Saat Kumenipu Diriku Sendiri

Selasa, 16 Januari 2024 12:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selalu terdapat keinginan hati untuk diakui sebagai orang baik. Itulah pergumulan diri di ziarah hidup ini. Tetapi, betulkah kita selalu di lintasan serba meyakinkan?

“Jadilah sangat sibuk mengembangkan dirimu dan jadilah akrab dengan dirimu sendiri, sehingga kamu sedikitpun tak punya waktu dan kesempatan lagi untuk mengkritik hidup orang lain sejadinya...”  (Sang Bijak)




Sebenarnya, sudah terlalu banyak energi batin yang telah terkuras. Sepertinya hampir semuanya tersedot keluar untuk satu pertahanan diri yang sungguh tak cantik. Apa yang disebut godaan tidak selalu berpautan dengan keinginan daging akan yang fana. Jebakan hati tidak selamanya terkonek pada hal-hal yang suram bahkan seram. Tak hanya itu. Lalu?


Tetapi ketahuilah, bahwa sebenarnya terlalu banyak energi yang terbuang-buang hanya untuk deretan keyakinan diri yang palsu serta ilutif bahwa aku kuat, aku hebat, aku serba positif, aku serba benar, aku miliki citra diri yang serba jempolan, aku yang serba sukses dan punya nama, serta sekian banyak predikat mentereng lainnya. Iya, ternyata godaan pun bermain cantik dalam keinginan kuat untuk mentesiskan diri sendiri yang serba OK serta berada di lintasan penuh dengan segala hal yang mesti positif.

Sungguh! Selalu terdapat rumusan keinginan hati untuk terakui demi ternilai baik. Iya, sekurang-kurangnya menjadi pribadi yang baik dan bertarung untuk melakukan yang benar. Dan itulah yang menjadi pergumulan diri di ziarah hidup ini. Tetapi, betul kah kita selalu di lintasan serba meyakinkan?

Bagaimanapun, setiap kita pasti tahu dan kenal diri bahwa ‘ada kuasa dalam diri kita yang bisa menjauhkan kita dari yang baik. Dan di dalam hati kita bisa memupuk keinginan yang destruktif. Itulah sebabnya sudah jadi tak samar bahwa di atas teater kehidupan ini, tampilan diri dan ekspresi tingkah kita acapkali timbul tenggelam antara kebaikan dan kedurjanaan. Silih berganti.

Semestinya kita terenung oleh kata-kata si bijak yang dapat kita tangkap berikut ini: Bukankah setidaknya setiap kita punya dua cerita kehidupan? Ada cerita yang diterawang tak samar oleh mata publik, diketahui oleh keluarga dan para sahabat di satu satu sisi; tapi di sisi lain, ada kisah-kisah batin yang ku tak mau seorang pun tahu. Biarlah kuderita sendiri.



Lukisan itu diperjelas demikian: Bisa saja secara publik kita ternilai berhasil. Atau bahwa kita gencarkan sisi mentereng dan sukses punya kita. Apalagi ketika kita ketagihan dan keenakan dalam membenamkan sesama yang lain, yang dinilai tak hebat dan penuh kekurangannya.


Bagaimanapun, jika mesti jujur pada diri sendiri, sebenarnya, di dalam hati kita terluka. Bisa saja kita terlihat kuat di mata khalayak, tetapi sesungguhnya kita menjerit dan berderai air mata di kesendirian yang paling dalam. Akibatnya, kita, misalnya, terbantai oleh alam tidur malam yang tak pernah pulas.


Semuanya berawal ketika kita telah menipu diri sendiri bahwa kita adalah segalanya dalam kemegahan, dalam kekuatan dan dalam sekian banyak hal serba luar biasa. Tak seperti orang-orang lain. Namun sebenarnya kita tetap bergelora dalam segala kerapuhan dan kelemahan.


Namun, harus kah kita segera menegasikan butiran debu yang masih melekat? Mesti kah kita ratapi semuanya dalam tangis tanpa jedah? Harus kah kita terus berilusi dalam pengandaian penuh seolah-olah, sekiranya dan dalam segala kalau tahu begitu? Bagaimana pun sepantasnya kita tak berilusi lagi dalam segala pengandaian nan kosong. Menghadapi kenyataan tak elok sisi kehidupan sungguh bukanlah perkara gampangan.



Memang terasa sakit dan tak mudah menenun dua sisi diri antara ceriah mentari bersinar dan awan hitam penuh pekat. Namun, hanya dengan cara inilah diyakini satu bahwa transformasi personal bakal muncul bagai pelangi indah cerita kehidupan baru penuh harapan.


Bisa terjadi bahwa geliat menipu diri terlanjurkan kita tebalkan. Atau sebenarnya kita juga tak pernah sadar bahwa kita telah diperdayai oleh ilusi-ilusi hidup penuh jebakannya. Menerima dan mengakui diri yang tak indah memang serasa pahit. Namun, kebesaran jiwa untuk memeluk ‘yang tak indah’ adalah awal berceriah di dalam dada. Penuh kelegahan.


Integrasi dua alur sisi kehidupan kita bakal bermuara pada keutuhan cerita dari ziarah kehidupan kita. Itulah yang diyakini sang bijak, “Kita menjadi dewasa dengan mengintegrasikan sisi terang dan sisi gelap cerita kita.”


Dengan memperjumpakan kedua narasi kehidupan itu, katanya, kita bakal sanggup mengubahnya dalam sudut rasa dan sudut pandang yang baru. Apa-apa yang terlalu kita banggakan dan andalkan sebagai kekuatan dan kebesaran dari diri dan hikayat hidup kita sebenarnya justru adalah kerapuhan dan kelemahan yang terbaca nyata. Sebaliknya, segala cerita ketakutan, tanpa daya, kelemahan serta ketidakhebatan bisa menjadi awal sebuah harapan baru.


Kata sang Bijak pula, “Di mana pun kita berada, bagaimanapun bingung dan berantakannya diri kita, di situlah titik tolak kita untuk melakukan perjalanan pulang.” Iya, pertama-tama bahwa kita berani pulang kepada diri sendiri. Sebab, telah banyak kali kita menipu dan mengakalinya dalam serba ilusi seolah-olahnya.’

Iya, kita memang harus pulang ke diri kita sendiri sebagaimana adanya kita dan apa adanya. Sebab ke manapun aku pergi bayang-bayangMu mengejar. Bersembunyi di mana pun slalu Engkau temukan......


Kita memang mesti bersahabat dengan diri sendiri. Dalam ketulusan dan keakraban. Dan?

Tidak kah kita bakal meraih fajar mentari, sekiranya kita berani dan tulus menerima perjalanan malam? (cf Kahlil Gibran).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua