Pemimpin Mesti Cerdas Emosional

Minggu, 17 Desember 2023 08:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tanpa kecerdasan emosional yang baik, kepemimpinan seseorang berpotensi mendatangkan hal-hal yang kurang baik bagi masyarakatnya, termasuk mengancam kelangsungan demokrasi yang sehat.

Para pemimpin politik maupun pemimpin bisnis di tingkat dunia umumnya sepakat dengan pernyataan ini: “Jangan pernah mengambil keputusan penting saat sedang marah”. Mengapa? Karena di saat marah (apa lagi sedang memuncak), emosi berperan lebih dominan dibandingkan pikiran dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, potensi terjadi salah mengambil keputusan sangatlah besar.

Sebenarnya, 14 abad sebelum para pemimpin dunia mengambil hikmah dari pengalaman mereka memimpin masyarakat, Ali bin Abi Thalib sudah mengatakan dalam ungkapan yang lebih utuh. Kata Ali bin Abi Thalib: “Jangan mengambil keputusan ketika sedang marah, jangan membuat janji ketika sedang gembira atau senang.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nasihat ini demikian penting terutama bagi para pemimpin yang memegang tanggungjawab untuk mengambil keputusan yang memengaruhi atau berdampak pada nasib orang banyak. Pengendalian amarah maupun pengendalian kegembiraan bukan perkara sepele, sebab jika kemampuan pengendalian ini buruk, khususnya pada para pemimpin, dampak negatifnya akan dirasakan oleh orang-orang yang mereka pimpin. Potensi terjadinya pengambilan keputusan yang salah semakin besar bila pengambil keputusan melakukannya ketika ia sedang diliputi kemarahan.

Kemampuan untuk mengatur dan mengelola emosi pribadi atau disebut sebagai self regulation, dalam pendapat Daniel Goleman, merupakan salah satu unsur dari kecerdasan emosional manusia. Seseorang dapat disebut cerdas secara emosional apabila, antara lain, ia mampu mengatur dan mengelola emosi pribadinya—tidak reaktif, tidak mudah marah, tidak gampang tersinggung, dst.

Orang yang mampu mengendalikan emosinya dalam situasi yang menekan, yang berpotensi mendorong timbulnya kemarahan ataupun kesedihan yang berlebihan, maka ia dapat disebut cerdas secara emosional. Sebaliknya, orang yang tidak mampu mengendalikan emosinya dalam situasi menekan, maka kecerdasan emosionalnya patut dipertanyakan.

Khusus bagi para pemimpin politik, yang sedang maupun akan memimpin bangsa—para capres dan cawapres, kecerdasan emosional yang tinggi merupakan syarat wajib untuk dipenuhi. Bayangkan, jika mendengar kritik dari orang lain saja amarahnya mudah tersulut, bagaimana jika ia diprovokasi oleh musuh yang memahami kelemahan emosinya ini. Orang-orang dengan kecerdasan emosional yang kurang akan cenderung mudah terprovokasi manakala gengsinya disinggung atau ia merasa tertantang oleh lawannya. Saat itulah, apabila ia mengambil keputusan, akan lahir keputusan yang berpotensi besar salah atau merugikan bangsanya.

Di saat seperti itu, aroma amarah akan mendominasi pikirannya, sehingga ia tidak mampu berpikir jernih. Pemimpin tipe ini akan mudah tertantang untuk langsung mengambil keputusan tanpa berpikir panjang, dan ia biasanya baru akan menyadari kesalahannya tatkala amarahnya mereda. Sayangnya, ketika ia menyadari kesalahannya, keputusan sudah dibuat dan bahkan telah dilaksanakan.

Kemarahan pemimpin yang kecerdasan emosionalnya tidak mumpuni dapat dipantik setidaknya dari dua arah. Arah pertama datang dari pengritiknya, baik warga masyarakat, akademisi, maupun lawan politiknya di dalam negeri. Bila ia tidak mampu mengelola dengan baik emosinya, ia akan cenderung bersikap reaktif. Ketidaktahanan menghadapi kritik di dalam negeri boleh jadi mendorongnya untuk bersikap represif terhadap warga masyarakat. Dari tampilan seorang pemimpin di depan publik, masyarakat dapat menilai bagaimana kualitas kecerdasan emosional pemimpinnya.

Arah kedua datang dari pemimpin bangsa lain yang berkepentingan melemahkan kepemimpinannya. Ia akan mudah diprovokasi oleh pemimpin bangsa lain, misalnya dengan menyerang gengsinya—yang seringkali menjadi titik lemah orang-orang yang kurang mampu mengelola emosinya, atau orang yang berangan-rangan tinggi tapi tanpa memiliki kapasitas yang diperlukan. Pemimpin tipe ini akan mudah didikte oleh permainan pemimpin bangsa lain, sehingga ia akan mudah terjebak oleh kesalahan dalam mengambil keputusan.

Kecerdasan emosional pada dasarnya hanya salah satu dari sekian ragam kecerdasan manusia. Bila mengikuti pandangan Daniel Goleman, ada lima indikator kecerdasan emosional, yaitu self-awareness atau kemampuan mengenali emosi pribadi, self regulation atau kemampuan untuk mengatur dan mengelola emosi pribadi, self motivation atau kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dalam melakukan atau mencapai sesuatu, empati atau kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi orang lain dengan perspektif yang beragam, dan social skill atau kemampuan untuk membangun hubungan sosial yang baik dan positif dengan orang lain.

Apa yang sangat penting bagi pemimpin sebelum mengatur orang lain ialah kemampuannya untuk mengatur dan mengelola emosi pribadinya. Dan kemampuan self regulation ini hanya mungkin dikuasai apabila ia terlebih dulu mampu mengenali seperti apa emosi pribadinya. Orang-orang yang memiliki self-awareness tinggi akan mampu mengenali dirinya sendiri dengan sangat baik, dan inilah bekal baginya agar mampu mengatur dan mengelola emosinya demi kebaikan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan orang banyak atau masyarakat. Tanpa kecerdasan emosional yang baik, kepemimpinan seseorang berpotensi mendatangkan hal-hal yang kurang baik bagi masyarakatnya, termasuk mengancam kelangsungan demokrasi yang sehat. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Catatan dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan dari Palmerah

Lihat semua