnya di Bandung, terpilih sebagai anggota DPR dari Golkar. Mereka menjadi warna tersendiri di Golkar dan parlemen yang kebanyakan diisi oleh perwira dan pensiunan ABRI, serta birokrat. Sarwono termasuk anggota dewan yang vokal dan sering diwawancara wartawan. Tahun 1978, di usianya yang ke-35 tahun, Sarwono didapuk menjadi Sekretaris Fraksi Golkar di DPR. Lima tahun kemudian dia dipilih menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golkar masa bakti 1983-1988.
Padahal, jabatan Sekjen Golkar kala itu biasanya diisi oleh jenderal TNI Angkatan Darat. Di Golkar, terdapat tiga jalur keanggotaan dan penopang organisasi. Pertama, Jalur A (ABRI) yang mendominasi Golkar sejak tahun 1970-an, dimana perwira TNI AD menduduki jabatan pimpinan di Golkar pusat dan daerah. Kedua, Jalur B (Birokrasi) yang diisi pegawai negeri sipil di pusat dan daerah. Ketiga, Jalur G (Golkar) yang mewadahi kelompok induk organisasi kemasyarakatan pendiri Golkar di tahun 1964, yaitu Kosgoro, MKGR, Soksi dan lainnya.
Setelah menjadi anggota DPR di tahun 1971, Sarwono Kusumaatmadja bergabung ke dalam Kosgoro. Terpilihnya Sarwono yang dari Jalur G sebagai Sekjen Golkar menunjukkan orientasi baru di internal partai pemerintah ini. Dia bertanya kepada Jenderal Benny Moerdani (Panglima ABRI) tentang alasan memilihnya sebagai Sekjen Golkar. Ketika itu, Sarwono dikenal sebagai “orangnya Benny.”
Jenderal Benny menegaskan bahwa Presiden Soeharto yang menunjuk Sarwono sebagai Sekjen dan Akbar Tanjung menjadi Wakil Sekjen Golkar. Sejak beberapa tahun sebelumnya. Pak Harto menugaskan Benny Moerdani (saat itu menjadi Asisten Intelejen Panglima ABRI) untuk memata-matai dua tokoh muda tersebut. “Sarwono itu kader. Dia mengerti strategi. Jalan pikirannya seperti tentara. Dan dia bagus menangani krisis,” kata Moerdiono menirukan kata-kata Soeharto (buku Memoar Sarwono Kusumaatmadja, 2018).
Pada saat membuka Munas Golkar di Jakarta, Oktober 1983, Presiden Soeharto menegaskan bahwa Golkar harus lebih mandiri, berakar dan dewasa. Presiden juga menekankan pentingnya Golkar menumbuhkan demokrasi ke dalam ataupun ke luar melalui konsolidasi ideologi, konsolidasi wawasan, dan konsolidasi organisasi.
Saat itu, ada kajian di internal Golkar. Soeharto mengatakan jika dirinya nanti tidak lagi menjadi presiden, Golkar harus bersaing dengan partai-partai baru di era multipartai. Pak Harto meminta mulai saat ini untuk tidak lagi mengandalkan Jalur A (ABRI) dan Jalur B (Birokrasi). Golkar harus berorientasi sipil, yaitu Jalur G (Golkar).
Orang kuat di Indonesia ini mengibaratkan Golkar seperti roket yang memiliki tiga mesin pendorong, dimana mesin utamanya adalah Jalur G. Memasuki dasawarsa 1990-an, Pak Harto merasa Golkar harus bisa tinggal landas dengan motor utamanya Jalur G, sementara Jalur A dan B kembali ke tugas pokok masing-masing atau kedua mesin roket ini harus dilepas. Pak Harto menugaskan pengurus untuk terus mendorong kaderisasi.
Oleh karena itu, salah satu program utama Golkar masa bakti 1983-1988 (ketua umumnya Soedharmono dan sekjennya Sarwono) adalah keanggotaan dan kaderisasi. Di tiap provinsi hingga desa berlangsung kegiatan Kaderisasi Fungsional (Karsinal) dan Kaderisasi Teritorial Tingkat Desa (Karakterdes). Golkar kemudian menjadi organisasi yang modern dan kadernya tersebar di seluruh Tanah Air.
Pada Munas Golkar tahun 1988, Wahono terpilih sebagai Ketua Umum Golkar dengan Sekjen-nya Rahmat Witoelar (mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB, sebelum Sarwono Kusumaatmadja). Presiden Soeharto memilih Soedharmono sebagai Wakil Presiden dan mendapuk Sarwono menjadi Menteri Penertiban Aparatur Negara. Seperti diungkap Sarwono Kusumaatmadja dalam buku memoarnya (terbit tahun 2018), pada awal-awal menjadi Menteri PAN, Soeharto mengajaknya menjadi bagian dari inner circle atau orang Cendana. Sejumlah pejabat, kemudian diketahui menjadi lingkaran inti Soeharto, antara lain Benny Moerdani, Soedharmono, Moerdiono, BJ Habibie, Harmoko dan lainnya.
Sarwono meminta nasehat dari Soedharmono dan Benny Moerdani. Kedua tokoh ini dipersepsikan publik berseberangan, namun Sarwono kenal dekat dengan keduanya. Soedharmono mengaku pernah menjadi inner circle saat menjadi Menteri Sekretaris Negara. “Bebannya berat. Banyak yang kita ketahui sebagai orang dalam, tetapi kita harus tutup mulut. Kadang-kadang ada perintah Presiden yang harus kita laksanakan, padahal hati kecil kita mempertanyakan perintah itu. Beliau juga kadang memberikan arahan yang perlu penafsiran yang tepat dan dalam hal itu bukan perkara gampang,” ujar Soedharmono.
Pak Dhar, demikian panggilannya, menyarankan Sarwono bertanya kepada hati nuraninya. “Saya hanya ingatkan, tidak mudah menjadi orang dalam. Beban mentalnya berat, Kalau tidak kuat menanggung beban tersebut kita bisa mengalami disorientasi dan perilaku kita bisa menjadi aneh,” tambah Pak Dhar. Sarwono kemudian menemui Pak Benny. Jenderal bintang empat ini menyarankan hal yang sama dengan Soedharmono.
Sarwono merenung cukup lama. Akhirnya dia memutuskan menolak ajakan Soeharto. Dia sampaikan sikapnya itu pada saat bertemu dengan Soeharto malam hari di Jalan Cendana. Sarwono hakul yakin tetap berada pada Koridor Tengah, yang mana dia dapat selalu menjaga jarak dengan kalangan elit puncak politik. Sikap semacam ini Sarwono terapkan juga ketika menjadi Menteri Kelautan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Dia tidak ingin terlibat dalam intrik-intrik Istana yang saat itu berkonflik dengan DPR, partai politik dan kekuatan politik lainnya.
Setelah menyampaikan sikapnya kepada Soeharto, Sarwono selalu menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, kantor Presiden, bukan lagi di Jalan Cendana, kediaman Soeharto. Dia tetap giat menjalankan perannya sebagai Menteri PAN. Sarwono nothing to lose dan tak berharap terpilih kembali sebagai menteri. Namun, pada saat menyusun anggota Kabinet Pembangunan VI, Soeharto menelpon Sarwono Kusumaatmadja untuk membantunya sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Sarwono menunjukkan kepiawaiannya menangani kebakaran hutan dan lahan. Dia menindak pengusaha Sukanto Tanoto, yang pabriknya PT Indorayon di Sumatera Utara mencemari Sungai Asahan.
Kalau kita membuat dugaan politik, karier Sarwono akan moncer jika dia menerima ajakan Soeharto sebagai ‘Orang Cendana’. Boleh jadi, Soeharto menyiapkan Sarwono sebagai ketua umum Golkar pada dua periode berikutnya, bukan Harmoko. Bisa jadi Soeharto kemudian memilih Sarwono sebagai wakil presiden, daripada BJ Habibie. Soeharto memuji Sarwono sebagai kader yang jalan pikirannya seperti tentara dan ahli strategi yang jago menangani krisis. Lebih dari itu, Sarwono juga diterima ABRI (Benny Moerdani dan kawan-kawan), juga oleh kelompok Islam tradisional (ketua umum Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid) dan kelompok masyarakat sipil. Namun Sarwono, Sang Jago Strategi ini tetap pada Koridor Tengah.
***/theend
[1] Untung Widyanto, mantan wartawan di majalan Editor, Tiras, Tajuk dan Tempo, kini wartawan lepas.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Munas Pramuka: Kongres Partai Berlabel Tunas Kelapa
Jumat, 15 Desember 2023 12:58 WIBObituari Sarwono Kusumaatmadja (1): Pak Harto Memuji Sarwono Jago Strategi dan Menangani Krisis
Senin, 12 Juni 2023 12:04 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler