Ruang Publik, Antara yang Maya dan Nyata

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehadiran media sosial dan terbukanya ruang-ruang pertemuan di dunia maya kian memperluas medan interaksi publik di seluruh belahan dunia. Hal tersebut sekaligus kuasa menjadikan siapapun sebagai warga pergaulan internasional.

Kehadiran media sosial dan terbukanya ruang-ruang pertemuan di dunia maya kian memperluas medan interaksi publik di seluruh belahan dunia. Hal tersebut sekaligus kuasa menjadikan siapapun sebagai warga pergaulan internasional. Cukup duduk di rumah, berbekal jaringan internet modem atau wifi, dalam sepersekian detik seseorang telah dapat bertatap muka dengan orang dari belahan bumi yang lain dengan Skype, atau berbagai status melalui twitter, instagram, serta yang paling terkini path.

Melalui dunia maya, kapan dan di mana saja, seketika itu pula seseorang dapat serta merta “hadir”. Pertemuan nyaris tak lagi dapat dimaknai sebagai sebuah interaksi dan intensitas yang personal, melainkan telah terwakili oleh gadget atau smartphone. Pada saat yang bersamaan kita seolah hadir menyatu dengan dunia, namun bisa jadi juga “hilang” dari kenyataan.

Kerap kali pula, suatu peristiwa kesenian atau situasi sosial tertentu menjadi lebih “happening” di dunia maya, ketimbang kenyataan itu sendiri. Publik seolah terhanyutkan dalam persepsi dan opini karena saking terbukanya ruang demokrasi di dunia maya. Maka seolah-olah, kejadian yang sesungguhnya di dunia nyata nyaris hanya menjadi pemicu atas dialog yang terbangun di dunia maya.

Tetapi sungguhkah masyarakat kita telah kehilangan kepedulian sosial dan kehangatan pertemuan di ruang publik yang nyata ? Sungguhkah kita telah cukup hadir melalui interaksi dunia maya, merasa telah terwakili eksistensinya sebagai pribadi? Bila  semua hal sudah bisa terpuaskan melalui diskusi di dunia maya, masih pentingkan pertemuan di dunia nyata ? Bagaimana nasib ruang publik seperti ruang-ruang kebudayaan, pusat-pusat pertemuan yang bersifat konvensional kemudian ?

Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman, merumuskan ruang publik atau public sphere, sebagai sebuah ruang bertemu untuk berdiskusi, membahas berbagai hal, mulai dari buku, karya seni, hingga problematik sosial dan politik di masyarakat. Keberadaan ruang publik seperti di Inggris dan Perancis telah dimulai sedari abad ke-18, kala itu berupa café-café, warung kopi, bahkan juga salon, di mana pertemuan dan silang gagasan terjalin, melahirkan opini publik dan tak jarang pula diwujudkan melalui gerakan-gerakan sosial.

Pemikiran masyarakat yang kian demokratis dan kritis mendorong pula lahirnya ruang-ruang publik yang dibangun oleh swasta seperti galeri-galeri komunitas, art space, dan rumah budaya, seperti Komunitas Salihara, Bentara Budaya, maupun yang dibentuk oleh pemerintah seperti Art Center, balai budaya atau lembaga-lembaga kebudayaan asing seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), Goethe Institut, Erasmus Huis, dll.

Dengan demikian, peranan ruang publik menjadi kian besar, tak hanya sebagai tempat bertemu dan berdialog, namun juga mewadahi berbagai aktivitas seni budaya atau bentuk-bentuk kreatifitas lainnya. Ruang publik juga turut berperan membangun kesadaran masyakarat melalui berbagai program yang digagasnya.

Pada dekade tertentu,  ruang-ruang kesenian dan kebudayaan seperti TIM  Jakarta atau Art Center di Bali mencapai puncak-puncak eksistensinya sebagai kiblat setiap peristiwa kebudayaan, maupun ruang dialog yang kuasa melahirkan gagasan-gagasan bernas untuk pembangunan publik.

Namun kini, sejalan kehadiran ruang publik di dunia maya serta percepatan perubahan oleh teknologi informatika, maka ruang-ruang publik yang bersifat  konvensional mulai kehilangan pengaruhnya. Sementara sebagaian lain juga terus berbenah untuk mengevaluasi keberadaannya. Bagaimanakah upaya menyelaraskan kehadirannya ruang publik konvensional di tengah  fenomena tersebut ?

Dengan adanya berbagai event seni budaya yang kian bergairah saat ini, juga lahirnya komunitas-komunitas seni di berbagai daerah, menunjukkan bahwa ruang publik di dunia nyata masih dibutuhkan. Masyarakat masih memerlukan ruang bertemu secara langsung dan personal untuk melahirkan gagasan-gagasan visioner ke depan.

Sebagai contoh di Bali, ruang-ruang komunitas lintas bidang kian bermunculan, tak ketinggalan café-café tempat nongkrong anak-anak muda yang juga menjadi center point, dan lembaga-lembaga publik lain yang didedikasikan untuk kesenian serta kebudayaan.

Maka, upaya untuk mempertautkan antara ruang publik konvensional dan ruang publik di dunia maya menjadi penting, di mana kehadiran ruang-ruang dialog di media sosial dapat turut memperkaya wacana dan kemungkinan atas peristiwa seni budaya yang terjadi di ruang nyata. Pengelolaan ruang publik kini tak dapat lagi dilakukan sebagaimana masa-masa sebelum kehadiran internet, melainkan harus diformulasikan dengan kecanggihan teknologi sebagai media komunikasi yang efektif guna meneguhkan eksistensi ruang publik di masyarakat.

 

Ni Wayan Idayati

Komunitas Sahaja, Denpasar

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ni Wayan Idayati

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Ahok dan Reformasi Birokrasi Kita

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Urban

Lihat semua