Para Priyayi Karya Umar Kayam
Selasa, 25 Oktober 2022 09:09 WIBUmar Kayam (30 April 1932 – 16 Maret 2002) adalah seorang penulis, budayawan, dan akademisi. Ia berkarya sebagai Guru Besar Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kayam terkenal oleh karena novelnya, Para Priyayi (1991), dan kumpulan esainya yang terbit di Tempo dan Kedaulatan Rakyat.
Para Priyayi merupakan novel karya Umar Kayam yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Pustaka Utama Grafiti dan cetakan kedua tahun 1992 oleh penerbit yang sama. Novel ini ditulis oleh Umar Kayam di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat dan selesai ditulis tanggal 14 Februari 1991.
Judul Buku : PARA PRIYAYI
Penulis : UMAR KAYAM
Penerbit : PT PUSTAKA UTAMA GRAFITI
Tahun Terbit : 1992
Tebal : 308 HALAMAN
Novel ini mengungkapkan perjalanan panjang seorang anak petani untuk mencapai status sebagai priyayi atau masuk ke dalam dunia priyayi. Kayam mengungkap penjelasannya tentang priyayi dalam konsep budaya Jawa melalui lakuan-lakuan tokoh tentang dirinya, asalnya, lingkungannya, dan cita-citanya. Seperti beberapa karya Kayam terdahulu, Para Priyayi juga sarat dengan warna lokal budaya Jawa. Budaya Jawa yang dihadirkan Kayam tidak hanya sebatas latar cerita, tetapi juga sebagai wadah penyampaian nilai-nilai filosofis budaya Jawa tersebut sehingga kosa kata bahasa Jawa yang memuat konsep kejawaan dan nilai-nilai yang terkait dengan wayang bertebaran dalam novel.
Novel Para Priyayi ini diawali dengan gambaran kota Wonogalih, tempat tinggal keluarga Soedarsono. Kayam secara rinci menggambarkan keadaan kota Wonogalih itu, seperti pendopo Kabupaten Wonogalih dengan segala kemegahannya, alun-alun di depan pendopo tersebut, serta pohon asam yang tumbuh di sekitarnya. Selain itu, Kayam juga melukiskan kehidupan kota Wonogalih yang ditandai dengan kebiasaan para pensiunan untuk bertemu dan berjalan-jalan pagi.
Lalu di mulailah perjalanan Soedarsono yang semula adalah putra dari seorang petani biasa Mas Atmokasan membangun keluarga Priyayi. Dengan bantuan majikan orang tua nya Ndoro Seten, Soedarsono berhasil memperoleh beslit ( atau SK di jaman sekarang ) guru bantu di sebuah sekolah desa di ploso. Sedikit demi sedikit, Soedarsono belajar menjadi seorang priyayi Jawa, seorang Priyagung, Priyayi agung. Yang kemudian membuat dirinya mengganti nama nya menjadi Sastro Darsono karena di rasa nama Sudarsono tak mampu lagi menaungi kepriyayian keluarga besar nya.
Sastrodarsono atau Soedarsono adalah anak Mas Atmokasan, seorang petani desa Kedungsimo. Ia menikah dengan Ngaisah dan dikaruniai tiga orang putra, yaitu Noegroho, Hardjono, dan Soemini. Keinginan untuk meningkatkan status keluarga dari petani menjadi priyayi merupakan cita-cita Soedarsono dan keluarganya. Meskipun sukses mengangkat martabat keluarganya, Soedarsono tidak melupakan asal-usulnya. Untuk menunjang kehidupan keluarganya, Soedarsono pun mengolah lahan pertaniannya meskipun ia tidak terjun langsung. Hal itu dilakukannya karena ia beranggapan bahwa rumah tangga priyayi tidak boleh bergantung sepenuhnya pada gaji yang diberikan pemerintah. Ia dihargai bukan karena kekayaannya, melainkan karena kepandaiannya.
Seperti hal nya para priyayi lain nya, Sastro Darsono pun perduli pada keluarga besar nya. Seperti dikisahkan pada suatu waktu mereka mengambil dan merawat keponakan-keponakan mereka yang tidak mampu untuk di sekolahkan dan 'ngenger' di rumah mereka. Misalnya Soenandar, seorang keponakan jauh mereka yang di rawat dan di beri pendidikan yang sama dengan anak-anak Sastro sendiri meski pada akhirnya tidak berguna karena Soenandar lebih memilih jalan bergabung dengan gerombolan rampok. Tapi siapa sangka, dari Soenandar lah lahir seorang anak haram yang kemudian menjadi penyelamat keluarga besar Sastro Darsono. Wage atau kemudian lebih di kenal dengan Lantip, cucu Sastro Darsono atau anak Soenandar yang lahir di luar nikah ternyata berhasil menjungkir balikkan kisah hidup dinasti priyayi Sastro Darsono. Lantip inilah yang pada akhirnya berhasil mewarisi jiwa priyayi Eyang kakung Sastro Darsono.
Kegagalan keluarga Soedarsono membangun keluarga priyayi sedikit terobati dengan kehadiran tokoh Lantip. Kayam selanjutnya menempatkan tokoh Lantip sebagai pengemban makna priyayi tersebut. Priyayi dalam keluarga Soedarsono tidak lebih dari sebatas status sosial dan berkaitan dengan profesi seseorang. Keluarga Soedarsono justru menempatkan priyayi itu secara harfiah, dalam arti bahwa priyayi sebagai status sosial tertentu. Mereka gagal menempatkan diri sebagai priyayi yang sesungguhnya. Namun, Lantip meskipun seorang anak yang lahir di luar nikah—berhasil menempatkan diri sebagai sosok priyayi sejati dan menyelamatkan dinasti Soedarsono.
Pada akhir novel ini di ceritakan Eyang kakung Sastro Darsono akhirnya meninggal dunia, dan setelah melalu serangkaian dialong tentang siapa yang akan memberikan pidato perpisahan akhirnya di tunjuklah Lantip yang akan memberikan pidato perpisahan.
"Calon yang lebih pantas dan paling besar jasanya buat keluarga besar kita. Dialah orang yang paling ikhlas,tulus, dan tanpa pamrih berbakti kepada kita semua.Dialah priyayi yang sesungguhnya lebih daripada kita semua. Dia adalah kakang Lantip."
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Representasi Tari-tarian yang Dipentaskan dalam PKN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2023
Selasa, 31 Oktober 2023 11:02 WIBCara Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat
Kamis, 15 Desember 2022 12:03 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler