Ibrah Agung
Selasa, 21 Februari 2023 14:12 WIBHari itu Jupri berbaring gelisah di kursi depan rumahnya. Ia melihat ke atas, melihat sekerimbun daun pohon, dan menyelusup pandangnya ke arah bintang yang gemerlap di langit. Ia tak tahu lagi bagaimana harus menjauhkan segala pikirannya yang semakin hari semakin sumpek.
Hari itu Jupri berbaring gelisah di kursi depan rumahnya. Ia melihat ke atas, melihat sekerimbun daun pohon, dan menyelusup pandangnya ke arah bintang yang gemerlap di langit. Ia tak tahu lagi bagaimana harus menjauhkan segala pikirannya yang semakin hari semakin sumpek. Tiba tiba segala yang dilihatnya menjadi semu dan membosankan.
Unsur keduniawian yang membara. Jupri berpikir itu semua seakan menyudutkan dirinya. Membuatnya seperti berada di rumah hantu. Berjalan di lorong-lorong gelap membosankan dan selalu mengalami jalan buntu. Dan jikalau tak buntu, Jupri akan kaget karena ternyata yang dilaluinya adalah tempat yang itu-itu juga.
Jupri memang selalu muak dengan omong-kosong. Ia menganggapnya seperti lorong gelap dalam rumah hantu itu.
Ia muak sekali, nadinya berdenyut gelisah. Omong kosong menurutnya adalah salah satu bagian dari kesia-siaan waktu. Membuang-buang waktu dengan omongan tak jelas, salah-salah malah menyakitkan hati.
Hari itu Jupri berbaring di kursi bukanlah bermaksud membuang waktu. Tapi ia merenung. Berinstropeksi. Dan itu diyakininya pula sebagai evaluasi dari kejadian kejadian yang lampau.
Jupri bangun, ia merasa dunianya telah sedemikian rusak. Ia seakan kehilangan teman baik. Ia melihat dimana mana mata mata sinis menatapnya. Seakan turut pula menarik jiwanya agar masuk dalam kemaksiatan.
Jupri sudah berusaha keras menamengi dirinya dari segala godaan itu. Ia sudah siap untuk menampik segala tawaran jahat darimana saja. Yang kerap mengambang begitu mudahnya dalam samudra kehidupan.
Sebagian teman teman Jupri pernah berkata kepadanya: “Ayo, ikut aku dugem!” atau “Ayo ikut main judi !” Tawaran yang sering membuatnya gundah. Tapi untungnya, Jupri selalu menahan dirinya. Ia merasakan sulur hati memberontak dalam jiwanya. Membentenginya dari segala ancaman buruk.
Dan Jupri pun bersyukur. Ia tak sampai masuk lembah hitam. Selama ini ia sering merasakan ironi dalam hidup. Seperti melihat adegan drama. Begitu elastis dan tipis, tapi akibatnya bisa fatal.
Suatu kegetiran hidup yang pahit, yang hanya dapat dinetralkan dengan melafaz asma Allah, mengagungkan kebesaran Nya. Jupri juga bisa bersyukur, ia termasuk orang orang yang masih ingat Allah. Hatinya tak pernah lepas dari serangkaian ayat ayat suci.
Dalam malam yang lepas itu, Jupri pergi ke sumur. Ia hendak bersuci. Ia ingin melepas segala pikirannya yang ruwet dengan suatu kejernihan baru yang disebut : wudlu.
Tiap jamnya, tiap ada waktu luang, Jupri selalu membiasakan berwudlu. Sehingga angin yang semula ganas bisa menjadi tiupan yang semilir dan lembut. Hawa yang semula panas bisa mendadak sejuk dan menyenangkan. Inilah yang mendorong Jupri tetap dekat dengan Allah. Dan lihatlah sinar mata Jupri. Memancarkan keteduhan yang tak dapat dilukiskan. Sinar wajah itu begitu terang, tak mengada-ada. Bukan omong-kosong.
Seolah gelisah yang tadi langsung mencair, berganti dengan kelembutan yang aktif. Kelembutan itu tak terpengaruh pada masalah dunia yang begitu pelik. Ia tetap bersinar dalam masa yang gelap.
Tiba-tiba saja setelah berwudlu itu, Jupri berhadapan dengan seseorang berjubah putih. Tiba tiba saja orang itu telah berada di belakang tubuh Jupri. Siapakah ia?
Jupri merasa hatinya tenteram. Ia mencium harum yang merebak di sekitarnya.
“Assalamualaikum!” kata orang itu mengucap salam. Kata katanya bagai meriak mengalun dalam sungai yang jernih.
“Waalaikumsalam!” jawab Jupri lembut. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk menyambut tamunya itu. Dirasanya hatinya begitu tentram,tenang dan damai. Perasaan apa ini, batinnya. Segala yang tadi membuatnya gundah, hilang sirna. Berganti dengan kelegaan yang amat sangat.
Tapi sebelum Jupri sempat merancang kata kata, tamu itu sudah berkata lebih dulu padanya. Dan dengarkanlah kata kata sejuk dari tamu itu.
”Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu.”
Jupri tercengang sekaligus kagum. Ia jelas tak tahu tamunya itu berasal dari mana. Tapi dirasanya, ia memperoleh hikmah dari penjelasan tamu itu. Segalanya menjadi terang.
Dan tamu itu berkata lagi lewat suaranya yang merdu.
“Ketahuilah, manakala Allah membuka pintu pemahaman kepada engkau ketika Dia tidak memberi engkau,maka ketiadaan pemberian itu merupakan pemberian yang sebenarnya.”
Jupri mengangguk angguk. Sedang tamu itu tersenyum, begitu tulus. Jupri merasa ibrah (pelajaran) tadi begitu membuatnya terpukau.
Jupri merasakan energi baru meluap luap di hatinya.
Sebelum Jupri mengucapkan terima kasih pada tamunya itu, tamunya tiba tiba menghilang tertelan malam. Jupri jelas tak tahu tamunya tadi itu siapa. Tapi Jupri jelas dapat merasakan bahwa ia baru saja mendapat ibrah agung di tengah tengah masyarakatnya yang sedemikian rusak dan semakin rusak, hancur oleh bisikan duniawi.
Dan akhirnya, sekali lagi, Jupri bisa bersyukur kepada Allah, karena sekarang keyakinannya terhadap Islam semakin meningkat dan terus meningkat.
Dirasakan oleh Jupri, di malam yang lepas itu, segalanya menjadi terang dan lebih berarti.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Memar yang Menjadi Ujian Pertama; Berjibaku Melawan Diabetes (Bagian 1)
Kamis, 23 Februari 2023 13:25 WIBIbrah Agung
Selasa, 21 Februari 2023 14:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler