Gegabah Selangit (6)

Rabu, 10 Januari 2024 19:46 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kesetiaan, tanpa slogan do re mi. Pengkhianatan gerhana cinta bergincu dalam bentuknya, menggerogoti hidup pelakunya. Hukum alam bersifat pasti-dadakan tanpa kirim pesan singkat.

Episode (6): Gerhana Cinta Bergincu.

(SISI LAIN KERAJAAN BARONG)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Cinta palsu membutakan sukma di hatimu Adinda."
"Jangan menggunakan bahasa abstraksi Kakanda, aku tidak paham."
"Semua bermula dari realitas. Kau makin pandir."
"Kakanda tidak rasional. Itu bukan fakta otentik."

"Ketika pengkhianatan hadir dalam bentuk nyanyian burung pemakan bangkai, kau bantai hidup mereka dengan perilakumu."
"Akronim tuduhan tak berdasar."
"Lihat layar langit. Fakta memerah ada di sana. Hapus kalau berani."
"Tendensi pikiranmu melautkan hal tak semestinya."

Cinta, kadangkala merancukan diri pada perilaku kesenjangan di antara arogansi kepandiran dengan ihwal kenyataan membumi. Lantas menjadi banyak pertumbuhan pertanyaan, baurlah isu melebur kepiawaian metafor kepandiran, mungkin saja akibat jiwa ingin mencapai multi bintang jalan pintas politik sebagai panglima.

Mengapa tidak ilmu kebudayaan sebagai panglima? Oh my God, di sana tak ada orientasi profit cepat saji guys, di ranah itu bakal semakin lamban perolehan dedikasi materialisme, keburu tua makin lamban lantas mati. Ambisi berjalan lebih ringan, hampir tak dinamis, tertatih-tatih dalam hipunan hipertensi.

"Itu akibat kau tak punya jawaban, Adinda."
"Bagaimana kau bisa menduga seperti itu. Fakta di genggaman mereka tidak valid."
"Hah! Lihat dengan nurani kawan. Jangan dengan alibi di kepalamu."
"Kakanda. Kanon bicaramu tersirat anarkis pikiran."

"Sejak tadi kau tak menjawab inti dari pertanyaan."
"Studi kelayakan investigasi apa tidak cukup."
"Mengarah padamu kan? Kau penyebab kalibut itu."
Hampir naik pitam. "Terjadi kekacauan wilayah." 

"Dengan alasan demi stabilitas lingkungan." 
"Tak ada alternatif lain."
"Seharusnya tak kau lakukan," sunyi sejenak "Mengapa terdiam."
"Tak berguna obrolan ini."

"Kau merebut situasi terkendali. Telah dilakukan lebih awal."
"Aku tak punya pilihan."
"Demi gengsi di pundakmu."
"Dia jadi korban di antara mereka plus tim gugus tugas adaptif."

"Bukan urusanku. Bodok amat." (Exit)
"Berani kau berpaling dariku." (Exit. Mengikuti)

**
 
(SISI LAIN KERAJAAN BAGUS)

Abstraksi kadang mengandung impresi realisme, kubisme penyebab kotak disrupsi sistem analisis pandora, sulapan peristiwa ekspresionisme terkanvas keelokan pewarnaan imitasi peristiwa tak sekadar rekayasa acuan. Matarantai situasi dalam kisah terjalin misteri suaka usaha di luar praksis hukum formal.

Cinta tidak harus memilih ketika persepsi pengadeganan virtual menunjukan retorika kepalsuan digitalisasi. Opini terjebak alur tak ke muara akhir dari adegan. Dalang telah memasukan tokoh peranan dalam kotak wayang. Apa lagi ditunggu sebenarnya, ketika pemeranan tak terlukis dalam bingkai kesejarahan babad kisah-kisah.

"Jangan lakukan sobat. Kau paham maksudku."
"Melawan konspirasi tembok hukum formal."
"Ingat, cucumu dalam masa pendidikan Begawan Parasatria."
"Terima kasih. Sudah diingatkan."

"Jangan gegabah." Sangat sabar menenangkan.
Satria itu kembali menyimpan perlengkapan buru sergap dengan saksama. Jernih jiwanya mengembalikan kesadaran transendental. "Baiklah ..." Menghela napas pelahan.
"Pengabdian di dadamu. Ini gambar kita kala itu." Mengamati gambar-gambar.
"Ya, totalitas tanpa limit." Terasa ada sesak di dadanya.
"Memasuki purnatugas, mengabdi pada kejujuran. Itu pesanmu pada kami."

"Terima kasih," sembari meneruskan bebenah perlengkapan pusaka sakti buru sergap pelahan satu persatu ke tempatnya semula. Jika gegabah senjata mini nuklir itu mampu memusnahkan sejauh radius satu kilometer persegi.
"Semua personel masih patuh pada perintahmu. Tapi itu bukan pilihan terbaik sekalipun demi dia kekasih jiwamu. Tanah ini tak pernah melupakan kepatuhan pada kewajiban tugas telah diembannya."
"Terima kasih," terawang pikirannya menuju gagasan tak terduga, lebih menggila.
"Jangan gegabah sobat. Kami ada senantiasa untukmu," sangat memahami, kalau pusaka sakti buru sergap keluar dari sarangnya, tak mudah menunda peperangan. 

Sebenarnya seluruh personel mendukung apapun keputusannya, dia, menyelamatkan pasukannya dari pengkhianat barbarik kala itu. Sekalipun seluruh personel telah masuk masa purnatugas, mereka prima terjaga, cekatan jika kewajiban memanggil, demi negeri tercinta jernih jiwa. 

"Ayahanda, pinjami aku panah saktimu. Juga kereta perangmu." 
"Silakan anandaku tercinta. Ayah kabulkan." 
"Akan aku hujani seribu panah ke tubuhnya."
"Hati-hati menghadapi kesaktiannya."

"Hanya cara itu satu-satunya. Menghentikan peperangan ini."
"Gunakan aji sakti halimun sukma untuk mengecohnya."
"Aku, langsung menghadapinya dengan kereta kuda."
"Biarkan dia melawan matahari. Panahmu tak terlihat jelas olehnya."

Syair sepotong, lebih baik
Alam Raya tak pernah berbohong

Jangan melawan alam
Jangan adigang adigung memandang
Manusia makhluk sementara
Ruh di badan hanyalah pinjaman

Tak tertandingi keadilan alam raya, karma menyelesaikan dengan caranya tak satupun mampu mendeteksi sekalipun mesin satelit melek modern sepanjang waktu merekam peta kehidupan. Karma perbuatan khianat, datang dalam bentuk gaib semesta. Membrangus doa-doa palsu topeng-topeng materialisme simbolik.

Meskipun dalang sembunyikan kuasa peranan di antara anak wayang dalam kotaknya. Karma bumerang terjadi tanpa satupun tahu. Layar wayang sobek diterpa badai wara kuci wara kici! Gong! Siapa si sonto-siapa pura-pura si loyo, kalau jadi sontoloyo-jantung akan memakan tubuh. Kaya setinggi langit purnama tak berpengaruh bagi karma.

Hajoi! Hojoi! Berhenti makan sebelum kenyang. Kebanyakan makan bisa obesitas. Gawat sejagat, jangan makan kekenyangan. Ada serigala makan tuan. Ada tuan menjadi serigala. Cerita wayang berjalan sebagaimana pakem aslinya, itu sebabnya sangat mudah mengenali tokoh wayang asli atau wayang palsu.

"Ho! Ho! Dok! Dok! Gong!" Sentir mati layar gelap. Gong!

***

Jakarta Indonesiana, Januari 10, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Paragon

Selasa, 16 Januari 2024 07:46 WIB
img-content

Gegabah Selangit (6)

Rabu, 10 Januari 2024 19:46 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua