Drama Playing Victim Pasca Debat Kedua Capres 2024

Sabtu, 13 Januari 2024 09:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Debat capres kedua diramaikan dengan drama pertikaian, dilanjutkan politisasi menangis massal di sosial media. Oalah!

Debat kedua capres 2024 yang diselenggarakan pada 7 Januari 2024, berjalan secara tidak terduga. Seharusnya kontestasi tersebut dapat dijadikan sebagai ajang adu gagasan mengenai pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik. Selain itu, awalnya debat kali ini diprediksi dapat menjadi panggung bagi paslon capres nomor urut 02 sekaligus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. 

Pada kenyataannya Prabowo tampil tak memuaskan. Ia tidak mampu menepis pertanyaan serangan dari paslon lain, terutama dari paslon capres nomor urut 01 Anies Baswedan yang secara konsisten menyerangnya sejak pidato pembuka. Walhasil, debat kali ini berubah menjadi drama saling serang antara Anies dan Prabowo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun drama tidak berakhir setelah debat selesai. Adanya “pertikaian” antara Prabowo dan Anies berlanjut pada munculnya fenomena video reaksi warganet menangis di media sosial, terutama di platform TikTok. Video tersebut merupakan bentuk respon simpatik warganet kepada Prabowo, sebagai respon empati atas serangan dari paslon capres lainnya (Kumparan News, 9/1/2023). 

Salah satu bagian yang paling banyak meraih respon adalah saat Anies memberikan pertanyaan kepada paslon capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo, tentang berapa skor kinerja Prabowo sebagai menteri pertahanan. Lantas Ganjar memberikan skor 5, dan balik bertanya kepada Anies tentang berapa skor kinerja menurutnya. Alhasil, dibalas dengan penilaian yang lebih rendah, yaitu skor 11 dari 100 poin. 

Lantas, penilaian tersebut disambut reaksi kecewa warganet, dengan menganggap itu suatu hal yang tidak etis. Banyak dari mereka yang menyimpulkan, bahwa kedua paslon tersebut telah menyerang Prabowo secara personal, serta memancingnya untuk membuka data rahasia negara ke publik.

Di waktu yang bersamaan, beredar juga video akan reaksi Prabowo yang terlihat diam, tersenyum dan sesekali menggelengkan kepala, selama mendengar pemberian skor dengan diiringi oleh musik melankolis. Alhasil, banyak warganet yang tersentuh dengan unggahan video tersebut.

Bahkan sejak Senin (8/1/2023), postingan warganet menangis ini terus bertambah, dengan keyword “Netizen Nangis Liat Pak Prabowo Debat” di TikTok. Kini jumlahnya mencapai ratusan, dengan mayoritasnya adalah perempuan dari Gen Z, meski ada beberapa juga berasal dari kaum pria.

Dalam sisi positif, fenomena ini dapat dinilai sebagai bentuk solidaritas khas masyarakat Indonesia, terutama dalam kecenderungan untuk membagi perasaan dan mengungkap suka duka. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, fenomena ini terasa ganjil dan berpotensi untuk disalahgunakan. Albertus Prestianta, pegiat dan pemerhati media, menilai bahwa fenomena tersebut sangatlah rawan untuk dipolitisasi (CNBC Indonesia, 10/1/2023).

Keganjilan makin terasa, karena fenomena ini belum pernah terjadi dalam acara debat sebelumnya. Misalnya dalam debat perdana cawapres 2024, saat Gibran Rakabuming Raka mempermalukan Cak Imin secara eksplisit dengan pertanyaan SGIE (State of the Global Islamic Economic), sekaligus menyudutkan Mahfud MD dengan pertanyaan Carbon Capture and Storage

Walhasil, tidak sedikit dari kalangan publik yang menaruh curiga bahwa fenomena ini sudah dirancang secara terstruktur, sehingga identik dengan skenario drama playing victim. Dengan harapan, dapat menarik simpati masyarakat secara luas.

Secara umum, playing victim adalah sebuah perilaku seseorang yang sering melemparkan kesalahan pada orang lain. Pelemparan kesalahan ini biasanya dilakukan untuk menutupi kekurangan, bahkan kesalahan yang berasal dari diri sendiri (voi.id, 13/12/2022).

Dikutip dari laman Healthline, pelaku playing victim biasanya akan menempatkan diri sebagai korban, sedangkan orang lain yang ia tunjuk atau sebut dinilai mutlak sebagai pelaku. Kondisi ini biasanya terjadi dalam berbagai aspek, namun umumnya dilakukan di lingkup sosial.

Pada kasus ini, Prabowo seolah-olah ditempatkan sebagai pihak yang diserang, dikeroyok dan ditindas oleh para lawan debatnya. Kemudian, ditambah dengan narasi bahwa ia diserang secara personal, sehingga membuat warganet semakin menaruh rasa simpati kepadanya dan menimbulkan sentimen negatif terhadap paslon lain.

Padahal, kebenaran atas narasi tersebut patut dipertanyakan. Menurut pengamat pakar hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riswanto, tidak ada saling menyerang secara personal dan semua yang disampaikan para kandidat masih dalam koridor yang wajar (Detik Jateng, 8/1/2023). Ia juga menambahkan, bahwa sebetulnya hal tersebut bisa menjadi kesempatan emas bagi Prabowo untuk meyakinkan publik dengan menepis isu-isu negatif di Kementerian Pertahanan.

Prabowo bisa saja menjawab bahwa kepemilikan lahan seluas 340.000 hektar adalah HGU (Hak Guna Usaha), demi usaha membantu perekonomian atau pertahanan negara, sehingga dapat dikembalikan ke negara jika dibutuhkan (Kompas.com, 10/1/2023). Ia juga bisa menepis data penurunan Global Military Index yang bersumber dari Bonn International Center for Conflict Studies (CNN Indonesia, 8/1/2023), dengan data tandingan dari lembaga lain. Ia bahkan bisa menjawab, bahwa capaian Minimum Essential Forces (MEF) hanya 65,49 persen dari target 79 persen (Kompas.com, 7/1/2023), sebagai capaian tertinggi daripada pendahulunya atau memberi solusi untuk meningkatkannya.

Akan tetapi, kembali mengutip pernyataan Agus, bahwa Prabowo tidak mampu menyampaikannya secara terbuka dan meyakinkan di dalam acara debat tersebut. Walhasil, tidak mengherankan jika banyak pihak yang menyimpulkan, bahwa sebenarnya ia tidak paham dengan tugasnya di Kementerian Pertahanan.

Prabowo hanya berdalih dengan masalah waktu yang singkat dan berlindung di balik kata “rahasia negara”. Padahal, ia sudah empat kali ikut pemilu, jadi sudah seharusnya ia memahami betul cara menyampaikan gagasan secara singkat dalam acara debat. Selain itu, ia seharusnya juga bisa memisahkan antara data rahasia negara dengan data yang bisa diungkap ke publik.

Dilansir dari Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 17 huruf c, bahwa informasi yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara merupakan hal yang dikecualikan untuk diungkap ke publik (Detik News, 9/1/2023). Informasi tersebut meliputi infrastruktur pertahanan pada tempat kerawanan, sistem intelijen negara, perencanaan operasi militer, hingga sistem persenjataan pada spesifikasi teknis operasional alat persenjataan militer hingga purwarupa persenjataan militer.

Kemudian, pemberian skor sebagai indikator kualitas kerja kepada Prabowo sebagai menteri pertahanan juga merupakan hal yang wajar. Karena kita sebagai rakyat harus tahu seberapa besar kinerja Prabowo  sejauh ini. Jika skor masih rendah, maka bisa menjadi bahan evaluasi untuk dibenahi agar menjadi lebih baik. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari kita juga mengalami hal serupa. Misalnya, pemberian rating atau review terhadap kurir paket, makanan dan jasa transportasi online.

Debat capres kedua beberapa waktu lalu memang penuh dengan drama. Baik itu konflik tak sehat antar paslon maupun fenomena menangis massal di media sosial. Namun, perihal yang menjadi catatan utama adalah tidak ada serangan personal atau upaya membuka data rahasia negara, seperti yang telah dinarasikan sebelumnya.

Anies terlalu sibuk menyerang Prabowo, sehingga kurang fokus dalam menyampaikan gagasannya. Lalu, Prabowo tampak tidak menguasai topik debat. Sedangkan Ganjar berhasil tampil baik dengan gagasannya, salah satunya adalah mengutarakan ide untuk meningkatkan cyber security. Sayangnya, publik sudah terfokus pada drama pertikaian, sehingga gagasan yang disampaikan kurang mendapat perhatian khusus.

Sedangkan alasan dari waktu yang singkat dan “rahasia negara” adalah cara untuk menutupi kekurangan Prabowo selama menjabat Kementerian Pertahanan. Didukung dengan munculnya fenomena warganet menangis massal di media sosial, dugaan publik tentang adanya upaya untuk menjatuhkan paslon lain demi menutupi kekurangannya selama debat semakin kuat.

Dalam dunia politik, banyak cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan, termasuk playing victim. Langkah tersebut terbukti efektif untuk mencapai tujuan politik. Didukung dengan tingginya sentimen emosional dan minimnya edukasi politik dari masyarakat Indonesia, semakin membuat strategi tersebut jadi ampuh sekaligus meresahkan. Singkat kata, menghalalkan segala cara merupakan hal yang lumrah dalam lingkup ini.

Sebab, sebagian dari masyarakat masih memilih berdasarkan perasaan semata dibanding pemikiran logis. Jika hati sudah tersentuh, maka mereka akan menanggalkan segala bentuk dari akal sehat, meskipun mereka berasal dari golongan terpelajar. Apabila hal ini dibiarkan berlanjut, maka pemenang pemilu nanti bukanlah mereka yang berkualitas, tetapi mereka yang hanya “jago” bersandiwara.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Elnado Legowo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Mencegah Para Kurawa Berkuasa

Kamis, 11 Januari 2024 15:46 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Pilihan Editor

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua