Anakku Minta Kawin
Kamis, 10 Agustus 2023 16:43 WIBBelum lulus SMA, namun minta kawin?
Malam ini langit gemintang. Aku dan anak tunggalku duduk di teras ditemani susu hangat dan donat bertabur gula bubuk kesukaan kami. Hal-hal ringan kami perbincangkan dan kutanyakan pula rencananya setelah lulus SMA. Ini patut kutanyakan, karena sampai acara perpisahan tadi siang ia belum memutuskan hendak kuliah, kursus, kerja, atau bagaimana? Jantungku seperti mau copot ketika ia mengatakan sambil senyum-senyum, “Elida mau kawin saja, Ma.”
Aku pikir ini prank yang berhasil dari Elida yang periang dan suka bercanda. Maka aku pun tersenyum dan membalas candaannya. “Apa kamu memasang kamera tersembunyi?”
Elida mengangkat kedua tangan sebagai pengganti kata ‘tidak!’ Astaga, ini bukan prank. Jantungku kembali berdetak kencang dan beragam pikiran buruk menyergapku.
Kuamati sosok anakku lekat-lekat. Kuperhatikan paras cantiknya yang berhijab pink, siapa tahu menyimpan kecemasan, tetapi tidak. Kuamati dadanya yang berbungkus kemeja pink kesukaannya, siapa tahu mengencang, ternyata tidak. Lalu, seketika kuraba perutnya yang langsing.
“Kamu melakukannya? Dengan siapa? Katakan!” desakku.
“Apaan sih, Ma?” Elida menepiskan tanganku dari perutnya.
“Kamu....hamil?”
“Apa?” Elida membelalak, tetapi kemudian tertawa menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Apa karena Elida minta kawin, lantas mama menduga Elida hamil?” Elida masih tertawa geli.
Aku mengela napas lega. Setelah menuntaskan tawa, Elida menegaskan bahwa ia memang ingin menikah setelah terima ijazah SMA. Serentetan rencana untuk masa depan, ia beberkan dengan saksama.
Elida ingin menikah sebelum usia 20 tahun, agar di usia 21 sudah punya anak satu, lalu usia 25 punya anak dua, usia 30 punya anak tiga, dan di usia 40-an sudah jadi nenek dan seterusnya.
Aku tertegun. Dari mana Elida punya rencana semacam itu? Apakah setelah rajin ikut pengajian Ustaz Arifin yang beristri dua itu, lalu Elida punya hasrat menikah muda? Dengan siapa Elida akan menikah? Atau, jangan-jangan Elida telah dibujuk untuk menjadi istri ketiga Ustaz Arifin. Tidak, tidak. Aku tidak boleh berburuk sangka. Astagfirullah!
“Kamu sudah punya calon?” tanyaku.
Pertanyaan itu patut kuajukan, mengingat aku belum pernah melihat Elida jalan sama pemuda, atau setidaknya mendengar kabar ia punya kekasih. Ketika Elida menggeleng, itu membuat penasaranku bertambah, dari mana pikiran menikah muda itu muncul?
Elida bercerita, beberapa hari setelah Ujian Nasional, ada mahasiswi Fakultas Psikologi sebuah PTS datang ke sekolahnya. Mahasiswi ini sedang mengadakan penelitian tentang persepsi remaja terhadap pernikahan di usia muda.
Ada angket yang harus diisi para siswa, termasuk Elida. Pertanyaan dalam angket itu antara lain, pada usia berapa responden akan menikah, ingin punya anak berapa? Begitulah sejarah Elida ingin menikah di usia muda.
Tentu saja aku tidak gegabah memberikan jawaban. Kuajukan beberapa pertimbangan pada Elida. Tentang menikah itu bukan main-main, perlu pertimbangan dan persiapan yang matang. Apalagi di zaman modern, banyak perusahaan yang mencari pegawai yang masih single. Elida menjawab, ia tidak ingin kerja kantoran, ia ingin berwiraswasta, jadi pengusaha.
Aku tak kehabisan akal. Kukatakan padanya bahwa menjadi pengusaha juga perlu pendidikan tinggi agar jadi pengusaha yang cerdik dan cerdas. Elida menjawab bahwa ia bisa belajar jadi pengusaha melalui buku, seminar, atau berguru langsung pada pengusaha yang telah mapan.
Aku masih punya akal. Kuceritakan padanya tentang pernikahan di usia muda rentan berujung pada perceraian. Elida menjawab, mereka yang menikah di usia dewasa juga banyak yang bercerai, kok.
Aku mendengus, kehabisan akal. Melihatku terdiam, Elida membombardirku dengan rencana pernikahan muda yang diimpikannya. Ia berharap mendapatkan calon suami yang pendiam, suka membaca, tidak suka keluyuran, tak perlu ganteng yang penting setia. Bah! Ini pasti gegara Elida suka nonton drama Korea!
“Boleh ya, Ma, Elida menikah muda?” Elida merajuk.
“Tunggu papa pulang!”
***
Aku berbaring gelisah di tempat tidur. Jam dinding menunjuk pukul 23.35. Faris, suamiku belum pulang. Ia masih di Gedung Budaya, baca puisi di sana. Suamiku penyair, sering keluar malam untuk pentas. Honornya lumayan.
Selain itu suamiku punya usaha percetakan. Banyak terima order mencetak undangan pernikahan. Honor baca puisi, honor menulis puisi di koran, dan penghasilan dari percetakan cukuplah untuk menghidupi keluarga dengan satu anak yang kini minta kawin.
Aku masih gelisah di tempat tidur. Terbersit pikiran bagaimana aku harus menjelaskan pada para tetangga mengapa anakku kawin muda --bila itu nanti terjadi. Dugaan anakku telah hamil duluan, tentu ada dalam pikiran para tetangga. Aku bisa dicap ibu yang tak becus mengurus dan menjaga anak perempuan.
Sudah pukul 24.00. Faris belum juga pulang atau tanda-tanda akan pulang. Melalui WA, ia mengabarkan sedang asyik ngobrol dengan teman-teman penyair, ia memintaku untuk tidur, ia sudah membawa kunci duplikat. Aku mendengus kesal. Baiklah, kutelepon saja Faris.
“Cepat pulang. Anakmu minta kawin!”
Ketika Faris pulang dari Gedung Budaya, kami berbincang di ranjang. Kukatakan padanya bahwa aku akan menolak mati-matian kalau Elida minta kawin muda. Pikiran-pikiran buruk memenuhi kepalaku. Tetapi Faris menanggapi kegelisahanku dengan kata-kata singkat: ‘oh ya?’ , ‘masa sih?’, ‘masa kau tak tahu siapa Elida?’.
Kulempar bantal ke wajahnya.
“Apa kau tahu siapa Elida?”
“Tentu saja,” sahut Faris begitu yakin. “Elida punya darah seniman, setidaknya pikiran seniman. Ia ungkapkan apa yang ia pikirkan. Meski kadang .... berubah pikiran.”
“Berubah pikiran seperti yang kerap kau lakukan?”
“Ya, begitulah,” Faris menyeringai.
Kutatap tajam suamiku dan kuremas bagian bawah pusarnya.
“Kau harus berpihak padaku. Awas kalau tidak!”
“Lepaskan. Sakit sekali,” Faris meringis menahan sakit.
“Janji?”
“Ya, janji.”
***
Perbincangan dengan Faris belum mampu meredakan gundah di hati dan pikiranku. Baiklah, mungkin aku perlu curhat pada teman dan menikmati beberapa potong donat.
Usai salat subuh tadi aku mengirim WA pada Wulaningsih, teman semasa SMA. Ia mempersilakan aku untuk bertandang ke rumahnya. Tetapi aku tak bisa naik motor. Maka, usai sarapan di Minggu pagi itu, kuminta Elida mengantarku.
Kupikir Wulaningsih orang yang tepat untuk mengurai kegundahanku, seperti yang kerap kulakukan saat SMA. Apalagi sekarang Wulan telah satu kali berhaji dan dua kali umrah, tentu ia punya segudang solusi untuk bermacam problema kehidupan.
“Mau ketemu siapa, sih, Ma?” tanya Elida.
“Ustazah Wulan, teman mama.”
Ketika kami bertemu, aku meminta Wulan untuk bertatap muka di tempat yang lebih personal. Wulan mengerti lalu mengajakku ke dapur, sementara Elida tetap di ruang tamu. Biarlah anakku itu membaca koran atau majalah di ruang tamu. Bukankah membaca adalah makanan lezat bagi Elida?
Di dapur sudah ada beberapa potong donat bertabur gula bubuk kesukaanku. Aku tersenyum dan berterima kasih karena Wulan masih ingat dengan makanan favoritku. Setelah kami bicara yang ringan-ringan, menikmati masing-masing sepotong donat, Wulan bertanya masalah apa yang kuhadapi.
“Apa kamu akan pergi? Mengisi pengajian?” tanyaku.
“Tidak, Desi. Aku tidak ada acara keluar. Tapi, ada pesanan donat yang harus kubuat. Habibi sedang ke pasar membeli bahan-bahan donat. Seharusnya aku yang ke pasar, tapi aku ingat telah membuat janji bertemu kamu. Kamu ingat Habibi, kan?” jawab Wulan.
“Anak tunggalmu?”
“Ya, dia sudah lulus kuliah komputer. Dia tidak mau kerja kantoran. Dia lebih suka kerja di rumah. Sejak kuliah dia sudah jadi web designer. Oh, maaf, kok jadi ngelantur. Jadi, apa masalahmu?”
“Elida anakku baru lulus SMA. Aku ingin dia kuliah, tapi dia tidak mau. Dia ingin jadi pengusaha,” kataku.
“Bagus itu. Anakmu punya jiwa wirausaha.”
“Bukan itu yang membuatku resah.”
“Lantas apa?”
“Anakku minta kawin!”
Sepasang mata Wulan membulat. Terdiam dan mengangguk-angguk.
“Berapa usia Elida?” tanya Wulan.
“Delapan belas.”
Wulan mengangguk-angguk lagi.
“Masih ada waktu untuk berta’aruf.”
“Ta’aruf? Maksudmu?” aku mengernyitkan dahi.
Wulan tersenyum, menyentuh bahuku.
“Kita bisa berbesan. Bagaimana kalau Elida kita jodohkan dengan Habibi?”
“Apa?”
Aku merasa ada yang salah dengan perbincangan ini. Usulan Wulan bukanlah solusi yang kuinginkan. Mungkin aku yang bodoh. Seharusnya aku tahu Wulan itu ustazah, menikah muda tentu bukan hal yang meresahkan baginya. Tubuhku gemetar dan terduduk lemas.
“Aturan terbaru usia menikah minimal sembilan belas tahun. Sembari menunggu Elida berusia sembilan belas, biarlah dia berta’aruf dengan Habibi,” kata Wulan.
“Tapi aku ingin Elida kuliah,” sahutku lirih.
“Elida bisa kuliah setelah menikah. Bagaimana?”
“Entahlah,” sahutku. Sungguh, aku tak bisa berpikir lagi.
Suara motor di luar. Wulan mengatakan mungkin Habibi sudah pulang dari pasar, lalu mengajak aku kembali ke ruang tamu. Benar, di ruang tamu ada pemuda jangkung, kurus, berkaca mata, dan wajahnya bersih seperti memancarkan cahaya yang membuatku terpukau sejenak.
Aku dan Wulan terkejut melihat Elida dan Habibi duduk berdekatan di kursi tamu dan berbicang akrab.
“Kalian saling kenal?” tanya Wulan.
“Ya, Umi. Kami sering bertemu di Perpustakaan Daerah,” jawab Habibi tertunduk malu-malu.
“Kalian....pacaran?” tanyaku.
Kepalaku terasa berputar dan lemas lututku, lalu semua menjadi gelap ketika kulihat Elida dan Habibi menjawab pertanyaanku dengan anggukan yang kompak!
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Menari Bersama Bidadari
Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIBJangan Pacari Kakakku
Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler