Meraki

Senin, 12 September 2022 14:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Besok aku akan pulang ke Jakarta.” Malam dalam purnama yang tertutup mega menjadi saksi betapa cinta keduanya tidak membutuhkan lisan. Aku akan menunggumu..... Di pantai ini.

Apa yang membuatmu begitu tragis?”

Entahlah, aku hanya merasa nyaman dengan seluruh kekacauan yang abadi ini. Walau muak untuk hal-hal yang tidak lagi dapat aku percaya. Bagaimana mungkin kepercayaanku padanya dikhianati dengan mudah sampai-sampai aku tersingkir dan berkubang di kamar sialan ini. Tidak ada satupun yang tersisa, ini sungguh semena-mena.

Lalu, untuk apa kamu telan semua obatmu? Apa mati solusi bagimu?”

Tidak. Aku hanya ingin dapat tidur dengan bahagia, tanpa ada gangguan, tanpa mimpi juga cemas. Itu saja, dan aku tidak pernah tertarik untuk membunuh diriku sendiri. Aku minta maaf kalau hari ini membuatmu khawatir kepadaku. Apa benar kau khawatir dengan diriku?

Sore hari percakapan mereka dipertegas dengan berbagi kisah-kisah tentang betapa sialnya makna kepercayaan telah benar-benar salah letak. Namun, tanpa disadari, Huda dan Mona pun merasakan betapa kesepiannya masing-masing dan keduanya hanya dapat memuntahkan segalanya pada seni. Huda dan Mona adalah seniman dengan berbeda bentuk seni.

Huda adalah seniman grafis yang dengan keadaan psikis yang menuntutnya bertahan menggunakan terapi nuerotransmitters setiap bulannya. Namun sepi tidak dapat terelakkan dalam kesehariannya. Hatinya begitu halus walau terselimuti oleh garis-garis keras pada karya-karyanya yang cenderung vandal. Sedangkan Mona adalah musisi elektronika untuk genre musik smooth downtempo jazz.

Huda selalu terpesona melihat Mona dengan gemulai jemarinya melayang-layang di roundtable sets dalam tubuh sintalnya mengikuti irama yang sedang dimainkannya. Hanya, perasaannya ini harus disimpan rapat-rapat. Huda tidak ingin merusak hubungan persahabatan yang terasa memiliki masa depan. Namun tekanan hati terdalamnya selalu menganggu.

Begitu pula dengan Mona yang selalu menanti kabar dari Huda, seringkali pikirannya berantakan, membayangkan Huda bersama kawan-kawannya, mabuk berat hingga merusak semua atau kembali tertangkap. Mona cukup berani untuk mengutarakan banyak hal daripada Huda. Itu yang membuat keduanya seakan saling membutuhkan. Ada semacam tarik ulur permainan layang-layang walaupun seringkali langit begitu mendung bagi keduanya.

Besok aku akan pulang ke Jakarta.”

Keduanya saling menatap dan memperlihatkan betapa beningnya airmata yang mengambang dalam kornea mereka. Sebelum airmata itu terjatuh, Huda memberanikan diri memeluk Mona dengan erat. Mona tidak mencoba melepas kehangatan yang telah didambakan olehnya sekian lama. Mereka pun tidak lagi berbicara dengan bahasa kata-kata. Ada hangat yang terlepas dengan hebat. Malam dalam purnama yang tertutup mega menjadi saksi betapa cinta keduanya tidak membutuhkan lisan.

Aku akan menunggumu..... Di pantai ini.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Okty Budiati

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Gremet-gremet Waton Slamet

Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIB
img-content

Musim Masa

Kamis, 5 Januari 2023 19:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua