Foto, Gestur, dan Relasi Kuasa
Kamis, 13 Juni 2019 22:20 WIBFoto yang merekam gestur tubuh seseorang punya kekuatan tersendiri sebab mampu menyampaikan pesan dengan makna tertentu, tapi juga mudah disalahpahami ketika dibaca tanpa pengetahuan mengenai konteks temporalnya.
Baru-baru ini, foto Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersama Presiden Joko Widodo beredar di media sosial. Dalam foto itu tampak Anwar sedang disalami Presiden dengan posisi bahu merendah, sehingga Anwar terlihat agak menunduk. Beredar tafsir bahwa gestur tubuh Anwar itu merupakan pertanda ketundukan Anwar kepada Presiden Jokowi.
Foto tersebut merupakan foto lama, diambil ketika Anwar disalami seusai dilantik sebagai hakim konstitusi di Istana Negara pada 7 April 2016. Foto tersebut ditafsirkan dalam konteks relasi kuasa antara seorang hakim konstitusi dan seorang presiden. Hakim konstitusi seharusnya tidak ‘menunduk’ di hadapan Presiden, melainkan berdiri sama-sama tegak.
Sekalipun itu foto jepreten dua tahun yang silam, namun memperoleh tafsir dalam konteks situasi nasional mutakhir, yaitu sidang gugatan Pilpres oleh pasangan calon Prabowo-Sandiaga. Jokowi, bersama pasangannya KH Ma’ruf Amin, menjadi pihak terkait dalam sidang gugatan ini, sehingga penafsir mempertanyakan apakah hakim konstitusi Anwa Usman, yang kini telah menjadi Ketua MK, akan bersikap seperti gestur yang terekam dalam fotonya?
Anwar kemudian mengklarifikasi ihwal foto ini saat penyelenggaraan acara ‘halal bi halal’ di gedung MK, Senin 10 Juni. Anwar menyatakan, caranya bersalaman itu merupakan bentuk penghormatan. Ia mengatakan, sebagai Ketua MK dirinya hanya tunduk kepada konstitusi. “Independensi adalah harga mati,” kata Anwar. Bahkan Anwar berujar, “Kami hanya takut kepada Allah SWT.”
Gestur tubuh seorang pejabat publik yang terekam kamera jurnalis bisa mengundang beragam tafsir. Dalam konteks politik dan relasi kuasa, gestur, foto, dan tafsir tersebut saling terkait dan menghasilkan makna tertentu di hadapan orang yang melihatnya. Makna ini bisa jadi melenceng dari konteks ketika orang hanya melihat foto hasil jepretan dan tidak mengetahui situasi ketika momen dalam foto tersebut direkam.
Contohnya ialah foto terkenal yang merekam momen ketika Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan (Letter of Intent--LoI) dengan International Monetary Fund (IMF), yang diwakili Managing Director IMF Michael Camdessus. Peristiwa itu terjadi di Cendana pada 15 Januari 1998—empat bulan sebelum Soeharto mundur. Masyarakat geger ketika keesokan harinya, berbagai media cetak menampilkan foto Soeharto meneken LoI dan disaksikan oleh Camdessus yang menyilangkan kedua tangannya di dada alias bersedekap.
Foto itu dengan cepat mengundang reaksi banyak pihak. Bukan hanya perkara skenario IMF yang dikritik, tapi juga gestur Camdessus. Dengan bersedekap tangan, bos IMF itu dianggap telah bersikap pongah dan angkuh di hadapan Presiden RI. Perdana Menteri Malaysia waktu itu Mahathir Mohammad mengaku tidak suka melihat sikap Camdessus yang kelihatan begitu puas dan sinis menyaksikan Presiden Soeharto meneken perjanjian utang baru IMF.
Bertahun-tahun kemudian, seorang saksi mata mengisahkan sudut pandang yang berbeda terhadap foto tersebut. Menurut saksi ini, ketika itu hanya ada satu kursi yang tersedia di dekat meja, yang disediakan untuk Presiden Soeharto. Camdessus pun hanya bisa berdiri. Ketika Soeharto meneken LoI, Camdessus bersikap lazimnya orang-orang Barat, ‘secara naluriah’ menyilangkan kedua tangannya tanpa maksud—menurut saksi ini—meremehkan Soeharto. Mana yang benar? Hanya Camdessus yang tahu.
Perlu diingat, setiap foto yang ditampilkan di media hanyalah salah satu momen dari sekian pergerakan objek foto. Ketika Jokowi berjalan perlahan sembari menyalami Anwar, anggota tubuh Anwar bergerak pula. Jepret, jepret, jepret! Juru foto merekam adegan tersebut dalam sekian kali jepretan. Editor foto kemudian memilih salah satu hasil jepretan itu berdasarkan pertimbangan tertentu. Ketika foto itu beredar di muka publik, tanggapan bisa bervariasi—ada yang mungkin sesuai dengan dugaan editor foto, ada pula yang barangkali mengejutkannya karena berbeda.
Foto memang punya kekuatan tersendiri sebab mampu menyampaikan gestur dengan makna tertentu, tapi juga mudah disalahpahami ketika dibaca tanpa pengetahuan mengenai konteks temporalnya saat adegan dalam foto itu direkam. Dua foto tersebut, Soeharto-Camdessus dan Jokowi-Anwar, memang bisa mengundang tafsir adanya relasi-kuasa yang tidak seimbang di antara kedua figur. Seperti apa relasi-kuasa objektif di antara kedua figur dalam foto, hanya mereka yang merasakan.
Lewat ucapannya, “Kami hanya takut kepada Allah SWT,” Anwar berusaha menepis keraguan sebagian masyarakat. Dan hari-hari ini merupakan momen-momen pembuktian ucapannya. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler