Pergantian Nama Rumah Sakit Menjadi Rumah Sehat: Kebijakan yang Sehat?
Jumat, 5 Agustus 2022 19:52 WIBKebijakan Gubernur DKI Pak Anies Baswedan mengganti nama rumah sakit menjadi rumah sehat menuai kontroversi. Sebagian menganggap kebijakan ini bagus untuk memberikan sugesti positif kepada pasien. Namun, di lain pihak, beberapa beranggapan bahwa kebijakan ini sama sekali tidak menyentuh persoalan substansial masyarakat Jakarta terkait pelayanan kesehatan.
Pergantian Nama Rumah Sakit Menjadi Rumah Sehat: Kebijakan yang Sehat?
Oleh Adrianus Safarin
Tahun 2013 silam, masih segar di memori kita kasus yang menimpah Dera Nur Anggraini, bayi yang megalami masalah di tenggorokan akibat terlahir prematur, meninggal dunia setelah ditolak sepuluh rumah sakit di Jakarta karena berbagai alasan. Dua tahun sebelumnya kasus yang sama menimpah Suryani (44), penderita kanker getah bening ditolak Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat. Alasannya, Suryani hanya memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Berbagai kasus penolakan pasien oleh rumah sakit tentu saja juga terjadi di beberapa kota lain di Indonesia, dengan alasan-alasan yang bervariasi, misalnya karena persyaratan administrasi yang tidak lengkap, ketidakmampuan pasien untuk membayar, dan daya tampung yang terbatas atau fasilitas rumah sakit yang tidak memadai. Dalam kasus tertentu penolakan juga terjadi pada pasien yang berada dalam kondisi kritis darurat atau emergency, padahal hak-hak pasien untuk mendapatkan pertolongan, diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Pemenkes) Nomor 40 Tahun 2012. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa pada keadaan darurat medis, seluruh fasilitas kesehatan wajib memberikan penangan pertama kepada pasien gawat darurat.
Beberapa hari lalu, Gubernur DKI Jakarta, Pak Anies Baswedan mengubah nama seluruh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta menjadi Rumah Sehat untuk Jakarta. Sebagian masyarakat mendukung keputusan ini karena dianggap kata "sehat" secara psikologis bisa memberikan sugesti yang positif bagi pasien yang sedang dirawat maupun yang akan melakukan perawatan. Sebagian masyarakat melihat kebijakan ini sebagai kebijakan yang tidak efektif karena tidak menyentuh akar persoalan masyarakat Jakarta berkaitan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saya sependapat dengan masyarakat yang melihat kebijakan ini tidak efektif. Secara pribadi saya mengkritisi kebijakan ini dari dua aspek yaitu urgensi dan rasionalitas.
Secara urgensi atau aspek kemendesakan, menurut saya kebijakan ini sangat tidak kontekstual dan relevan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Jakarta saat ini, terutama masyarakat akar rumput atau kelas menengah ke bawah yang untuk membiayai hidup sehari-hari saja sangat susah. Sebagian besar keluhan masyarakat tentang rumah sakit menumpuk mulai dari biaya rumah sakit yang mahal, kesulitan mendapatkan akses jaminan kesehatan, fasilitas yang tidak lengkap, mal-praktek, ketidakramahan para petugas medis ketika melayani pasien (courtesy), dan prosedur administratif atau penanganan pasien yang kadang berbelit-belit.
Lalu, jika kata "sakit" memang kedengarannya menakutkan, maka yang ditakutkan oleh masyarakat sebenarnya adalah keluhan-keluhan tadi. Ketakutan akan kultur rumah sakit yang tidak bisa dijangkau lagi oleh tukang bangunan, penjual sayur, pedagang kaki lima, ketakutan akan dirujuk ke rumah sakit lain, ketakutan nanti akan ditanyai surat ini itu sementara mengurusnya di kelurahanpun sangatlah susah, ketakutan karena menahan ocehan para petugas medis yang kebetulan moodnya lagi tidak menyenangkan.
Dari segi rasionalitas, kebijakan ini menurut saya adalah kebijakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Memang ada banyak studi tentang peran penting suggesty dalam proses percepatan healing pasien namun hal itu hanya dilihat sebagai additional factor atau faktor tambahan/penunjang. Sugesti menjadi faktor tambahan mengandaikan pasiennya sudah diberikan layanan dasar kesehatan medis mulai dari diagnosa, treatment, dan pemberian obat seusai dengan rekomendasi dokter.
Dalam hubungan dengan ini, yang seharusnya dipikirkan oleh Pak Anies Baswedan adalah berapa persen penduduk Jakarta sudah mendapatkan pelayanan dasar kesehatan. Jika hanya mengandalkan suggesti sebagai faktor utama healing, maka para dokter di rumah sakit sebaiknya digantikan oleh mentalist, psikolog, motivator dan spritual healers.
Dari dua alasan ini, saya kemudian mempertanyakan kebijakan Pak Anis, apakah ini kebijakan yang sehat? Jika perubahan kata "sakit" menjadi "sehat" bisa menjadi solusi permasalahan kesehatan penduduk Jakarta, maka Beliau patut diancungi jempol. Akan tetapi, bisa saja kebijakan ini hanya memberikan harapan utopis kepada warga Jakarta yang membuat mereka lupa akan kebobrokan sistem, kultur dan pelayanan rumah sakit yang tidak sanggup dibenahi oleh pemerintah. Mirip dengan kritik Karl Marx terhadap Gereja pada abad pertengahan yang menjadi candu dengan bualan-bualan/kata-kata teologis atau janji-janji surgawinya mampu meninabobokan masyarakat kelas bawah dari penderitaan yang harusnya mereka hadapi akibat belunggu sistem kapitalis. Pada akhirnya semoga kebijakan pergantian nama ini meski tidak rasional dan urgent adalah murni karena pertimbangan etis pak Anies, bukan karena kepentingan politis demi popularitas semata.
.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Rocky Gerung Sejatinya Bukan Filsuf, tapi Seorang Sofis
Rabu, 9 Agustus 2023 07:41 WIBPergantian Nama Rumah Sakit Menjadi Rumah Sehat: Kebijakan yang Sehat?
Jumat, 5 Agustus 2022 19:52 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler