Politik Indonesia Mengarah ke Demokrasi Oligarkis? (Sebuah Refleksi)

Selasa, 27 Agustus 2019 17:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini ingin memaparkan secara teoritis bahwa secara kontekstual, politik Indonesia mengarah ke bentuk demokrasi yang Oligarkis. Demokrasi dan Oligarki telah bersenyawa dan dimanfaatkan oleh para Oligark untuk tetap mempertahankan kekayaan dan kekuasaanya.

Salah satu permasalahan yang sering disoroti oleh para pengamat ketika berbicara tentang konstalasi politik Indonesia saat ini adalah tentang fenomena Oligarki. Sebenarnya, Oligarki bukanlah barang baru dalam dunia politik. Jauh sebelum negara-negara modern berdiri, para filsuf Yunani Klasik sudah mengulasnya. Dalam kuliah-kuliah tentang pemikiran politik Barat, sudah barang tentu diajarkan isi perdebatan antara Plato dan Aristoteles tentang bentuk negara ideal. Meskipun keduanya tidak bersepakat tentang bentuk mana yang paling ideal untuk diterapkan, tetapi keduanya bersepakat bahwa bentuk pemerintahan Oligarkhi merupakan bentuk yang buruk/negatif karena Oligarki merupakan penyimpangan dari bentuk Aristokrasi dimana kekuasaan berada di tangan sedikit orang (minoritas) dan bukan untuk kesejahteraan bersama. Kekuasaan hanya digunakan untuk pengumpulan kekayaan dan harta semata (Suhelmi, 2001).  

Semenjak gagasan tersebut muncul, sampai saat ini Oligarki masih tetap menjadi salah satu bagian penting yang diperdebatkan oleh para ilmuwan. Hal itu menjadi bukti bahwa Oligarki masih tetap eksis sepanjang sejarah peradaban manusia. Tetapi bentuk dari Oligarki tersebut tidaklah statis, tentu saja berubah-ubah dan terus termodifikasi berdasarkan konteks sejarah. Oleh karena itu, maka munculanlah ilmuwan-ilmuwan yang berusaha untuk merekonstruksi teori tentang Oligarki sehingga menjadi lebih relevan dalam melihat konteks saat ini.

Adalah Jeffrey A. Winters, seorang Profesor dari Northwestern Universtiy yang menulis buku yang berjudul OLIGARCHY (2011). Beliau merupakan ilmuwan yang berhasil merekonstruksi teori Oligarki sehingga kita terlepas dari kekacauan konsepsi antara pengertian elit dengan Oligark. Menurut Winters, Oligark adalah aktor yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Sementara, kebanyakan elit tidak pernah menghimpun kekayaan yang mendatangkan kekuasaan. Dalam suatu sistem politik, seorang Oligark selalu menjadi elit, tetapi seorang elit belum tentu menjadi seorang Oligark (Winters, 2011).

Oligarki di Indonesia

Ternyata, Oligarki tidak hanya berbicara tentang minoritas atau tidaknya penguasa politik. Kata kuncinya bukan disitu, tetapi tentang basis kekuasaan materil dan kekayaan sumber daya/harta yang mereka miliki. Inilah yang menyebabkan munculnya fakta bahwa ketidaksetaraan materil yang ekstrem akan selalu menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Sehingga kita tidak heran jika jabatan-jabatan politik hanya diduduki oleh orang-orang kaya atau lebih kongkritnya para pengusaha/pebisnis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corrupution Watch (ICW) pada tahun 2015, ditemukan bahwa terdapat sebanyak 52,3% anggota DPR RI periode 2014-2019 berprofesi sebagai pengusaha.

Data diatas membuktikan bahwa meskipun hakikat demokrasi memberikan ruang dan kesempatan akses terhadap politik dianggap setara, tetapi kekayaan materil yang sangat besar di tangan golongan kecil menciptakan peluang untuk menggapai kekuasaan lebih signifikan pada golongan tersebut. Lalu pertanyaannya, apakah para pengusaha tersebut akan menyuarakan kepentingan rakyat kecil atau kepentingan usaha dan bisnis mereka di DPR ? sudah barang tentu mereka akan berlaku sesuai gen bisnisman yaitu oportunistik. Dalam kerangka Winters, para Oligark terlibat dalam dinamika politik karena motif “pertahanan kekayaan” yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan (Winters, 2011:9-10). Teori ini bisa dibuktikan dengan menyuguhkan kembali data dari ICW yang menunjukkan bahwa Komisi VI paling banyak diisi oleh para Pengusaha dengan persentase 72,9%. Komisi tersebut dikenal sebagai lahan basah dan penentu masa depan para pengusaha. Sehingga kita tidak heran jika kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan lebih banyak menguntungkan golongan kaya selama ini karena keputusan pasti larut dalam konflik kepentingan mereka.

Menurut Winters, Indonesia pasca Soeharto adalah Indonesia dengan tipe Oligarki penguasa kolektif. Kondisi dimana para Oligark berkerja sama untuk mempertahankan kekayaannya dan memerintah suatu komunitas. Komunitas yang dimaksud disini bisa saja bentuk lembaga kepartaian atau yang lainnya. Sebagaimana kita ketahui, banyak partai-partai di Indonesia dipimpin oleh para pengusaha/konglomerat dan kader-kadernya juga diisi oleh banyak pengusaha-pengusaha kelas kakap. Bahkan sebagian mereka tidak hanya menguasai parpol, tetapi juga menguasai berbagai media massa.  Bayangkan betapa kuat dan mengakarnya mereka dalam mendominasi politik kita saat ini. Jika diperhatikan, para penguasa pemerintahan tidak lain daripada kumpulan para Oligark. Sehingga tidak heran jika dinamika politik terlihat sangat cair karena semua berlomba-lomba ingin masuk kabinet demi meraup dan mempertahankan kekayaan masing-masing.

Demokrasi Vs Oligarki atau Demokrasi + Oligarki ?

Demokrasi dan Oligarki bukan seperti minyak dan air yang saling bertolak belakang. Keduanya tidak saling membatasi tetapi justru bisa bersenyawa sehingga memunculkan pola integratif. Demokratisasi bukanlah obat penghilang Oligarki dengan artian bahwa anggapan yang mengatakan semakin demokratis suatu negara maka secara otomatis Oligarki akan terkikis, bisa terbantahkan. Ternyata tidak berbanding lurus sama sekali. Apalagi demokrasi yang diterapkan masih sebatas demokrasi prosedural, Oligarki akan semakin leluasa terlibat dalam pertarungan kekuasaan dengan modal materil yang dia miliki. Ditambah lagi dengan perilaku pemilih yang semakin berorientasi pragmatis oportunistik semakin memberikan peluang bagi yang kaya untuk membeli suara. Dengan demikian, bisa saja disatu sisi Indonesia terlihat semakin Demokratis, tetapi disisi lain semakin Oligarkis juga.

Dengan demikian, solusinya bukan pada proses demokratisasinya. Dalam sistem politik apapun, jika masih terdapat konsentrasi kekayaan materil yang berlebihan pada segelintir orang, maka Oligarki akan tetap bersemayam. Saya sepakat dengan Winters bahwa para Oligark dan Oligarki hanya akan lenyap jika distribusi sumber daya materil yang timpang dihapuskan, agar tidak memberikan kuasa politik yang terlalu besar kepada segelintir orang.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Alwi Dahlan Ritonga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua