Daulat Pangan, Daulat Petani: Ingat Surplus!

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Capaian utama pembangunan terkait kedaulatan pangan merupakan bagian dari dimensi pembangunan sektor unggulan. Hidup surplus!

Kedaulatan pangan merupakan bagian penting dari Dimensi Pembangunan Sektor Unggulan yang merupakan salah satu Strategi Pembangunan Nasional. The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis riset tentang ketahanan pangan setiap negara di dunia dalam Global Food Sustainability Index. Dalam riset tersebut, Indonesia tercatat menduduki posisi 21 dari 133 negara yang diteliti. Peringkat ini sekaligus membawa Indonesia naik 50 peringkat dari posisi tahun lalu, yakni 71. Kendati demikian, ketahanan pangan Indonesia masih kalah dibandingkan Singapura.

Jika memperhatikan arah kebijakan dimensi pembangunan sektor unggulan maka akan dapat dipahami bahwasanya pembangunan kedaulatan pangan memegang peranan strategis di dalam pembangunan nasional guna pemenuhan kebutuhan bahan pokok penting dan mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Adapun kebijakan pembangunan kedaulatan pangan diarahkan melalui: Peningkatan produksi padi dan pangan lain terutama produktivitas dan diversifikasi; Kelancaran distribusi pangan, efisiensi rantai pasokan pangan dan akses pangan masyarakat; Peningkatan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat terutama kecukupan nutrisi bagi masyarakat miskin dan keseimbangan gizi bagi masyarakat; dan Penanganan gangguan terhadap produksi pangan.

Berkenaan dengan hal tersebut, capaian utama pembangunan melalui pelaksanaan program pembangunan pertanian telah menghasilkan berbagai capaian positif diantaranya: Pertama, Peningkatan produksi pangan khususnya pangan strategis seperti beras, cabai dan daging;

Kedua, Tata niaga pangan yang semakin efisien. Kondisi tata niaga Indonesia seperti sistem distribusi, logistik, asimetri informasi, struktur, perilaku pasar dan lainnya sebagai negara kepulauan mengakibatkan munculnya disparitas harga dan anomali pasar pangan. Untuk itu, guna melindungi produsen dan konsumen pasar pangan, pemerintah menetapkan batas harga acuan tertinggi (ceiling price) dan terendah (floor price) pada 7 komoditas pangan yaitu: padi/beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, gula dan daging sapi;

Ketiga, Penurunan impor pangan. Kebijakan pengendalian impor dan mendorong ekspor pada tahun 2015 hingga 2016 telah menunjukkan hasil yang baik. Dimana neraca perdagangan sektor pertanian tahun 2016 telah mengalami surplus sebesar USD 10,92 miliar dengan kontribusi terbesar dari sub sektor perkebunan sebesar USD 21,20 miliar. Pada tahun 2016, impor beras dapat dikendalikan dan tidak diperlukan adanya impor beras medium. Sedangkan impor beras medium yang terjadi pada bulan Januari – Maret 2016 merupakan luncuran dari kontrak impor Bulog yang telah disetujui pada November 2015.

Peningkatan produksi jagung 2016 diikuti dengan penurunan impor jagung pada Januari – November 2016 sebesar 62 persen. Demikian pula dengan impor nanas, jeruk dan beras ketan yang menurun drastis serta tidak ada lagi impor bawang merah konsumsi. Kebijakan mendorong ekspor telah berhasil mendongkrak peningkatan kegiatan ekspor di beberapa komoditas strategi pada tahun 2016. Kebijakan tersebut telah dapat mendorong kenaikan ekspor beras sebesar 43,70 persen, ubi kayu 185 persen serta kenaikan ekspor daging ayam dan telur yang jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.

Di samping untuk menghemat devisa, kebijakan ini berdampak besar pada harga yang diterima oleh petani. Sebagai contoh, pengendalian impor jagung telah dapat menaikkan harga jual petani dari Rp 3.778/kg pada tahun 2015 menjadi Rp 4.094/kg pada tahun 2016. Selain itu, akibat tidak adanya impor beras membuat harga gabah di petani meningkat menjadi Rp 5.300/kg atau surplus Rp 43,30 triliun. Secara keseluruhan, dampak kebijakan pengendalian impor dan mendorong ekspor telah menghasilkan surplus neraca perdagangan pertanian sebesar Rp 69,60 triliun dan memberikan dampak positif dalam menggerakkan perekonomian di perdesaan.

Keempat, Peningkatan kesejahteraan petani. Dari sisi kesejahteraan petani, terdapat beberapa indikator yang mencerminkan keberhasilan kinerja pertanian. Kemampuan daya beli petani yang diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) meningkat sebesar 0,06 persen. Berdasarkan data BPS, nilai NTP pada periode bulan Januari – November 2016 mencapai 101,65 dari 101,59 pada periode yang sama di tahun 2015. Guna melihat sejauh mana daya beli petani dari sisi usahataninya maka digunakan indikator Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP). Nilai NTUP pada periode Januari – Desember 2016 mencapai 109,93 atau meningkat 2,32 persen dibandingkan tahun 2015. Nilai NTUP untuk sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan semuanya mengalami peningkatan yang signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks Nilai Tukar Petani (NTP) pada Agustus 2017 naik 0,94 persen ke level 101,6. Kenaikan ini merupakan yang kelima kalinya sejak April 2017 dan juga merupakan posisi tertinggi sejak November 2016. Kenaikan NTP ditopang oleh naiknya indeks harga yang diterima petani (lt) sebesar 0,92 persen yang dibarengi dengan turunnya indeks harga yang dibayar petani (lb) sebesar 0,02 persen. Nilai tukar petani terbesar pada Agustus 2017 di catat oleh petani tanaman perkebunan rakyat (NTPR) sebesar 1,55 persen sementara yang terendah petani Holtikultura (NTPH) yang hanya naik 0,15 persen dibanding bulan sebelumnya.

NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun biaya produksi petani. Semakin tinggi NTP, secara relatif akan semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani. Artinya, jika NTP lebih dari 100, maka pendapatan petani lebih besar daripada pengeluarannya dengan demikian kesejahteraan petani lebih baik dibanding sebelumnya.

Akhir kata, isu pertanian khususnya kedaulatan pangan menjadi menarik untuk diperbincangkan, tidak terkecuali pada tataran internasional bahkan dalam rangka promosi perdagangan bebas. Berdasar data, capaian utama pembangunan memperlihatkan telah terjadi penurunan impor pangan, hal ini tentu menggembirakan. Di satu sisi, terdapat temuan penting yang menjadi catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ialah terkait masih minimnya pemanfaatan TIK untuk pengembangan usaha oleh petani. Kedepan diharapkan peningkatan kesejahteraan petani akan diikuti oleh meningkatnya literasi para petani agar lebih mampu menjadi petani yang berdaulat. Lupakan pasar bebas, ingat surplus!

Referensi:

Cat:  Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Latar belakang keilmuannya ialah Sosial Ekonomi Pertanian, Agribisnis, serta Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Penulis pernah menjadi Tenaga Ahli Anggota Dewan Komisi IV DPR RI Bidang Pertanian. Saat ini penulis merupakan Associate Researcher di Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC).

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yesi Hendriani Supartoyo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Daulat Pangan, Daulat Petani: Ingat Surplus!

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Bambang Istiawan dan Rosita, 'Forest Man'

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua