Politik Dinasti
Minggu, 1 September 2019 13:28 WIBTulisan ini memfokuskan kajian pada politik dinasti yang banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. mulai dari fenomena yang kemudian melihat dampak yang terjadi setelah politik dinasti ini berlangsung.
Dua tahun belakangan ini, Indonesia tengah disibukan oleh sebuah kontestasi besar yang bernama pemilihan umum. Pemilu, biasa orang menyingkat pesta demokrasi tersebut, adalah hal yang lumrah dilaksanakan bagi negara yang menggunakan sistem demokrasi. Pemilu juga merupakan salah satu tolok ukur dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Selain itu, pemilu merupakan salah satu sarana, dan mungkin yang paling utama, untuk menegakkan tatanan demokrasi. Kemudian berfungsi juga sebagai alat penyehat serta penyempurna demokrasi, bukan menjadi tujuan dari demokrasi. Bahkan dikebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap lambang.
Negara Indonesia sudah menerapkan sistem demokrasi dan melaksanakan pemilu sejak tahun 1955. Meskipun sempat mengalami perubahan, dari sistem pemilu langsung menjadi keterwakilan, namun Indonesia tetap menggunakannya. Namun alih-alih digunakan untuk menegakkan tatanan demokrasi yang berkedaulatan rakyat dan alat penyehat serta penyempurna demokrasi, justru terjadi sebaliknya. Pemilu digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan untuk sebagian orang, baik di tingkat kabupaten/kota maupun nasional, sehingga membentuk penguasa politik di berbagai tempat.
Politik dinasti, begitu biasa orang menyebutnya, merupakan salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh negara-negara demokrasi. Lebih jauh, Abdul Hamid (2006) mengatakan bahwa politik dinasti di Indonesia sudah sampai pada tingkat daerah, sehingga membentuk yang disebut oleh mereka dengan sebutan bos lokal. Kemudian membentuk apa yang disebut oleh Syarif Hidayat (2009) dengan shadow state yang berfungsi untuk mengatur siapa saja yang akan mengisi jabatan di kelembagaan daerah.
Politik kekerabatan sebenarnya sudah muncul sejak lama, awal gejala politik tersebut, sudah ada ketika gejala patrimonialistik. Dalam sistem patrimonial, sistem yang digunakan adalah regenerasi politik berdasarkan pada ikatan genealogis, ketimbang yang lainnya, daripada menimbang sebuah prestasi. Di era saat ini, sistem tersebut memang nampak tidak digunakan lagi, namun sistem tersebut bertranformasi menyesuaikan dengan sistem demokrasi. Jika dahulu, pewaris kekuasan (kepemimpinan) menggunakan sistem tunjuk, maka saat ini sistem yang digunakan melalui sistem politik prosedural. Sanak saudara dimasukkan terlebih dahulu melalui partai politik, baru kemudian dicalonkan melalui mekanisme yang digunakan oleh masing-masing partai. Jadi seolah-olah sistem patrimonial atau politik dinasti ini seperti tidak digunakan, namun sesungguhnya tetap berjalan dengan menggunakan cara yang berbeda. Dewasa ini, sistem ini disebut dengan neopatrimonialistik
Politik dinasti bisa dikatakan sebagai segelintir orang untuk menghalangi orang lain. Hal ini dikarenakan, jika pada sistem politik demokrasi membuka pintu partipasi masyarakat untuk mencalonkan diri yang lebar, sedangkan pada politik dinasti terjadi sebaliknya. Pada politik dinasti, kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak, atau istri, atau sanak saudara lainnya, dengan cara yang legal. Hal tersebut dilakukan agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.
Pada pemilu tahun 2017, beberapa daerah di Indonesia yang melaksanakan pemilihan kepala daerah. Berdasarkan data pencalonan yang dilansir pada laman KPU terindentifikasi masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Gubernur/Bupati yang masih menjabat. Misalnya Pilkada Kalimantan Barat, terdapat pasangan Calon Gubernur Karolin Margaret Natasa dan Calon Wakil Gubernur Suryatman Gigot. Karolin merupakan anak dari Cornelis M. H., gubernur inkumben yang menjabat selama dua periode, dari tahun 2008 sampai dengan 2018. Di Pilkada Maluku Utara, terdapat dua pasangan calon yang memiliki ikatan kekeluargaan sebagai kakak dan adik, yaitu Calon Gubernur Abdul Ghani Kasuba dan Calon Gubernur Muhammad Kasuba. Keduanya sudah saling berlawanan pada Pilkada yang dilaksanakan kemarin. Selain itu, ada Calon Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalillah yang mendampingi Zulkiflimansyah sebagai Calon Gubernur di Nusa Tenggara Barat. Sitti Rohmi merupakan kakak dari gubernur inkumben Zainul Madjid yang sudah menjabat selama dua periode, yaitu tahun 2008 sampai dengan 2018. Kemudian ada Ichsan Yasin Limpo selaku adik dari Gubernur inkumben Syahrul Yasin Limpo yang mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur di Sulawesi Selatan. Di wilayah lain di Pulau Sulawesi ada Calon Gubernur Asrun di daerah Sulawesi Tenggara. Lingkaran kekeluargaan Asrun saat ini menempati berbagai posisi di Sulawesi Tenggara, anak Asrun, Adriatma Dwi Putra yang menjabat sebagai Wali Kota Kendari, dan Imran, paman Asrun, merupakan Bupati Konawe Selatan.
Tidak jauh berbeda dengan kursi eksekutif, pada tataran pencalonan legislatif pun ternyata terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah dengan penguasa, baik di tingkat nasional maupun lokal. Seperti yang dilansir pada laman tempo.co untuk calon DPR yang masih memiliki hubungan darah dengan tokoh nasional diantaranya, Puan Maharani yang maju di Dapil Jawa Timur. Sudah diketahui oleh masyarakat, bahwa Puan merupakan anak dari Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri. Selain Puan Maharani, ada Puti Guntur Soekarnoputra dan Guruh Soekarnoputra yang masih satu keluarga besar dengan Megawati Soekarnoputri. Itu baru satu contoh yang diberikan oleh saya. Masih ada nama Dave Akbarshah Laksono, anak dari Agung Laksono, kemudian Prananda Surya Paloh, anak dari Surya Paloh, Edhi Baskoro Yudhoyono yang merupakan anak dari Susilo Bambang Yudhoyono, dan Hanafi Rais anak dari Amien Rais.
Sebenarnya masih ada juga beberapa nama calon yang masih berkaitan dengan politik dinasti, namun mereka masih memiliki hubungan darah dengan pemerintah pada tingkat daerah. Misalnya Politik Dinasti Atut di Provinsi Banten yang memajukan beberapa nama sebagai calon anggota legislatif di pemilu legisatif tahun ini. Kemudian ada Dinasti Yasin Limpo di Sulawesi Selatan dan kembali bangkitnya Dinasti Soeharto yang mencoba peruntungan pada kontestasi tahun ini.
Ada satu istilah lagi yang sebenarnya sering disebut, yaitu dinasti politik. Berbeda dengan politik dinasti, dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang dengan menekankan pada sistem monarki, tanpa adanya sistem perekrutan yang biasa dilakukan di sistem demokrasi. Sedangkan politik dinasti bisa “hidup” di iklim politik demokrasi.
Namun baik dinasti politik ataupun politik dinasti, merupakan musuh dalam demokrasi, karena apabila sistem tersebut yang digunakan, maka kekuasaan hanya untuk sebagian orang saja. Praktik politik dinasti tidak sehat bagi demokrasi, karena akan menyebabkan sistem check and balances menjadi lemah. Dampak lain yang muncul apabila sistem politik dinasti ini terus dilaksanakan adalah pertama, sulitnya muncul figur yang memiliki kompetensi dan kemampuan. Sebagai sistem yang mengutamakan kedekatan secara kekeluargaan, maka orang yang akan dipilih untuk maju dalam suatu kontestasi politik adalah kerabat dari lingkarannya. Sehingga akan menutup kemungkinan para calon yang memang memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang lebih baik lagi untuk daerah. Bahkan politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin.
Kedua, meningkatnya kemungkinan untuk korupsi dalam proses perjalanan ketika sudah terpilih. Di beberapa daerah yang sudah melaksanakan sistem politik dinasti, hanya sedikit daerah, atau mungkin tidak ada, yang menunjukkan grafik peningkatan pada Indeks Pembangunan Manusia maupun neraca perekonomiannya. Meskipun ada, angka peningkatan yang dikeluarkan oleh pemerintahan mengalami perbedaan dan juga kekeliruan dalam menganalisisnya. Kekeliruan tersebut menurutnya seperti sengaja dibuat untuk menunjukkan politik dinasti yang diterapkan menunjukkan memiliki kompetensi dalam memimpin daerah.
Ketiga, akan menurunkan partisipasi politik masyarakat pada setiap pemilihan yang akan dilaksanakan. Penurunan partisipasi politik dari tahun ke tahun salah satu faktornya disebabkan kuatnya pengaruh elit politik dinasti di parlemen dan eksekutif. Selain itu, penurunan partisipasi ini boleh kita sebagai bentuk kejenuhan masyarakat pada calon pemimpin yang hanya berkutat pada lingkaran itu-itu saja.
Fenomena ini memang bagi sebagian orang adalah hal yang wajar, karena memang demokrasi tidak mengharamkan hal tersebut. Namun bagi sebagian orang, munculnya fenomena politik dinasti tentu akan mengancam proses transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya memang menuntut konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung. Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai proses penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Unsur-unsur yang terlibat dalam proses konsolidasi demokrasi ini adalah lembaga, baik itu eksekutif maupun legislatif, atau pun partai politik, elit, kelompok-kelompok kepentingan maupun masyarakat. Selain itu, unsur yang terpenting lainnya dalam proses ini adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut nilai-nilai politik yang bisa mendekatkan serta mempertemukan berbagai elemen politik menjadi suatu kekuatan selama masa konsolidasi demokrasi ini.
Meskipun politik dinasti memiliki efek baik, namun dibanyak kondisi, politik dinasti sering kali memberikan dampak buruknya pada pemerintah dan masyarakat. Memang sulit untuk menghentikan proses politik dinasti yang sudah banyak terjadi di Indonesia, namun masih ada cara dengan mengubah peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama peraturan pemilihan umum. Dengan membatasi jumlah sanak saudara yang ada dalam sebuah partai. Menurut penulis, dengan cara tersebut membuat politik dinasti berkurang, meskipun masih sulit untuk menghilangkannya.
Suka dengan pengetahuan baru
0 Pengikut
Politik Dinasti
Minggu, 1 September 2019 13:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler