Profesi

Kamis, 20 Juli 2023 12:12 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seharusnya di masyarakat, saat kerja bakti begini, semua perangkat jabatan dan gelar itu harus di copot, karena jabatan itu hanya sebuah gelar. Gelar itu ibaratnya hanya baju.

Aku paling benci dengan orang-orang yang memandang orang lain melalui strata sosialnya. Terutama gelar profesinya. Bagiku itu sangat naif. Ya, naif, karena bukankah itu sebuah bentuk diskriminatif? Bukankah kita ini adalah sesama manusia, meskipun profesi kita berbeda. 

 

Jadi, ketika ada orang-orang yang terlalu membeda-bedakan manusia lain perkara itu, aku selalu dongkol dibuatnya.

 

Mesti aku hanya lulusan SD, nggak pernah sekolah tinggi kaya mereka-mereka, saya masih tahu betul bahwa sikap membeda-bedakan itu adalah sikap yang naif.

 

Seharusnya di masyarakat, saat kerja bakti begini, semua perangkat jabatan dan gelar itu harus di copot, karena jabatan itu hanya sebuah gelar. Gelar itu ibaratnya hanya baju.

 

Seperti Mahmud itu, ia disebut seorang guru, ya harusnya saat di sekolah saja. Kalau sudah pulang ngajar, cukup disebut namanya saja nggak usah pakai Pak Guru segala.

 

Lalu si Hamzah, si pemilik toko beras itu. Nggak perlu dipanggil juragan juga. Ia juragan saat pas jualan. Kalau diluar gini ya cukup dipanggil namanya saja. 

 

Adat suka membeda-bedakan itu akhirnya malah jadi suatu sistem pilih kasih. Mereka yang nggak punya jabatan akhirnya dipandang sebelah mata, tidak dianggap sebagai manusia. Padahal kita sama-sama makan nasi. Lalu sistem pilih kasih itu pun akan mempengaruhi sampai ke tingkat kerja bakti. Mereka yang punya gelar-gelar selalu saja disuruh kerja yang enak-enak, itu pun masih di suguhi minuman dan perlakukan yang lebih. Sedangkan orang kaya aku ini, sudah sampai belepotan lumpur karena kungkum di parit tapi masih suruh bawa air sendiri. Jangankan dihormati, dilirik saja tidak. Wedus memang.

 

Sambil menahan dongkol melihat ulah-ulah mereka yang sangat tidak manusiawi itu, aku tetap teruskan pekerjaan. Bagaimanapun ini adalah tanggung jawabku sebagai warga desa yang baik.

 

Sayup-sayup azan Zuhur pun terdengar. Sudah siang rupanya.

 

"Ayo pada istirahat dulu. Pada pulang dulu, nanti jam 2 siang kita mulai lagi. Kerjaan masih banyak." Terdengar suara Marto, si RT baru itu memberikan ultimatum kepada semua warga.

 

Aku bangkit. Merayap ke atas dari parit. Kulihat warga-warga lain pun mulai bergegas ke rumahnya masing-masing setelah bersih-bersih tangan sekenanya.

 

Kami berbasa-basi sebentar, lalu saling pamit pulang.

 

Tapi mataku menyipit ketika melihat pemandangan di depan sana. Tampak pak RT dengan sikap yang sangat sopan, tengah merayu-rayu Hamzah dan Mahmud. Sepertinya mau dijamu di rumahnya. Lalu juga ada beberapa warga yang aku tahu mempunyai jabatan juga seperti mereka.

 

Aku melengos. Kemudian mengumpat-umpat dalam hati. Lalu bergegas pulang ke rumah. Itu lebih baik daripada melihat mereka-mereka itu. Bikin hati panas saja rasanya.

.

 

Aku sampai depan rumah. Kubuka pintu dengan sedikit kasar, masih agak dongkol dengan kejadian tadi di depan balai desa. 

 

Aku buka baju. Lalu kuhempaskan bokong ke kursi kayu.

 

"Sem, Darsem." Aku memanggil istriku."Siapkan makan, aku sudah lapar!"

 

Dari pintu belakang nongol istriku.

 

"Nggak mandi dulu, to, Pak? Mandi dulu sana baru makan," ujarnya sambil berlalu ke kamar. Di tangannya penuh dengan gombal pakaian 

 

"Lha wong laparnya sekarang, kok, makannya suruh nanti. Sudah cepat. Siapkan saja, nggak usah banyak tanya, kaya wartawan aja," tegasku kesal.

 

Kudengar ia malah mendengus sebal.

 

"Heh, dosa kamu ngelayanin suami nggak ikhlas!" teriakku.

 

Benar-benar si Darsem, suami pulang bukannya di bikin adem malah nambahin panas saja.

 

"Iya, iya, Pak. Tak ambil," tukasnya sambil keluar kamar terus ngeloyor ke dapur.

 

Aku meraih kendi di meja. Aku tenggak sepuasnya. Lalu mengipas-ipaskan pakaian yang kusampirkan di pundak, sekedar mengurangi hawa panas.

 

Memang cuaca akhir-akhir ini panas betul. Diam-diam aku berencana nggak akan datang lagi kerja bakti nanti usai Zuhur. Daripada dongkol lagi. Mending buat tidur di rumah.

 

"Ini, Pak. Seadanya, ya." Darsem meletakkan di meja sepiring nasi tiwul dan satu biji ikan asin di atasnya.

 

Aku melotot, "Kamu cuman masak ini? Dikira aku kucing apa dikasih ikan asin?"

 

"Lha gimana, to, Pak. Adanya itu. Uang belanja habis. Belum Bapak kasih juga dari seminggu yang lalu."

 

"Boros amat jadi wanita. Yang seratus ribu, seminggu sudah habis!" tukasku sambil tetap melotot.

 

"Ya ampun, Pak. Uang seratus sekarang dapat apa. Coba saja belanja sekali-kali biar tahu. Lagi pula Bapak maunya makan enak terus dari kemarin. Ya habis lah. Itu saja sudah aku irit-irit, Pak."

 

Aku tidak percaya. Pasti Darsem membeli sesuatu pakai uang belanja di luar sepengetahuanku. Dasar wanita boros. Seharusnya yang seratus ribu, kan, cukup untuk beli lauk dua minggu.

 

"Ya sudah sana. Buatkan kopi panas! Yang kental!" ujarku kemudian. Mau gimana lagi, adanya cuman itu. Lagipula aku sudah lapar.

 

"Gulanya habis, Pak!"

 

Setan! umpatku.

 

"Apa-apa habis to, Sem Sem!" hardikku.

 

"Lha memang habis mau gimana lagi, Pak. Kan belum beli lagi karena uangnya nggak ada," jawab Darsem.

 

Dasar wanita. Berkilah terus kerjaannya. Pokoknya nanti harus lebih kuawasi uang belanjanya. Biar nggak boros lagi.

 

"Yowis sana! Pahit saja nggak apa-apa! Cepat nggak pake lama!" Semburku.

 

Kulihat Darsem bergegas ke arah dapur.

 

Aku segera meraih sendok dan melahap makanan di piring. Dengan satu kaki nangkring di atas kursi.

 

Sambil makan otakku berpikir. Rumah siapa lagi yang nanti malam akan aku gasak. Sudah seminggu ini hasil nggak ada terus. Dua kali malah hampir kepergok.

 

Ya, aku seorang maling. Tapi aku nggak maling di desa sendiri. Meski sebenarnya orang di desaku sudah kasak kusuk akan profesiku. Tapi peduli setan dengan mereka. Toh mereka nggak kasih aku makan.

 

Orang-orang di desaku suka menyebutku Karto maling, tentu ketika menyebut itu tidak di depanku, tapi aku tahu karena kasak kusuk itu sampai juga di telingaku.

 

Itulah sebabnya aku benci jika ada yang memandang orang lain dari profesinya. 

 

Bebah betul memang orang-orang dikampungku.

 

***

Timit.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asmaraloka Dewangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pahlawan

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB
img-content

Nggak Bahaya, Ta?

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua