Renungan tentang Cinta dan Kehilangan
Senin, 4 Desember 2023 12:12 WIBApakah pengalaman jatuh cinta dan mencintai yang teralami selama ini mengajarkan tentang apa itu cinta? Mungkin pengertian tentang ini tidak terlalu penting jika kita memiliki seseorang yang dicintai.
Mungkin apa yang tertulis di sini akan tersimpan dalam pikiran saya andai saja saya tak tersentuh tulisan salah seorang anak binaan. Dia merupakan peserta baru di kelas menulis yang membagikan karya tulisnya selama masa pembinaan dalam wisma. Dia menulis tentang keresahannya, cinta yang ingin diungkapkan tetapi tak ada jalan.
Saya seperti melihat diri sendiri dalam tulisannya hingga saya perlu berhenti mengetik, berbaring, akhirnya tertidur. Sebetulnya, bukan karena saya jadi teringat pengalaman masa lalu dengan segala kegalauannya, tetapi lebih karena antara percaya atau tidak bahwa ternyata ada seseorang dengan segala perbedaan yang melatarbelakanginya dapat menyadari konsepsi serupa tentang perasaan satu ini. Meskipun Si Penulis bisa saja tidak menyadari sepenuhnya.
Sebagai renungan bersama, apakah pengalaman jatuh cinta dan mencintai yang teralami selama ini telah mengajarkan tentang apa itu cinta? Mungkin pengertian tentang ini tidak terlalu penting jika kita memiliki seseorang yang dicintai. Pengalaman itu sendiri yang membuatnya terasa nyata dan konkrit. Hanya saja, mengapa menjadi sedemikian klise sebagaimana yang dinyanyikan dalam lagu-lagu yang tak terhitung jumlahnya? Di satu sisi, kita seakan sangat mengetahui tentang hal ini sampai anak kecil pun bisa mengekspresikannya, tetapi di sisi lain betapa membingungkannya hingga suatu negara saja bisa dibuat krisis jika sulit didapatkan dalam kehidupan.
Beberapa bahasa hanya memiliki satu kata untuk perasaan ini, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa lain, contohnya bahasa Arab dan dalam tradisi Sufisme, memiliki beragam kosakata untuk cinta seperti ‘ishq’, ‘mahabba’, ‘hubb’, ‘wudd’, dan ‘mawadda’. Dalam pemikiran Yunani Kuno, kita juga akan belajar bahwa cinta dikategorikan dalam beberapa istilah seperti ‘eros’, ‘agape’, dan ‘philia’. Ketika bahasa menstrukturkan pemahaman kita tentang dunia, pengalaman mengajarkan tentang kenyataan atas apa yang kita pahami. Selama seseorang mampu mempertanyakan, menemukan hubungan antara sesuatunya, dan menyadari perubahaan sudut pandang seakan segalanya terjadi untuk pertama kalinya.
Tahun 2019 lalu, saya menulis sebuah puisi yang diberi judul Efifani Metropolis. Sebuah karya yang tidak bisa saya buat ulang bukan karena tekniknya, tetapi karena kedalaman perasaan yang melahirkannya. Saya sadar bahwa nafas dari puisi ini adalah dorongan untuk menahan dari ‘kejatuhan’ dalam peristiwa jatuh cinta. Menjadi terasing di tengah keruntuhan batas antara yang sakral dengan yang profan. Sesuatu yang menggemakan kehilangan demi kehilangan - potret penderitaan manusia modern.
Embrio pemahaman tersebut kemudian berkembang menjadi intuisi yang setidaknya saya sadari di tahun 2022. Barangkali secara intuitif saya memahaminya setelah berulangkali menjadi ‘konselor’ bagi orang-orang yang patah hati. Ada yang beberapa kali menjalin hubungan, tetapi enggan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan karena tak ingin mengorbankan hobinya. Ada juga yang terobsesi dengan seorang perempuan dan hanya menginginkan pembenaran atas obsesinya - apapun pertanyaan yang diajukannya, tidak akan menghasilkan jawaban yang memuaskan. Ada pula yang menjalin hubungan panjang, merencanakan masa depan, tetapi terjebak dalam konflik yang itu-itu juga. Ada pula yang dibuat bingung, tidak sadar telah menebar benih perasaan dan menghindari konsekuensinya demi mengejar idealisme yang sudah terlambat. Ada juga yang rajin mencari pasangan, tetapi tidak benar-benar tahu apa yang dicarinya, dan mungkin saja sesungguhnya dia ingin perempuan yang jadi pelampiasan atas kekecewaan yang tak berujung, singkatnya seorang pasangan untuk disalahkan dan ditinggalkan.
Jadi, apa yang disampaikan intuisi saya dari berbagai pengalaman mereka yang disintesiskan dengan pengalaman saya sendiri? Jangan-jangan, cinta memperoleh keutamaan sekaligus nilai positifnya bukan dari penyatuan antara dua insan dalam suatu komitmen, melainkan dalam aspek negatifnya, yaitu ‘kehilangan’. Kehilangan yang dialami karena kita terjatuh, di mana kita kehilangan nafsu makan saat kasmaran, kehilangan kesadaran untuk menjaga imej diri, kehilangan perhatian terhadap hal-hal lain selain sosok yang dicintainya. Sehingga penyatuan tidak terjadi pada fase kejatuhan ini. Apa yang tercapai dalam fase ini adalah kesadaran bahwa fananya pengalaman sepanjang hidup begitu mengalami kehilangan semacam ini sedang berlangsung. Kehilangan menjadi jalan menuju yang absolut.
Setelah menyadari hal ini, saya menerima kesementaraan perasaan cinta dan menyikapi bahwa melalui kehilangan kita bisa mulai melepas. Lantaran sejak semula tak ada diri yang menyimpan atau menanggungnya. Namun, justru muncul kehadiran bahwa di luar diri terdapat suatu momen yang seakan-akan telah dinanti-nanti selama ini. Sesuatu yang kemudian kita ekspresikan secara hiperbolik sebagai ‘yang satu-satunya’ (the only one), atau mungkin sebagai hal yang sejati dan final (true love).
Sesuatu yang tidak dijumpai dari orang-orang yang mengilhami saya ketika sedang menjadi konselor dadakan bagi mereka. Apa sebabnya? Jangan-jangan karena pengalaman jatuh-kedalam-kehilangan tersebut, kehilangan justru dialami sebagai penyangkalan. Tak diragukan lagi bahwa mereka ingin mencintai dan menderita untuk itu, tetapi ada kegagalan untuk bisa saling memahami dan menerima yang ditandai dengan tidak adanya kehilangan ekspektasi. Hal ini, alih-alih menyingkapkan mengapa harus berekspektasi dan siapa sosok nyata dibalik konstruksi ekspektasi tersebut, justru memunculkan beragam tuntutan yang membuat kebersamaan menjadi rumit dan sulit. Kita malah memberhalakan pasangan yang ideal, membuat ritus pemujaan, dan memberi persembahan yang berlebihan (bahkan dalam perasaan terpaksa).
Tidak berarti bahwa jika terjadi jatuh-kedalam-kehilangan, maka cinta akan terbebas dari segala bentuk penderitaan. Derita itu tetap ada, sebab di sini kita menghadapi ketidakpastian dengan segala kecemasan yang membawa kita pada penyingkapan yang lebih dalam. Setidaknya, kita tidak menanggung derita atas janji. Bukan berarti tidak perlu mengikat janji sama sekali, melainkan karena janji tidak memiliki perwujudan yang konkrit. Janji selalu meminjam sesuatu yang lain untuk menunjukkan keberadaannya, apapun yang kita sebut sebagai ‘jaminan’ ditambah masa depan baik yang ditentukan atau tidak ditentukan. Mengapa janji ini memberikan penderitaan? Mari kita renungkan apakah yang tersisa setelah kesementaraan ini berlalu? Setelah hal-hal yang sempat hilang kembali dipulihkan sehingga lebih banyak perbedaan yang disadari daripada kesamaan di antara kita dan pasangan. Janji menjadi kerugian yang perlu ditanggung sementara waktu, dia kehilangan aspek sakralnya dan berganti menjadi sesuatu yang mengizinkan profanitas, pelanggaran, transgresi, dan dosa. Secara sederhana, janji terlepas dari kesucian asalinya dan menjadi alat untuk mengeksplotasi nafsu.
Pada bagian terakhir tadi, kehilangan dapat dibedakan dari perampasan. Kehilangan semestinya dialami oleh kedua pihak, sehingga masing-masingnya seakan dipertemukan kembali dalam satu ruang-waktu yang hanya ada untuk momen kehilangan tersebut. Inilah yang absolut, mutlak tetapi membebaskan. Sesuatu yang sekurang-kurangnya saya pelajari dari Martin Buber sebagai hubungan Ich und Du (aku-engkau). Atau lebih dalam lagi, kita sudah tidak menyadari lagi cinta karena kita sudah berada di dalamnya, sebagaimana yang digambarkan dengan indah dalam salah satu sajak Jalaluddin Rumi tentang pencarian ilahi, “Aku telah mengetuk dari dalam.” Sedangkan perampasan dalam hal ini merupakan tindakan yang menihilkan dan mencederai. Tindakan yang membuat sesuatunya selalu menjadi berkurang hingga akhirnya pihak yang dirugikan menjadi bergantung tanpa bisa melawan.
Di atas segalanya, cinta dan kematian dalam titik tolak kehilangan menjadi sesuatu yang identik. Pertama, dalam arti bahwa keduanya hanya bisa dialami dari sudut pandang orang pertama, alih-alih disaksikan dari aktor lain. Kedua, dihadapan kehilangan, tersingkap sisi sejati dari diri kita. Apakah kita mampu tegar dan sukarela dalam menghadapi kepergian, penolakan, dan saat untuk melepas? Terakhir, sejauh apa kesungguh-sungguhan kita dalam menghadapi perjumpaan dengan momen kehilangan ini. Baik jatuh cinta ataupun kematian, keduanya merupakan peristiwa eksistensial yang membuat kita sepenuhnya terserap pada kesadaran tentang ketidakpastian dan membuat keputusan yang berpijak pada ketiadaan. Bukankah kita akan jadi sungguh-sungguh menyerahkan diri dan percaya jika mampu mengambil keputusannya?
Sebagai penutup, saya sempat menyinggung tentang penyingkapan yang lebih dalam di balik perasaan cemas dan ketidakpastian yang melatarinya. Sulit untuk dijelaskan tetapi saya menemukan puisi yang mengilustrasikannya. Sebuah puisi yang ditulis oleh Izumi Shikibu, seorang penyair perempuan Jepang yang hidup antara tahun 974-1033 pada masa pertengahan Heian.
As I dig for wild orchids
in the autumn fields,
it is the deeply-bedded root
that I desire,
not the flower.
Ketika musim gugur membuat bunga dan daun layu, panen telah dikumpulkan, dan udara dingin pun datang, beberapa anggrek justru berbunga kembali. Ketika kita bisa melepas ketertarikan pada penampilan yang sementara, sepanjang perasaan kasmaran tepatnya, maka kita akan menyadari apa yang sungguh-sungguh kita inginkan. Dalam tafsiran saya pribadi, tidak hanya akar saja yang dihasratkan, tetapi keberakaran yang dengannya kita merengkuh perasaan mendalam, menuju inti, dan akhirnya memancarkan rahasia terdalam itu dalam mekarnya bunga. Kehilangan mencerabut, mendekatkan maut, tetapi pada saat yang sama memberi kemungkinan pada kelahiran kembali.
Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: [email protected]
0 Pengikut
Kiat Membaca Textbook tanpa Ngebul
Selasa, 16 Januari 2024 12:21 WIBRenungan tentang Cinta dan Kehilangan
Senin, 4 Desember 2023 12:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler