Kolonisasi Pembangunan Energi Baru Terbarukan di Pulau Flores
Kamis, 25 Mei 2023 12:22 WIBTulisan ini dibagikan dalam beberapa hal; Pertama membentangkan konsep-konsep mengenai kolonialisme secara umum; Kedua, mengeksplanasikan fakta dan data tentang kolonisasi pembangunan geothermal di Flores; Ketiga, menjelaskan bahwa pembangunan geothermal di beberapa titik di Flores telah mengabaikan kehidupan warga Flores sendiri; Keempat, mengajukan suatu gugatan konseptual tentang dekolonisasi pengetahuan pembangunan geothermal di Flores.
Tulisan ini memeriksa ihwal getolnya wacana pembangunan geothermal dengan slogal energi baru terbarukan/renewable energy di Flores. Dalam pelacakan kami, rupanya penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi/The Geothermal Island melalui Surat Keputusan (SK) Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 dari Kementrian ESDM sebagai bentuk wujud total nalar kolonialisme dari negara dan sektor swasta.
Untuk menemukan nalar kolonialisme tersebut, maka tulisan ini dibagikan dalam beberapa hal; Pertama membentangkan konsep-konsep mengenai kolonialisme secara umum; Kedua, mengeksplanasikan fakta dan data tentang kolonisasi pembangunan geothermal di Flores; Ketiga, menjelaskan bahwa pembangunan geothermal di beberapa titik di Flores telah mengabaikan kehidupan warga Flores sendiri; Keempat, mengajukan suatu gugatan konseptual tentang dekolonisasi pengetahuan pembangunan geothermal di Flores.
Konstruksi Konsep Kolonialisme
Dalam konteks defenisi sederhana maka kolonialisme sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat – lanskap demikian terus berulang dan tersebar luas dalam sejarah umat manusia.[1] Kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta benda, dan kekayaan dari negara-negara taklukkannya – tetapi juga mengubah struktur perekonomian bahkan menarik masyarakat ke dalam hubungan yang kompleks dengan negara-negara induk. Ke arah manapun manusia dan material itu mengalir, keuntungan-keuntungannya, selalu mengalir kembali ke “negara induk.”[2]
Untuk mengkontekstualisasikan konsep kolonialisme modern, maka kami memetakan dalam beberapa aspek. Pertama kolonialisme modern bekerja dalam bentuk pengetahuan,[3] dimana negara sebagai sistem untuk menjalankan agenda pengetahuan tersebut. Kedua kolonialisme juga bekerja dengan adanya dominasi pemodal di belakang negara dalam menjalankan agenda pembangunan. Ketiga, negara dalam moment tertentu cendrung represif menggunakan aparat bilamana warga melakukan perlawanan terhadap agenda pembangunan itu sendiri.
Pertama, pemeriksaan kolonialisme dari konteks pengetahuan mengenai wacana energi baru terbarukan bisa dijajaki dengan pendekatan Foucauldian.[4] Ada ilustrasi yang menarik dari Foucault sebagai bentuk abstraksi dari kolonialisme yakni “sebuah pohon yang bengkok diikat pada tiang lurus untuk tujuan meluruskan apa yang bengkok pada pohon tersebut atau sering disebut sebagai othopedi.” Logika orthopedi inilah yang disebut Foucault sebagai disiplin, yakni metode kontrol atas fungsi tubuh yang dipertahankan demi kepatuhan (docility) dan kegunaan (utility). Foucault[5] menempatkan pengetahuan sebagai sumber produksi kebenaran. Melalui negara dan institusi sosial lainya pengetahuan itu bekerja dan memperoleh kebenaran. Kekuatan inilah yang menjelaskan mengapa negara melalui aparatusnya memiliki legitimasi. Karena publik memandang, apapun yang dibicarakan oleh aparatus negara adalah benar. Begitu juga dengan institusi sosial seperti agama, dll.
Kedua, kolonialisme dalam aspek ekonomi yakni adanya dominasi pemodal dalam pembangunan geothermal di Flores. Biasanya mereka menjanjikan seperti adanya serapan tenaga kerja, kemajuan, dan kesejahteraan pada masyarakat.[6] Para pemodal secara sadar mengeluarkan statement tersebut. Sebab konstruksi pemikiran sebagian orang Flores, bahwa kerja di perusahan itu adalah pekerjaan. Padahal kampanye demikian dari pemodal dilaksanakan dalam bentuk akumulasi melalui perampasan.[7] Dalam arti asset-aset warga dijauhkan dari kehidupan warga demi memuluskan agenda pemodal itu sendiri. Dan serapan tenaga kerja tidak sesuai dengan janji awalnya.[8]
Ketiga, kolonialsime dalam aspek represif pada masyarakat. Sudah menjadi jamak di Indonesia bahwa ketika negara mengalami apa penolakan dari warga terhadap agenda pembangunan. Maka negara selalu melakukan represifitas pada masyarakat. Mulai dari pemukulan sampai pada memenjarakan warga. Eksesnya adalah warga memandang aparat dalam dimensi (takut)/atau sebagai subjek yang ditakuti. Ekses sosiologisnya jelas, dalam moment tertentu negara selalu menjadikan institusi apparat ini sebagai panopticon.[9] Merekalah yang memantau kerja sosial yang membuat tubuh sosial akhirnya patuh pada kekuasaan dan agendanya.
Kolonialisme Pembangunan Geothermal
Sejak ditetapkan sebagai pulau panas bumi terdapat beberapa titik yang dijadikan target yakni, Wae Sano, Ulumbu (Poco Leok), Wae Pesi, Goa Inelika, Mengruda, Mataloko, Komandaru, Ndetusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma – Ujelewung dan Oyang Barang.[10]. Di bagian Flores Barat seperti di Wae Sano dan Poco Leok, rencana pembangunan penambangan panas bumi ini melahirkan resistensi yang masif. Pasalnya yang dilakukan oleh negara dan perusahan melalui kekuasaan dan pengetahuannya telah mengabaikan percakapan demokratis antara warga dan negara.[11]
Resistensi dari warga ini ternyata sebuah pijakan dalam menelanjangi kekuasaan untuk menampilkan wajah kolonialisme sesungguhnya. Seperti beberapa warsa lalu, mengenai penolakan warga Wae Sano tentang pembangunan panas bumi, Pemerintah melalui Camat Sano Nggoang di Sano Nggoang menjelaskan kepada warga bahwa “Siapa yang melawan Pemerintah sama dengan melawan Tuhan.” Selang beberapa tahun kemudian Uskup Ruteng, tiba-tiba membuat surat Nota Kesepahaman (Memorandum of Undestanding, MoU) dengan Pemerintah Pusat, dimana poin akhir dari MoU tersebut Uskup menyatakan agar proyek tersebut segera ditindaklanjuti.[12]
Baik negara maupun Gereja dalam mengkampanyekan pembangunan geothermal di Wae Sano sebenarnya sebagai wujud total dari nalar kolonialisme. Dalam studi Djalong[13] dengan pendekatan Foucauldian menjelaskan bahwa entitas pemerintah dan agama di Manggarai sebagai pemegang domain kebenaran. Dan ini merupakan produksi dari kerja pengetahuan dan kekuasaan yang membentuk cara berpikir masyarakat, gereja dan pemerintah di manggarai.
Begitu juga di Manggarai saat Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit mengunjungi kampung Poco Leok untuk urusan geothermal. Dimana saat itu warga Poco Leok menolak kehadirannya untuk urusan geothermal.[14] Bupati mengatakan “Bupati aku ho, Bupati aku ho, Bupati aku ho (saya ini bupati, saya ini bupati, saya ini bupati). Apa yang diucapkan oleh Bupati merupakan bentuk penegasan bahwa bupati harus dihormati dan didengar oleh semua masyarakat. Hal ini dipertegas oleh risetnya Mirabeth Erb bahwa paska reformasi Bupati di Manggarai membaptis dirinya sebagai Landuk.[15] Dalam arti pemegang kekuasaan dari seluruh entitas, baik sebagai warga juga sebagai adat. Jadi untuk itu harus dihormati.
Dalam dimensi kolonialisme dari pemodal dan negara, maka kehadiran pemodal selama ini selalu dibingkaikan sebagai sumber dan pusat pembawa kebaikan. Di awal-awal pembangunan Pembangkitan Listrik Tenaga Penguapan (PLTP) Ulumbu, bahwa negara dan perusahan mengatakan kepada masyarakat sekitar bahwa ini untuk tujuan Ba Gerak (Bawa Terang).[16] Pembawa terang bukan dalam arti adanya aliran listrik, melainkan terang kehidupan. Dan setelah berjalan hingga kini, kata pembawa terang itu sebenarnya jauh panggang dari api, jalan akses ke Ulumbu dari Ponggeok rusak tak dipedulikan begitu juga dengan senk warga Damu di dekat PLTP Ulumbu.
Begitu juga dengan keterlibatan apparat keamanan dalam pembangunan penambangan panas bumi. Sekalipun bahasanya demi menjaga keamanan dari pemerintah dan sektor swasta untuk melakukan survey lokasi. Namun sesungguhnya ini mempertegas bahwa pemerintah dan sektor swasta tidak membuka ruang untuk melakukan percakapan yang egaliter dengan warga. Kehadiran pihak keamanan sebagai upaya kekuasaan dan sektor swasta dalam membangun batas sekaligus memproteksi diri dari protes warga. Padahal kenyataanya protes penolakan warga tidak untuk kekerasan melainkan suatu artikulasi politik.
Pengabaian Hak Kehidupan Warga
Jika dibedah lebih dalam, maka penetapan Flores sebagai pulau panas bumi dari negara selain menjalankan nalar kolonialisme. Pada sisi yang lain negara mengabaikan apa yang dinamakan penderitaan warga di lingkar penambangan panas bumi. Sebagai bukti konkrit di Mataloko paska pengeboran PLTP, maka lahan-lahan warga semakin hancur karena sumburan sumur tumbuh dimana-mana dan akhirnya PLTP Mataloko dikategorikan operasinya gagal.[17] Begitu juga di Ulumbu berdasarkan tuturan beberapa warga Damu, maka paska pengeboaran PLTP Ulumbu, terdapat perubahan seperti senk rumah cepat karat, terjadinya penurunan tanah. Sekalipun mereka mengatakan kami tidak mau menuduh, tetapi soal bencana lingkungan dalam kehidupan sekitar PLTP harusnya dipertanggungjawab oleh negara dan perusahan sendiri.
Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi disertai dengan adanya target pembangunan dan pengembangan di beberapa titik di Flores untuk dibangunkan PLTP sebenarnya bermasalah. Karena telah mengabaikan kenyataan lapangan di tapak eksisting PLTP yang sudah beroperasi namun mengalami persoalan atau dibahasakan sebagai pengabaian hak warga. Efeknya jelas terlihat warga dihadapkan suatu kesulitan seperti di Mataloko susah untuk memaksimalkan fungsi lahan karena sumburan lumpur tumbuh di dekat lahan mereka. Di Damu warga dipaksa oleh keadaan untuk beralih dari senk biasa ke senk aluminium dengan harga dua kali lipat.
Dengan demikian, sejak dari dalam pikiran negara dan perusahan hari ini sedang menjalankan misi kolonialisme dalam pembangunan PLTP di Flores. Bamper melalui pengetahuan yang mengabaikan percakapan demokratis diantara warga dan negara, menjalankan kepentingan ekonomi kapitalis serta mengabaikan faktum persoalan di lingkar tapak PLTP yang eksis merupakan keborolan dan mental obsesif dalam menjalankan pembangunan PLTP di Flores.
Perlawanan Dekolonisasi Pengetahuan
Melawan agenda negara dan sektor swasta yang kolonialisme tidak bisa dilawan dengan sebatas profokasi kesadaran warga di tapak eksploitasi panas bumi. Maka dari itu penting membangun suatu wacana dekolonisasi pengetahuan. Untuk itu beberapa hal yang harus dilakukan ke depannya yakni. Pertama, aktivis pejuang lingkungan hidup dan kemanusiaan harus memiliki perangkat pengetahuan yang metodologis untuk mendekonstruksi konsep pembangunan geothermal dari negara dan perusahan. Kedua, menyederhanakan aplikasi pengetahuan tersebut untuk dishare ke masyarakat sebagai dialektika, bagaimana masyarakat untuk mendapat pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran. Ketiga, mempertemukan setiap tapak bukan sebagai agenda membagi keresahan dan menyusun kerangka perjuangan semata. Melainkan sebagai agenda percakapan pengetahuan untuk mengkounter narasi dari negara dan perusahan.
Penulis: Gheril Ngalong dan Ernest L. Teredi
[1] Ania Lomba. Kolonialisme/Pascakolonialisme (terjemahan). Benteng Budaya. 2003.
[2] Ibid
[3] Edward, 1996. Orientalisme, cetakan ketiga (terj. A. Hikmat). Bandung: Pustaka.
[4] Michel Foucault. 1973. “The Birth of The Clinic: An Archaeolog y of Medical Perception.” Tavistok Publications. London
[5] Foucault, Michel, Archaeology of Knowledge. London and New York: Routledge, 2002.
[6] Biro Penelitian, Rumah Baca Aksara. 2023. Wajah Industri Ekstraktif Flores dalam Ekonomi Politik Ruang Kapitalisme. https://islambergerak.com/2023/05/wajah-industri-ekstraktif-flores-dalam-ekonomi-politik-ruang-kapitalisme/
[7] Harvey, David. 2003. The New Imperialism. New York: Oxford University Press.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). 2017. Penetapan Pulau Flores Sebagai Pulau Panas Bumi. https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/07/04/1697/penetapan.pulau.flores.sebagai.pulau.panas.bumi
[11] Ernest L. Teredi. 2021. Rencana Pengeboran Geothermal di Poco Leok dan Pengabaian Warga. https://www.mongabay.co.id/2021/06/09/rencana-pengeboran-geothermal-di-poco-leok-dan-pengabaian-warga/
[12] https://floresa.co/2021/06/09/surat-uskup-ruteng-terkait-geothermal-picu-protes-warga-wae-sano/
[13] Djalong Frans, 2011. Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai. Tesis, Universitas Gaja Mada, 2011,
[14] Yohanes Manasye. 2023. Tegal Proyek Geotermal, 10 Gendang di Pocoleok Tolak Bupati Manggarai. https://mediaindonesia.com/nusantara/561720/tegal-proyek-geotermal-10-gendang-di-pocoleok-tolak-bupati-manggarai
[15] Maribeth Erb. 2005. Shaping a ‘New Manggarai’: Struggles Over Culture and Tradition in an Eastern Indonesian Regency. Asia Pacific Viewpoint, Vol. 46, No. 3, December 2005
[16] Ernest L. Teredi, Agustinus Sukarno & Marselinus Joni Jaya. 2022. Derita Rakyat dan Lingkungan di Balik PLTP Ulumbu. https://www.jatam.org/wp-content/uploads/2022/09/Catatan-Lapangan-PLTP-ULUMBU-Final.pdf
[17] Tempo, 2021. Kubangan Petaka dari Bawah Tanah. Majalah Tempo, 29 November, 2021.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Kolonisasi Pembangunan Energi Baru Terbarukan di Pulau Flores
Kamis, 25 Mei 2023 12:22 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler