Warisan Tuan Reading

Kamis, 10 Agustus 2023 16:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh, itu warisan yang menyenangkan dan membingungkan.

Saat muda Tuan Reading Wellington bekerja sebagai juru tulis di kantor kejaksaan kota Weston. Ia menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli buku. Ia juga sering mendapatkan hadiah buku dari atasan dan rekan-rekan kerjanya. Sebagian waktunya dan ia selalu mencuri waktu untuk membaca buku. Nyonya Martha Hastings, istrinya, kutu buku pula. 

Tuan Reading menyimpan buku-buku koleksinya di sebuah ruangan khusus di rumahnya. Koleksi bukunya terus bertambah banyak, maka di setiap ruang di rumahnya penuh dengan buku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Tak ada ruang lagi untuk menyimpan buku,” kata Nyonya Martha, suatu hari ketika Tuan Reading pulang dari toko buku.

“Letakkan saja di meja tamu,” kata Tuan Reading.

“Andai saja kita punya anak, buku-buku itu bisa kita pindahkan ke rumah anak-anak kita,” kata Nyonya Martha sedih.

“Kau jangan berkata begitu, Martha. Atau sebaiknya aku tak perlu lagi membeli buku?” sahut Tuan Reading.

“Maafkan aku, Eddie. Aku salah bicara,” sesal Nyonya Martha.
***
“Selamat pagi.” 

Tampak seorang anak lelaki berumur sekitar 10 tahun bertubuh kurus berdiri di depan pintu rumah Tuan Reading yang terbuka.

“Alfred, kau sudah datang? Masuklah,” kata Tuan Reading.

Tuan Reading bertemu Alfred beberapa bulan lalu di stasiun. Tuan Reading sedang menunggu kereta yang akan mengantarnya menuju pusat kota. Perpustakaan kota ada di pusat kota, Tuan Reading hendak berkunjung ke sana.

Saat itulah datang seorang anak lelaki bertubuh kurus menawarkan jasa menyemirkan sepatu Tuan Reading.

“Siapa namamu?” tanya Tuan Reading.

“Alfred, Tuan. Maaf, apakah Tuan yang tinggal di Jalan Rainbow Nomor 13?” jawab Alfred, si penyemir sepatu.

“Benar. Bagaimana kau tahu?” sahut Tuan Reading.

“Saya sering melintas di depan rumah Anda, Tuan. Saya tinggal beberapa blok dari rumah Anda. Saya sering melihat Tuan sedang membaca sesuatu di dekat jendela,” kata Alfred.

“Benarkah? Pasti saya sedang membaca buku, saat kau melintasi rumahku. Saya punya banyak buku di rumah.” jelas Tuan Reading. Sejak pensiun dari juru tulis, lelaki tua itu punya banyak waktu untuk membaca buku.

“Benarkah? Saya punya beberapa buku HC Anderson di rumah. Saya membelinya dari hasil menyemir sepatu,” kata Alfred, sepasang matanya tampak bercahaya.

“Kalau kau ada waktu, datanglah ke rumahku. Banyak buku dongeng anak di sana,” kata Tuan Reading.

“Anda serius, Tuan?” tanya Alfred penuh semangat. “Tentu. Tentu ada waktu bagi saya untuk membaca buku. Kapan saya bisa datang ke rumah Anda, Tuan?”

“Kurasa pagi. Itu saat yang tepat untuk membaca buku,” kata Tuan Reading. “Oh, ya, namaku Reading Wellington. Kau boleh memanggilku Tuan Eddie.”

“Baiklah, Tuan Eddie. Sampai jumpa besok pagi di rumah Anda,” sahut Alfred.

Esoknya dan hari-hari berikutnya, pukul 8 pagi, Alfred telah sampai di rumah Tuan Reading. Membaca buku di rumah lelaki tua itu. Pukul 10, Alfred pamit untuk pergi ke stasiun, tempatnya mencari uang sebagai penyemir sepatu.
***
Hari ini Tuan Reading hanya membalik-balik halaman beberapa buku. Tak satu pun buku yang ia baca dengan penuh ketenangan. Sesuatu yang aneh di mata Alfred.
“Ada apa dengan Anda, Tuan Eddie?” tanya Alfred.

“Aku memikirkan sesuatu....Aku akan mati.....Bagaimana dengan semua buku koleksiku?” kata Tuan Reading.

Alfred menutup buku yang sedang dibacanya. Ia berpikir sejenak.

“Menurut saya, Anda bisa menyumbangkannya ke perpustakaan, Tuan. Atau ke yayasan anak-anak telantar,” kata Alfred.

“Kau benar, Alfred,” Tuan Reading tersenyum. “Mengapa tak terpikirkan olehku?”

“Atau kalau Anda berkenan, Anda bisa mewariskan buku-buku itu pada saya,” Alfred menyela hati-hati.

“Mewariskan?” Tuan Reading menatap Alfred.

“Benar,” Alfred mengangguk. “Maksud saya, Anda tak perlu mewariskan semua buku, tapi sebagian saja.”

Tuan Reading terdiam. Sorot matanya memberitahukan bila ia sedang mempertimbangkan usul si penyemir sepatu yang telah menjadi bagian kehidupannya beberapa bulan terakhir ini.

Namun bagi Alfred, ia merasa telah membuat kesalahan.

“Maafkan saya, Tuan,” katanya. “Anggap saja saya tak pernah mengatakan hal itu. Lupakan usul saya tadi...tentang warisan itu, Tuan.”

“Tidak, Alfred,” Tuan Reading menyela. “Aku tidak akan melupakan usulmu. Aku akan mempertimbangkan. Ya, mempertimbangkannya.”

Kali ini, Alfred yang terdiam.
***
Tuan Reading merasa perlu membahasnya dengan istrinya. Lelaki tua itu merasa perlu menyelamatkan semua buku koleksinya di masa mendatang. Ia tak mungkin selamanya mengurusi semua buku yang jumlahnya entah berapa itu, mungkin puluhan ribu. 

Nyonya Martha menggenggam tangan suaminya, dan tersenyum.

“Itu keputusan bijak, Eddie,” ucap Nyonya Martha lembut.

“Kalau begitu, secepatnya aku akan memanggil pengacara,” kata Tuan Reading, menatap istrinya dengan lembut pula.
***
Tuan Reading menghembuskan napas terakhir di ruang baca di rumahnya, suatu pagi, beberapa menit sebelum Alfred datang. Lelaki tua itu meninggal dalam keadaan duduk, sementara kepala terkulai di meja, di atas buku yang belum selesai dibacanya.

Semua yang merasa mengenal Tuan Reading, merasa sedih. Alfred berkali-kali mengusap matanya yang memerah. Ini kali kedua Alfred merasa kehilangan sosok orang yang mengasihinya, setelah ia kehilangan ayahnya lima tahun silam.

Sebulan setelah kematian Tuan Reading, Nyonya Martha meminta Alfred untuk datang ke rumah janda itu. Pada hari yang ditentukan, Alfred menepati undangan itu. Di ruang baca peninggalan Tuan Reading, telah menanti Nyonya Martha dan seorang lelaki gemuk berkepala botak.

“Alfred, perkenalkan ini Tuan Jefferson, pengacara kami,” kata Nyonya Martha. “Tuan Jefferson akan memberitahukan sesuatu padamu.”

Alfred merasakan dadanya berdebar. Penyemir sepatu itu melihat si pengacara mengeluarkan beberapa dokumen dari tas. Si Pengacara membacakan dokumen-dokumen itu. Alfred mendengarkan dengan saksama, dadanya masih berdebar.

Alfred tegang.

“Sekarang tentang diri Anda, Tuan Alfred,” kata si Pengacara. “Tuan Reading mewariskan sepuluh ribu buku koleksinya kepada Anda, Tuan Alfred.”

Alfred tertegun. Sepuluh ribu buku? Alfred duduk terdiam. Tak mampu berkata-kata.
***
“Sepuluh ribu buku?” Margot, ibu Alfred membelalakkan mata. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Sorot matanya tampak kebingungan. “Hendak kita taruh di mana buku sebanyak itu?”

“Tapi, Ibu. Buku-buku itu adalah wasiat Tuan Eddie. Aku harus merawatnya dengan baik,” kata Alfred.

“Aku tahu, Alfred. Tapi sepuluh ribu buku? Oh, tidak bisa kubayangkan, rumah kecil ini akan menjadi gudang buku,” Margot mendengus.

“Lantas bagaimana, Ibu?” tanya Alfred.

“Aku tidak tahu, Alfred. Benar-benar tidak tahu.”

Alfred duduk terdiam. Margot berjalan ke sana ke mari, menggaruk-garuk kepala. Sebentar lagi sepuluh ribu buku akan tiba di rumah mereka. Mereka benar-benar bingung. Mereka benar-benar butuh solusi, dari siapa saja. Anda punya? 
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menari Bersama Bidadari

Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIB
img-content

Jangan Pacari Kakakku

Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua